Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Ekonomi Rakyat ataukah Ekonomi Islam?

Oleh: Abdurrahman wahid 

Dalam tiga dasawarsa terakhir ini, beberapa pemikir mengemukakan apa yang mereka namakan sebagai teori ekonomi Islam. Semula, gagasan tersebut berangkat dari ajaran formal Islam mengenai riba dan asuransi, yang berintikan penolakan terhadap bunga bank sebagai riba, dan praktek asuransi yang bersandar pada sifat “untung-untungan”. Ditambahkan dalam kedua hal itu, penolakan pada persaingan bebas (laisses faire) sebagai sistem ekonomi yang banyak digunakan. Intinya 
dalam hal ini adalah sikap melindungi yang lemah dan membatasi yang kuat seperti dalam pandangan Islam.

Dalam perkembangan berikutnya, pada dasawarsa 80-an mun­cul sejumlah orang yang dianggap menjadi ekspo­nen pandangan ekonomi Islam. Mereka banyak berasal dari ling­kungan lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga tak heran jika mere­ka mengacu pada orientasi kepentingan rakyat kecil dan menolak peranan perusahaan-perusahaan besar dalam tatanan ekonomi yang ada waktu itu. Namun, mereka gagal mengajukan sebuah teori yang bulat dan utuh yang dapat dianggap mewakili 
ekonomi Islam. Keberatan mereka terhadap praktek-praktek ko­lusi, korupsi dan nepotisme (KKN), monopoli dan dominasi (oleh kerjasama pengusaha dengan para pejabat pemerintahan), 
adalah keberatan yang tidak didukung oleh teori yang lengkap, dan dengan demikian hanya dianggap sebagai orientasi kelompok belaka.

Dengan perubahan kebijaksanaan di masa pemerintahan Presiden Soeharto, di ujung dasawarsa itu dan didukung pula oleh kemunculan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), kelompok tersebut lalu berubah pikiran dan ikut memperebutkan kekuasaan sebagai pejabat pemerintah. Dengan merebut ins­ti­tusi-institusi pemerintahan, berarti mereka lebih mengutamakan pendekatan institusional dan cenderung meninggalkan 
per­juang­an kultural. Namun, “kemenangan” institusional itu tidak membuat mereka semakin kuat, karena mereka tidak dapat menghambat korupsi, dan bahkan akhirnya justru mereka sendirilah yang melakukan korupsi. Akhirnya mereka menghamba pada kekuasaan. Jus­tru organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nah­dlatul Ulama (NU) yang mempelopori perlawanan kul­tural itu, dengan tetap menolak untuk melegitimasi institusi peme­rintahan.

Dengan demikian, watak merakyat dari perjuangan di para cendikiawan itu berubah menjadi perjuangan politik. Karenanya, 
hal-hal eko­nomi pun juga diukur dengan ukuran-ukuran politik. Nyata sekali dalam hal ini, contohnya yang terjadi dengan kredit 
usaha tani (KUT). KUT yang semula merupakan program ekonomi, dengan cepat berubah menjadi sebuah program politik. Yaitu mengusahakan sebuah program pendukung kekuasaan untuk menang dalam pertarungan politik melawan pihak-pihak lain, tanpa memandang kecakapan ekonomis dan kemampuan fi­nan­sial. Jadilah pelaku program itu seperti sekarang ini, yakni menjadi bu­lan-bulanan pihak Pengadilan Negeri (PN) karena 
mereka dihadapkan pada pengadilan, termasuk di dalamnya para kyai. Ini semua, merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, dan metamorfosa yang terjadi adalah 
bagian dari perjuangan politik, dan bukan bagian dari perjuangan ekonomi.

Dengan metamorfosa itu, otomatis upaya menolong rakyat kecil ha­nya menjadi sisa-sisa. Bahwa upaya politik mempertahankan institusi, baik itu institusi mikro seperti proyek-proyek yang ter­gabung da­lam KUT, maupun upaya makro untuk mempertahan­kan ke­kuasa­an, jelas menggambarkan kenyataan menarik: kegagalan dalam mengembangkan apa yang dinamakan ekonomi Islam, baik dalam teori maupun praktek. Rentetan yang terjadi adalah, upaya pelestarian kekuasaan secara politis juga menghadapi kegagalan pula.

Turut hancur pula dalam proses ini, pengembangan teori ekonomi Islam, karena ia dikait-kaitkan dengan kekuasaan yang ada. Keadaan diperparah oleh kenyataan tidak adanya peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah di ma­sa lampau. Ini berarti, gagasan tentang ekonomi Islam di 
ne­ge­ri kita, tidak pernah didasarkan atas peninjauan mendalam dari kebijakan, langkah-langkah dan keputusan-keputusan pemerin­tah di bidang tersebut. Bagaimana akan dibuat acuan mengenai se­buah sistem ekonomi Islam, kalau fakta-fakta ekonomi dan finansial semenjak kita merdeka tak pernah ditinjau ulang?

Dari tinjauan ulang itu akan dapat diketahui, bahwa tatanan ekonomi dan finansial kita, didasarkan hampir seluruhnya atas kecenderungan menolong sektor yang kuat dan mengabaikan sek­tor yang dianggap sebagai ekonomi lemah. Ketimpangan ini dapat dilihat, umpamanya dalam hal pemberian fasilitas, 
ke­­­mu­dahan dan pertolongan bagi usaha kuat. Apalagi, setelah be­berapa peng­usaha keturunan Tionghoa, yang belakangan menjadi konglomerat, berhasil menguasai sektor tersebut. Eko­­no­mi rakyat menjadi semakin tidak diperhatikan, dan ung­kapan-ungkapan tentang ekonomi rakyat itu dalam kebijakan pemerintah 
hanyalah bersifat retorika belaka.

Alokasi dana untuk pengembangan ekonomi rakyat dalam RAPBN, umpamanya, menunjukkan betapa sedikitnya perhatian kepada sektor ini. Kebocoran RAPBN, yang dalam perkiraan Prof. Soemitro Djojohadikusumo telah mencapai 30% dari jum-
lah anggaran, menunjukkan sangat kecilnya perhatian pemerintah ke­pada sektor ini. Belum lagi matinya kreatifitas usaha kecil dan menengah (UKM) di hadapan birokrasi pemerintahan yang sa­ngat kaku. Ketika para pemikir ekonomi Islam tidak mencari 
pemecahan bagi masalah-masalah yang dihadapi tadi, di sinilah tampak adanya kegagalan terhadap apa yang dinamakan ekonomi Islam. Itulah sebabnya, mengapa pemikiran mengenai ekonomi Islam sekarang menjadi sangat mandul. 

Ketika Drs. Kwik Kian Gie mengemukakan keinginan agar Indonesia keluar dari dana moneter internasional (IMF, International Monetary Fund), tak ada seorang pun dari para pemikir gagasan ekonomi Islam itu yang menyatakan suara menerima atau menolak pandangan tersebut. Ini tentu disebabkan oleh perubahan besar dari pemikir ekonomi itu yang tertuju pada upaya politik seperti digambarkan di atas. 

Padahal, salah satu gagasan yang sering dilontarkan penulis secara lisan dalam rapat-rapat umum di seluruh bagian ne­­geri ini, jelas mengacu pada kebutuhan tersebut. Keharusan 
kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional dan efisiensi yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan dari sebuah kebangkitan ekonomi. Namun, yang 
harus didorong sekuat tenaga, adalah ekonomi rakyat dalam bentuk kemudahan-kemudahan, fasilitas-fasilitas dan sistem kre­dit sangat murah bagi perkembangan UKM dengan cepat. Dibarengi dengan peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan militer, yang harus dilakukan guna mendorong peningkatan kemampuan daya beli (purchasing power) mereka.

Perkembangan gagasan ekonomi Islam jelas menunjukkan ke­mandulan, karena lebih cenderung untuk memper­ma­salahkan 
aspek-aspek normatif, seperti bunga bank dan asu­ran­si. Artinya, pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi Islam itu lebih banyak menyangkut pencarian nilai-nilai daripada pencarian cara-cara/ aplikasi yang dilakukan oleh nilai-nilai tersebut. Jadi, masalahnya cukup sederhana bukan?