Bacaan Doa Qunut Latin Arab dan Artinya| Doa Qunut Nazilah| Pengertian Qunut | Sejarah Qunut
Nabi Muhammad Saw. melakukan qunut dalam berbagai keadaan dan cara (seperti banyak diriwayatkan dalam hadits-hadits tentang qunut ini). Pernah Nabi berqunut pada setiap lima waktu, yaitu pada saat ada nazilah (musibah). Saat kaum muslimin mendapat musibah atau malapetakan, misalnya ada golongan muslimin yang teraniaya atau tertindas. Pernah pula Nabi qunut muthlaq, tanpa sebab khusus.
Pendapat ulama pun berbeda-beda mengenai qunut dan muthlaq ini (seperti lazimnya, sesuai interpretasi dan pilihan menurut sandar kesahihan masing-masing terhadap hadis-hadis yang ada tentang itu). Ada yang berpendapat qunut muthlaq hanya dilakukan pada waktu shalat Witir sebelum rukuk (Hanafi) atau sesudah rukuk (Hanbali). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu hanya disunnahkan pada waktu shalat Subuh sebelum ruku kedua (Maliki). Ada pula yang berpendapat bahwa qunut itu dilakukan waktu shalat Subuh dan shalat Witir pertengahan terakhir bulan Ramadlan setelah rukuk terakhir (Syafi’i). Untuk lebih luasnya, silahkan membaca Ibanat al-Ahkaam I/428-433; al-Fiqhu ‘alaa al-Madzhaahib al-Arba’ah I/336-340; dan Bidayat al-Mujtahid I/131-133).
Pengertian Qunut
Kata Qunut secara bahasa memiliki banyak makna, di antaranya:
a. Ad-Du’a (Doa), dan makna ini yang paling masyhur (populer), sebagaimana dikatakan oleh Imam az-Zujaj:
الْمَشْهُورُ فِي اللُّغَةِ أَنَّ الْقُنُوتَ الدُّعَاءُ
“Yang populer dalam bahasa bahwa makna qunut adalah doa” (Lihat, Taj al-‘Arus, V:45)
Imam an-Nawawi menerangkan:
أَنَّ الْقُنُوتَ يُطْلَقُ عَلَى الدُّعَاءِ بِخَيْرٍ وَشَرٍّ ، يُقَال : قَنَتَ لَهُ وَقَنَتَ عَلَيْهِ
“Bahwa kata qunut digunakan dalam makna doa, baik doa kebaikan maupun kejelekan. Dikatakan: qanata lahu (berdoa kebaikan untuknya) dan qanata ‘alaih (berdoa kejelekan atasnya)”. (Lihat, Tahrir Alfazh at-Tanbih, hal. 73)
b. At-Tha’ah (taat), sebagaimana terkandung pada firman Allah:
لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَالأَْرْضِ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ
“apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya” Q.s. Al-Baqarah:116
Kata Ikrimah, tentang firman Allah: kullu lahu qanitin, “Dikatakan: al-Qanit al-muthi’ (yang taat)” Lihat, Tahdzib al-Lughah, III:196
c. As-Shalah (salat), sebagaimana terkandung pada firman Allah:
يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ (2) آل عمران / 43
“Hai Maryam, qunutlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang ruku” Q.s. Ali Imran:43
Kata Imam as-Syaukani: “(makna ayat) panjangkanlah
berdiri (berdiri lama) dalam salat atau dawamkanlah salat” (Lihat, Fath
al-Qadir, I:510)
d. Thul al-Qiyam (berdiri lama), sebagaimana terkandung pada sabda Nabi saw.:
أَفْضَل الصَّلاَةِ طُول الْقُنُوتِ
“Salat yang paling utama adalah yang lama berdirinya" Hr. Muslim, Shahih Muslim, I:520, Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah, I:456, dan Ahmad, al-Musnad, III:302.
Dan ucapan Ibnu Umar sebagai berikut:
سُئِل ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ الْقُنُوتِ ، فَقَال : مَا أَعْرِفُ الْقُنُوتَ إِلاَّ طُول الْقِيَامِ ، ثُمَّ قَرَأَ قَوْله تَعَالَى: { أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْل سَاجِدًا وَقَائِمًا } الزمر / 9
Ibnu Umar ditanya tentang qunut. Maka beliau menjawab, “Saya tidak mengetahui makna qunut selain berdiri lama” Lalu beliau membaca firman Allah: (artinya) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri (Q.s. Az-Zumar:9). H.r. Abu Ubed al-Qasim bin as-Salam
e. As-Sukut (diam), sebagaimana terkandung pada ucapan Zaid bin Arqam:
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلاَةِ ، يُكَلِّمُ الرَّجُل صَاحِبَهُ وَهُوَ إِلَى جَنْبِهِ فِي الصَّلاَةِ حَتَّى نَزَلَتْ { وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ } (1) البقرة / 238 .فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ وَنُهِينَا عَنِ الْكَلاَمِ
“Kami bercakap-cakap dalam salat, seseorang berbicara kepada sahabatnya yang berada di sampingnya ketika salat hingga turun ayat: wa quumuu lillahi qaanitin (al-baqarah:238). Maka kami diperintah diam dan dilarang berbicara” H.r. al-Bukhari dan Muslim
Sedangkan secara istilah, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Allan:
الْقُنُوتُ عِنْدَ أَهْل الشَّرْعِ اسْمٌ لِلدُّعَاءِ فِي الصَّلاَةِ فِي مَحَلٍّ مَخْصُوصٍ مِنَ الْقِيَامِ
“Qunut menurut ahli syariat adalah nama bagi doa dalam salat pada tempat (posisi) tertentu waktu berdiri” Lihat, al-Futuhat ar-Rabbaniyyah ‘ala al-Adzkar an-Nawawiyyah, II:286
Bacan Doa Qunut
اَللَّهُمَّ أَعِزَّ الْإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَدَمِّرِ اللَّهُمّ أَعْدَاءَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ، وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ
Ya Allah! Muliakan Islam dan kaum muslimin. Hinakan syirik dan kaum musyrikin. Hancurkan ya Allah musuh-musuhMu dan musuh-musuh agama. Menangkan hamba-hambaMu yang bertauhid, dan hinakan syirik serta orang-orang musyrik.
اَللَّهُمَّ مَنْ أَرَادَنَا وَأَرَادَ الْإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ بِسُوْءٍ فَأَشْغِلْهُ بِنَفْسِهِ، وَاجْعَلْ تَدْبِيْرَهُ تَدْمِيْرَهُ ياَ رَبَّ الْعاَلَمِيْنَ
Ya Allah! Siapa pun yang menghendaki Islam dan kaum muslimin dengan keburukan, maka sibukkan dirinya. Jadikan rencananya sebagai penghancuran untuk dirinya wahai Rabbul Alamin.
اَللَّهُمَّ انْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ، وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلإِسْلَامَ وَالْمُسْلِمِيْنَ
Ya Allah! Menangkan siapa pun yang menolong agama. Dan binasakan siapa pun yang hendak membinasakan Islam dan kaum muslimin.
اَللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ فِلِسْطِيْنَ، وَفِيْ سُوْرِيَا وَفِي اْلأَحْوَازِ، وَفِي الْأَفْغَانِ، وَفِيْ الصُّوْمَالِ، وَفِيْ كُلِّ مَكاَنٍ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Ya Allah! Menangkan saudara-saudara kami para mujahidin di Palestina, Syiria, Ahwaz, Afganistan, Shomalia, dan yang lain di setiap tempat wahai Rabb alam semesta.
اَللَّهُمَّ إِنَّ أَعْدَاءَ دِيْنِكَ قَدْ طَغَوْا وَتَجَبَّرُوْا، وَأَكْثَرُوْا فِي اْلأَرْضِ الْفَسَادَ، فَصُبَّ عَلَيْهِمْ مِنْ عِنْدِكَ سَوْطَ عَذَابٍ
Ya Allah! Sesungguhnya musuh-musuh agamaMu telah sombong, melampaui batas, dan memperbanyak kerusakan di muka bumi. Maka timpakan atas mereka ya Allah cambuk siksaan dari Engkau.
اَللَّهُمَّ قَاتِلِ الْكَفَرَةَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ، اَلَّذِيْنَ يُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَيُؤْذُوْنَ عِبَادَكَ، اَللَّهُمَّ شَتِّتْ شَمْلَهُمْ، وَفَرِّقْ جَمْعَهُمْ، وَزَلْزِلِ اْلأَرْضَ مِنْ تَحْتِ أَقْدَامِهِمْ
Ya Allah! Binasakan setiap orang-orang kafir dari ahli kitab dan musyrikin. Yaitu yang mendustakan para RasulMu dan menyakiti hamba-hambaMu. Ya Allah! Ceraikan perkumpulan mereka. Ceraikan persatuan mereka. Dan guncangkan bumi dari bawah kaki mereka.
اَللَّهُمَّ اشْفِ مَرْضَانَا وَمَرْضَى الْمُسْلِمِيْنَ
Ya Allah! Sembuhkan orang-orang sakit kami dan orang-orang sakit kaum muslimin.
اَللَّهُمَّ فُكَّ قَيْدَ أَسْرَانَا وَأَسْرَى الْمُسْلِمِيْنَ
Ya Allah! Lepaskan tawanan kami dan tawanan kaum muslimin.
وَصلِّ اللَّهُمَّ عَلَى نَبِيِّناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ
Ya Allah berilah shalawat dan salam atas Nabi Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau.
Bacaan Doa Qunut Nazilah
Artinya :
“ Ya Allah, sesungguhnya kami bermohon pertolongan Mu, kami meminta ampun kepada Mu, kami memohon petunjuk dari Mu, kami beriman kepada Mu, kami berserah kepada Mu dan kami memuji Mu dengan segala kebaikan, kami mensyukuri dan tidak mengkufuri Mu, kami melepaskan diri daripada sesiapa yang durhaka kepada Mu. Ya Allah, Engkau yang kami sembah dan kepada Engkau kami bersalat dan sujud, dan kepada Engkau jualah kami datang bergegas, kami mengharap rahmat Mu dan kami takut akan azab Mu kerana azab Mu yang sebenar akan menyusul mereka yang kufur Ya Allah, Muliakanlah Islam dan masyarakat Islam. Hentikanlah segala macam kezaliman dan permusuham, Bantulah saudara-saudara kami di mana sahaja mereka berada. Angkatlah dari mereka kesusahan, bala, peperangan dan permusuhan. Ya Allah, selamatkanlah kami dari segala keburukan dan janganlah Engkau jadikan kami tempat turunnya bencana, hindarkanlah kami dari segala bala kerana tidak sesiapa yang dapat menghindarkannya melainkan Engkau, ya Allah.”
KAPAN QUNUT NAZILAH DILAKUKAN
Oleh: Ibnu Muchtar, Syahidin, Agus Sopandi
Selama perjalanan dakwah
Rasulullah saw., sungguh banyak musibah yang menimpa umat Islam, baik
yang bersifat alami maupun karena faktor manusiawi. Yaitu sifat hasud
yang menimbulkan kezaliman.
Musibah karena faktor manusiawi pernah dialami oleh
Rasulullah saw. dan para sahabatnya, terutama pada periode Mekah. Amar
bin Yasir, Bilal bin Rabbah, dan sahabat lainnya, bahkan Rasul sendiri
pernah diganggu oleh tokoh-tokoh Quraisy ketika salat di Masjidil Haram.
Demikian pula ketika hijrah ke Madinah, musibah itu bukan berkurang
bahkan terlalu banyak untuk dihitung. Meskipun demikian, pada umumnya
musibah-musibah itu disikapi oleh beliau dengan berdoa biasa.
Namun ketika terjadi empat musibah besar, Rasulullah
saw. menyikapinya secara berbeda. Sikap beliau itu menunjukkan bahwa
musibah itu merupakan sesuatu yang “luar biasa” bagi beliau. Adapun
musibah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, pada tahun ke-2 hijrah, ketika
pribadi-pribadi muslim berada dalam cengkraman kafir karena meninggalkan
kemusyrikannya. Mereka mati terbunuh ketika hendak menemui Nabi saw. di
Madinah, antara lain al-Walid bin al-Walid bin al-Mughirah, saudaranya
Khalid bin al-Walid. Ia termasuk salah seorang di antara 70 orang dari
kaum musyrik yang ditawan pada perang Badar. Setelah dibebaskan oleh
saudaranya Hisyam dan Khalid, ia masuk Islam. Karena itu, ia dilecehkan
dan ditahan oleh kaum musyrik di Mekah. Maka Nabi mendoakan keselamatan
bagi dirinya waktu qunut, sebagaimana diterangkan oleh Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي دُبُرِ صَلَاةِ الظُّهْرِ اللَّهُمَّ خَلِّصِ
الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي
رَبِيعَةَ وَضَعَفَةَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَيْدِي الْمُشْرِكِينَ
الَّذِينَ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا – رواه
أحمد –
“Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah berdoa pada
akhir salat dzuhur, ‘Ya, Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid,
Salamah bin Hisyam, ‘Ayasy bin Abu Rabi’ah, dan kaum muslimin yang
lemah, dari kezhaliman orang musyrik, mereka tidak mampu untuk keluar
dari mereka’.” H.r. Ahmad
Pada riwayat Al-Bukhari diterangkan secara tegas dengan beberapa redaksi:
• كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ
أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا
قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ
اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ …
Beliau bila hendak mendoakan kecelakan atas seseorang
atau mendoakan kebaikan bagi seseorang, beliau qunut sesudah ruku
(kadang-kadang Abu Huraerah berkata) sesudah mengucapkan sami’allahu
liman hamidah, ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid…
• قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَدْعُو فِي الْقُنُوتِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ
اللَّهُمَّ…
Nabi saw. berdoa waktu qunut, ‘Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam, ya Allah…
• كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ …
bila bangkit dari ruku terakhir beliau berdoa, ‘Ya Allah selamatkanlah Ayyasy bin Abu Mu’awiyah…
Doa Nabi diijabah, ia dapat meloloskan diri dari
tawanan itu dan bertemu dengan Nabi saw. waktu Umrah al-Qadha. Lalu ia
mengirim surat kepada saudaranya Khalid bin al-Walid agar masuk Islam.
Melalui wasilah al-Walid inilah Khalid pun tertarik kepada Islam.
Setelah Rasulullah saw. kembali ke Madinah, al-Walid bermaksud menyusul
beliau. Namun sebelum sampai tujuan, ia dibantai oleh kaum kafir.
(lihat, Al-Ishabah fi Tamyizis Shahabah, Juz VI, h. 590; Al-Isti’ab,
IV:118-119)
Kedua, pada tahun ke-3 hijiriah ketika kaum Quraisy
ingin menuntut balas atas kematian para pemimpin dan tokoh mereka yang
tewas pada perang badar. Kekuatan Quraisy yang berjumlah 3000 orang
dengan motif balas dendam, menyerang kaum muslimin yang berjumlah 600
orang yang motifnya mempertahankan akidah, iman, dan agama Allah. Pada
pertempuran ini, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan muslimin jatuh
berguguran. Bahkan Rasul sendiri mengalami luka yang cukup serius,
dengan wajah dan bibir pecah-pecah, serta dua buah gigi serinya tanggal.
Nabi Muhamad berhasil lolos dari maut. Dengan segelintir sahabat yang
masih hidup, beliau mendaki gunung Uhud, dan dapat menyelamatkan diri
dari kejaran musuh. Menurut Ibnu Jarir, sambil mengusap darah yang
bercucuran pada wajahnya, beliau mengatakan, “Mengapa berjaya kaum yang
mewarnai wajah nabi mereka dengan darah, padahal ia menyeru mereka
kepada Allah” (Al-Kamil fit Tarikh, II:155) Sedangkan dalam riwayat
Muslim diterangkan.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ
فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ
شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى
اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ
شَيْءٌ ) - رواه مسلم -
“Sesungguhnya Rasulullah saw. pecah
giginya pada perang Uhud dan luka di kepalanya, …dan beliau berkata,
‘Mengapa berjaya kaum yang melukai Nabi mereka dan memecahkan giginya,
padahal ia menyeru mereka kepada Allah, maka Allah menurunkan (ayat)
laisa laka minal amri syaiun.”
Ayat laisa laka minal amri syaiun (Q.s. Ali
Imran:128) diturunkan pada tahun ke-3 hijriah. Adapun maksud ayat
tersebut, Allah swt. menerangkan taqsim atau tanwi’ dengan menggunakan
kata-kata au, yakni menerangkan golongan kafir yang menerima
bermacam-macam nasib. Allah menakdirkan terjadinya peperangan, antara
lain perang Uhud, yaitu Allah hendak membagi manusia kafir menjadi
beberapa macam, ada sebagian yang musnah binasa, dan ada golongan yang
lemah rendah, ada golongan yang diberi tobat, dan ada golongan yang
disiksa, dan dalam ketentuan tersebut semuanya ada pada kekuasaan Allah,
tidak ada sedikitpun wewenang dan kekuasaan pada kamu (wahai Muhamad)
(Istifta, K.H.E. Abdurrahman)
Adapun sikap Rasulullah saw. dalam menghadapi
peristiwa ini dapat kita lihat dari penjelasan para sahabat, antara lain
Ibnu Umar:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَرَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ
الرُّكُوعِ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فِي الْأَخِيرَةِ
ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ
عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ ) – رواه البخاري –
“Sesungguhnya Nabi saw. pada salat shubuh ketika
bangkit dari ruku mengucapkan allahumma rabbana walakal hamdu, kemudian
berdoa, ‘Ya Allah, laknatlah si Pola dan si Polan, maka Allah menurunkan
(ayat) laisa laka minal amri…” H.r. Al-Bukhari
Sedangkan orang-orang yang didoakan oleh Nabi, dijelaskan pada riwayat Ahmad sebagai berikut:
اللَّهُمَّ الْعَنِ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ
الْعَنْ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو اللَّهُمَّ الْعَنْ صَفْوَانَ بْنَ
أُمَيَّةَ قَالَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ (لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ
شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ
ظَالِمُونَ) قَالَ فَتِيبَ عَلَيْهِمْ كُلِّهِمْ – أحمد –
“Ya Allah laknatlah al-Harits bin Hisyam, ya Allah
laknatlah Suhail bin Amr, ya Allah laknatlah Shafwan bin Umayyah (Ibnu
Umar berkata) maka turun ayat ini laisa laka…(Ibnu Umar berkata) Lalu
tobat mereka diterima” H.r. Ahmad
Ketiga, Rombongan ‘Adhl dan al-Qarah, kaum kafir dari
kabilah Banu Lihyan, memohon kepada Rasulullah agar mengirimkan para
muballigh. Tapi ternyata mereka berkhianat, 8 orang di antara utusan
Rasul yang dipimpin Ashim bin Tsabit (kakek Ashim bin Umar bin Khatab)
itu dibunuh dengan cara yang kejam, di pangkalan air milik Hudzail di
daerah yang disebut ar-Raji’ (sekitar Hijaz), sedangkan 2 orang
ditangkap dan ditawan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Kedua
orang tersebut ialah Khubaib bin ‘Adi dan Zaid bin ad-Datsinah. Dalam
keadaan terkepung dan sebelum dibunuh, Ashim berdoa:
أَللَّهُمَّ أَخْبِرْ عَنَّا نَبِيَّكَ
“Ya Allah, kabarkanlah kepada nabi-Mu tentang kami” .Peristiwa itu terkenal dengan nama ar-Raji’ (Lihat, Fathul Bari, VII:130-131; Tarikh at-Thabari, II:77; As-Sirah an-Nabawiyyah libni Hisyam, IV:123;)
Keempat, rombongan Ri’lin dan Dzakwan, kaum kafir
dari kabilah Banu Sulaim, mengundang mubaligh-mubaligh Islam, dan
berjanji akan menjamin keamanannya. Tapi ternyata mereka berkhianat,
membunuh secara biadab 70 orang al-qurra. Al-Qurra adalah mereka yang
pada siang hari giat mencari rezeki dengan jalan yang halal, kemudian
hasilnya dipergunakan memenuhi keperluan maka para ahli Suffah. Para
Ahlu Suffah adalah para pelajar yang menetap di serambi mesjid
Rasulullah saw. Al-Qurra itu sendiri pada malam harinya turut juga
belajar kepada Rasulullah saw., pada setiap malam mereka giat mendirikan
salat dan membaca Alquran. Peristiwa itu terkenal dengan nama Bi’ru
Ma’unah. (lihat, Fathul Bari, VII:139, Zadul Ma’ad, III:214)
Kedua peristiwa di atas terjadi pada bulan dan tahun
yang sama, yaitu bulan Shafar tahun ke-4 hijriah. Karena berdekatannya
peristiwa tersebut, oleh Imam Al-Bukhari keduanya dijadikan judul secara
bergandengan dalam kitab al-Maghazi. (lihat, Fathul Bari, VII:130)
Rasulullah saw. sangat terpukul setelah mendengar berita peristiwa tersebut. Anas bin Malik mengatakan:
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ
أَشَدَّ مِنْهُ – رواه البخاري –
“Sesungguhnya
Nabi saw. berqunut sebulan lamanya ketika al-qurra dibunuh, dan saya
tidak pernah melihat beliau berduka cita yang lebih mendalam dari itu”
H.r. Al-Bukhari
Adapun sikap beliau terhadap peristiwa tersebut dapat dilihat pada keterangan-keterangan sebagai berikut: Ibnu Abas mengatakan:
قَنَتَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا
فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ
فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ
عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
Rasulullah saw. pernah berqunut selama sebulan berturu-turut diwaktu dluhur, ashar,maghrib, isya dan shubuh diakhir tiap-tiap salat sesudah beliau membaca samiallahu liman hamidah dari rakaat yang terakhir. Beliau mendoakan kecelakaan atas mereka kabilah-kabilah Bani Sulaim, yaitu bani Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah, dan makmum yang ada di belakang mengaminkan beliau. H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud II:68; Ahmad, Musnad Ahmad I:301; Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Khuzaimah I:313; Al Hakim, Al Mustadrak I: 348; Al Baihaqi, As Sunanul Qubra II:200.
Anas mengatakan:
قَنَتَ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو
عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ
وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لِحْيَانَ – رواه البخاري –
“Beliau qunut sebulan lamanya pada salat subuh
mendoakan kecelakaan atas kabilah-kabilah Arab, yaitu Ri’il, Dzakwan,
Ushayyah, dan Banu Lihyan.” H.r. Al-Bukhari
Al-Qasthalani berkata, “Dari doa ini akan disangka bahwa Banu Lihyan termasuk kaum yang membunuh al-Qura di Bi’ru Ma’unah. Padahal tidak demikian, karena yang membunuh al-Qura hanya Ri’il, Dzakwan, Ushayyah, dan sahabat mereka dari kaum Banu Sulaim, sedangkan Banu Lihyan adalah yang membunuh utusan ar-Raji’. Dan berita kematian mereka (peristiwa Bi’ru Ma’unah dan ar-Raji’) sampai kepada Nabi pada waktu yang sama, lalu beliau menduakan para sahabatnya yang terbunuh di dua tempat dengan du’a yang sama” – Bulughul Amani, juz. III, hal. 297
Ibnu Hajar mengatakan, “Dalil yang menunjukkan
berdekatannya kedua peristiwa tersebut adalah hadis Anas bahwa Nabi
menyatukan (penyebutan) antara Banu Lihyan dan Banu Ushayyah serta yang
lainnya pada doa beliau” Fathul Bari, VIII:132
Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa
keempat musibah di atas disikapi oleh Nabi saw. dengan sikap yang
istimewa, berdoa secara khusus dan dengan amaliah yang khusus, yaitu
setelah bangkit dari ruku pada rakaat terakhir di salat wajib. Amaliah
ini oleh para sahabat diistilahkan dengan qunut.
Qunut dilakukan oleh Nabi saw. dengan memperhatikan
kualitas orang yang terkena musibah itu, bukan kuantitasnya, bukan
karena dahsyatnya peristiwa yang terjadi, melainkan karena hilangnya
sokoguru kehidupan Islam untuk masa depan. Wafatnya kader-kader terbaik
yang kuat akidahnya serta patuh terhadap Islam secara lahir batin. Kaum
muslimin kehilangan “tangan-tangan suci” untuk perjuangan suci,
kehilangan “putera-putera” Islam yang layak menempati kedudukan mulia.
Bagaimanakah kehidupan masyarakat akan terselenggara dengan baik bila
orang-orang seperti tidak muncul kembali ? Dengan wafatnya mereka maka
hakikat Islam akan hilang dari muka Bumi.
Dengan demikian, tidak
setiap musibah yang menimpa kaum muslimin layak disikapi dengan qunut,
justru banyak peristiwa yang terjadi yang harus disikapi dengan
introspeksi dan mencari solusi, bukan dengan qunut.
Dari keterangan-keterangan di atas, kami berkesimpulan bahwa:
1.
Qunut dilakukan ketika terjadi musibah besar bagi Islam, yaitu
terbunuhnya orang-orang yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. sokoguru kehidupan Islam untuk masa depan.
b. kader-kader terbaik yang kuat akidahnya serta patuh terhadap Islam secara lahir b atin
c. “tangan-tangan suci” untuk perjuangan suci.
d. Putera-putera Islam yang layak menempati kedudukan mulia
Sejarah Penetapan Syariat Qunut
Selama perjalanan dakwah Rasulullah saw., sungguh banyak musibah yang menimpa umat Islam, baik yang bersifat alami maupun karena faktor manusiawi, yaitu sifat hasud yang menimbulkan kezaliman.
Musibah karena faktor manusiawi pernah dialami oleh
Rasulullah saw. dan para sahabatnya, terutama pada periode Mekah. Amar
bin Yasir, Bilal bin Rabbah, dan sahabat lainnya, bahkan Rasul sendiri
pernah diganggu oleh tokoh-tokoh Quraisy ketika salat di Masjidil Haram.
Demikian pula ketika hijrah ke Madinah, musibah itu bukan berkurang
bahkan terlalu banyak untuk dihitung. Meskipun demikian, pada umumnya
musibah-musibah itu disikapi oleh beliau dengan berdoa biasa.
Namun ketika terjadi empat musibah besar, Rasulullah
saw. menyikapinya secara berbeda. Sikap beliau itu menunjukkan bahwa
musibah itu merupakan sesuatu yang “luar biasa” bagi beliau. Adapun
musibah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, pada tahun ke-2 hijrah, ketika
pribadi-pribadi muslim berada dalam cengkraman kafir karena meninggalkan
kemusyrikannya. Mereka mati terbunuh ketika hendak menemui Nabi saw. di
Madinah, antara lain al-Walid bin al-Walid bin al-Mughirah, saudaranya
Khalid bin al-Walid. Ia termasuk salah seorang di antara 70 orang dari
kaum musyrik yang ditawan pada perang Badar. Setelah dibebaskan oleh
saudaranya Hisyam dan Khalid, ia masuk Islam. Karena itu, ia dilecehkan
dan ditahan oleh kaum musyrik di Mekah. Maka Nabi mendoakan keselamatan
bagi dirinya waktu qunut, sebagaimana diterangkan oleh Abu Hurairah:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي دُبُرِ صَلَاةِ الظُّهْرِ اللَّهُمَّ خَلِّصِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ وَضَعَفَةَ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أَيْدِي الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا – رواه أحمد –“
Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah berdoa pada akhir salat dzuhur, ‘Ya, Allah, selamatkanlah al-Walid bin al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayasy bin Abu Rabi’ah, dan kaum muslimin yang lemah, dari kezhaliman orang musyrik, mereka tidak mampu untuk keluar dari mereka’.” H.r. Ahmad
Pada riwayat Al-Bukhari diterangkan secara tegas dengan beberapa redaksi:
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ فَرُبَّمَا قَالَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ …
Beliau bila hendak mendoakan kecelakan atas seseorang atau mendoakan kebaikan bagi seseorang, beliau qunut sesudah ruku (kadang-kadang Abu Huraerah berkata) sesudah mengucapkan sami’allahu liman hamidah, ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid…
قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُو فِي الْقُنُوتِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ…
Nabi saw. berdoa waktu qunut, ‘Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam, ya Allah…
كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ …
bila bangkit dari ruku terakhir beliau berdoa, ‘Ya Allah selamatkanlah Ayyasy bin Abu Mu’awiyah…
Doa Nabi diijabah, ia dapat meloloskan diri dari tawanan itu dan bertemu dengan Nabi saw. waktu Umrah al-Qadha. Lalu ia mengirim surat kepada saudaranya Khalid bin al-Walid agar masuk Islam. Melalui wasilah al-Walid inilah Khalid pun tertarik kepada Islam. Setelah Rasulullah saw. kembali ke Madinah, al-Walid bermaksud menyusul beliau. Namun sebelum sampai tujuan, ia dibantai oleh kaum kafir. (lihat,Al-Ishabah fi Tamyizis Shahabah, Juz VI, h. 590; Al-Isti’ab, IV:118-119)
Kedua, pada tahun ke-3 hijiriah ketika kaum Quraisy
ingin menuntut balas atas kematian para pemimpin dan tokoh mereka yang
tewas pada perang badar. Kekuatan Quraisy yang berjumlah 3000 orang
dengan motif balas dendam, menyerang kaum muslimin yang berjumlah 600
orang yang motifnya mempertahankan akidah, iman, dan agama Allah. Pada
pertempuran ini, pahlawan-pahlawan teladan dari kalangan muslimin jatuh
berguguran. Bahkan Rasul sendiri mengalami luka yang cukup serius,
dengan wajah dan bibir pecah-pecah, serta dua buah gigi serinya tanggal.
Nabi Muhamad berhasil lolos dari maut. Dengan segelintir sahabat yang
masih hidup, beliau mendaki gunung Uhud, dan dapat menyelamatkan diri
dari kejaran musuh. Menurut Ibnu Jarir, sambil mengusap darah yang
bercucuran pada wajahnya, beliau mengatakan, “Mengapa berjaya kaum yang
mewarnai wajah nabi mereka dengan darah, padahal ia menyeru mereka
kepada Allah” (Al-Kamil fit Tarikh, II:155) Sedangkan dalam riwayat
Muslim diterangkan.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ وَيَقُولُ كَيْفَ يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ إِلَى اللَّهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ ) - رواه مسلم -
“Sesungguhnya Rasulullah saw. pecah giginya pada perang Uhud dan luka di kepalanya, …dan beliau berkata, ‘Mengapa berjaya kaum yang melukai Nabi mereka dan memecahkan giginya, padahal ia menyeru mereka kepada Allah, maka Allah menurunkan (ayat) laisa laka minal amri syaiun.”
Ayat laisa laka minal amri syaiun (Q.s. Ali Imran:128) diturunkan pada tahun ke-3 hijriah. Adapun maksud ayat tersebut, Allah swt. menerangkan taqsim atau tanwi’ dengan menggunakan kata-kata au, yakni menerangkan golongan kafir yang menerima bermacam-macam nasib. Allah menakdirkan terjadinya peperangan, antara lain perang Uhud, yaitu Allah hendak membagi manusia kafir menjadi beberapa macam, ada sebagian yang musnah binasa, dan ada golongan yang lemah rendah, ada golongan yang diberi tobat, dan ada golongan yang disiksa, dan dalam ketentuan tersebut semuanya ada pada kekuasaan Allah, tidak ada sedikitpun wewenang dan kekuasaan pada kamu (wahai Muhamad) (Istifta, K.H.E. Abdurrahman)
Adapun sikap Rasulullah saw. dalam menghadapi
peristiwa ini dapat kita lihat dari penjelasan para sahabat, antara lain
Ibnu Umar:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَرَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ فِي الْأَخِيرَةِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ ) – رواه البخاري –
“Sesungguhnya Nabi saw. pada salat shubuh ketika bangkit dari ruku mengucapkan allahumma rabbana walakal hamdu, kemudian berdoa, ‘Ya Allah, laknatlah si Pola dan si Polan, maka Allah menurunkan (ayat) laisa laka minal amri…” H.r. Al-Bukhari
Sedangkan orang-orang yang didoakan oleh Nabi, dijelaskan pada riwayat Ahmad sebagai berikut:
اللَّهُمَّ الْعَنِ الْحَارِثَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ الْعَنْ سُهَيْلَ بْنَ عَمْرٍو اللَّهُمَّ الْعَنْ صَفْوَانَ بْنَ أُمَيَّةَ قَالَ فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ (لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ) قَالَ فَتِيبَ عَلَيْهِمْ كُلِّهِمْ – أحمد –
“Ya Allah laknatlah al-Harits bin Hisyam, ya Allah laknatlah Suhail bin Amr, ya Allah laknatlah Shafwan bin Umayyah (Ibnu Umar berkata) maka turun ayat ini laisa laka…(Ibnu Umar berkata) Lalu tobat mereka diterima” H.r. Ahmad
Ketiga, Rombongan ‘Adhl dan al-Qarah, kaum kafir dari
kabilah Banu Lihyan, memohon kepada Rasulullah agar mengirimkan para
muballigh. Tapi ternyata mereka berkhianat, 8 orang di antara utusan
Rasul yang dipimpin Ashim bin Tsabit (kakek Ashim bin Umar bin Khatab)
itu dibunuh dengan cara yang kejam, di pangkalan air milik Hudzail di
daerah yang disebut ar-Raji’ (sekitar Hijaz), sedangkan 2 orang
ditangkap dan ditawan, yang kemudian dibawa ke Mekah dan dijual. Kedua
orang tersebut ialah Khubaib bin ‘Adi dan Zaid bin ad-Datsinah. Dalam
keadaan terkepung dan sebelum dibunuh, Ashim berdoa:
أَللَّهُمَّ أَخْبِرْ عَنَّا نَبِيَّكَ
“Ya Allah, kabarkanlah kepada nabi-Mu tentang kami” .
Peristiwa itu terkenal dengan nama ar-Raji’ (Lihat, Fathul Bari, VII:130-131; Tarikh at-Thabari, II:77; As-Sirah an-Nabawiyyah libni Hisyam, IV:123;)
Keempat, rombongan Ri’lin dan Dzakwan, kaum kafir
dari kabilah Banu Sulaim, mengundang mubaligh-mubaligh Islam, dan
berjanji akan menjamin keamanannya. Tapi ternyata mereka berkhianat,
membunuh secara biadab 70 orang al-qurra. Al-Qurra adalah mereka yang
pada siang hari giat mencari rezeki dengan jalan yang halal, kemudian
hasilnya dipergunakan memenuhi keperluan maka para ahli Suffah. Para
Ahlu Suffah adalah para pelajar yang menetap di serambi mesjid
Rasulullah saw. Al-Qurra itu sendiri pada malam harinya turut juga
belajar kepada Rasulullah saw., pada setiap malam mereka giat mendirikan
salat dan membaca Alquran. Peristiwa itu terkenal dengan nama Bi’ru
Ma’unah. (lihat, Fathul Bari, VII:139, Zadul Ma’ad, III:214)
Kedua peristiwa di atas terjadi pada bulan dan tahun
yang sama, yaitu bulan Shafar tahun ke-4 hijriah. Karena berdekatannya
peristiwa tersebut, oleh Imam Al-Bukhari keduanya dijadikan judul secara
bergandengan dalam kitab al-Maghazi. (lihat, Fathul Bari, VII:130)
Rasulullah saw. sangat terpukul setelah mendengar berita peristiwa tersebut. Anas bin Malik mengatakan:
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا حِينَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ – رواه البخاري –
“Sesungguhnya Nabi saw. berqunut sebulan lamanya ketika al-qurra dibunuh, dan saya tidak pernah melihat beliau berduka cita yang lebih mendalam dari itu” H.r. Al-Bukhari
Adapun sikap beliau terhadap peristiwa tersebut dapat dilihat pada keterangan-keterangan sebagai berikut: Ibnu Abas mengatakan:
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ
Rasulullah saw. pernah berqunut selama sebulan berturu-turut diwaktu dluhur, ashar,maghrib, isya dan shubuh diakhir tiap-tiap salat sesudah beliau membaca samiallahu liman hamidah dari rakaat yang terakhir. Beliau mendoakan kecelakaan atas mereka kabilah-kabilah Bani Sulaim, yaitu bani Ri’il, Dzakwan dan Ushayyah, dan makmum yang ada di belakang mengaminkan beliau. H.R. Abu Daud, Sunan Abu Daud II:68; Ahmad, Musnad Ahmad I:301; Ibnu Khuzaimah, Sahih Ibnu Khuzaimah I:313; Al Hakim, Al Mustadrak I: 348; Al Baihaqi, As Sunanul Qubra II:200.
Anas mengatakan:
قَنَتَ شَهْرًا فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَبَنِي لِحْيَانَ – رواه البخاري –
“Beliau qunut sebulan lamanya pada salat subuh mendoakan kecelakaan atas kabilah-kabilah Arab, yaitu Ri’il, Dzakwan, Ushayyah, dan Banu Lihyan.” H.r. Al-Bukhari
Al-Qasthalani berkata, “Dari doa ini akan disangka bahwa Banu Lihyan termasuk kaum yang membunuh al-Qura di Bi’ru Ma’unah. Padahal tidak demikian, karena yang membunuh al-Qura hanya Ri’il, Dzakwan, Ushayyah, dan sahabat mereka dari kaum Banu Sulaim, sedangkan Banu Lihyan adalah yang membunuh utusan ar-Raji’. Dan berita kematian mereka (peristiwa Bi’ru Ma’unah dan ar-Raji’) sampai kepada Nabi pada waktu yang sama, lalu beliau menduakan para sahabatnya yang terbunuh di dua tempat dengan du’a yang sama” Lihat, Bulughul Amani, juz. III, hal. 297
Ibnu Hajar mengatakan, “Dalil yang menunjukkan
berdekatannya kedua peristiwa tersebut adalah hadis Anas bahwa Nabi
menyatukan (penyebutan) antara Banu Lihyan dan Banu Ushayyah serta yang
lainnya pada doa beliau” Fathul Bari, VIII:132
Keterangan-keterangan
di atas menunjukkan bahwa keempat musibah di atas disikapi oleh Nabi
saw. dengan sikap yang istimewa, berdoa secara khusus dan dengan amaliah
yang khusus, yaitu setelah bangkit dari ruku pada rakaat terakhir di
salat wajib. Amaliah ini oleh para sahabat diistilahkan dengan qunut.
Qunut dilakukan oleh Nabi saw. dengan memperhatikan
kualitas orang yang terkena musibah itu, bukan kuantitasnya, bukan
karena dahsyatnya peristiwa yang terjadi, melainkan karena hilangnya
sokoguru kehidupan Islam untuk masa depan. Wafatnya kader-kader terbaik
yang kuat akidahnya serta patuh terhadap Islam secara lahir batin. Kaum
muslimin kehilangan “tangan-tangan suci” untuk perjuangan suci,
kehilangan “putera-putera” Islam yang layak menempati kedudukan mulia.
Bagaimanakah kehidupan masyarakat akan terselenggara dengan baik bila
orang-orang seperti tidak muncul kembali ? Dengan wafatnya mereka maka
hakikat Islam akan hilang dari muka Bumi.
Dengan demikian, tidak setiap musibah yang menimpa
kaum muslimin layak disikapi dengan qunut, justru banyak peristiwa yang
terjadi yang harus disikapi dengan introspeksi dan mencari solusi, bukan
dengan qunut.
Dari keterangan-keterangan di atas, kami berkesimpulan
bahwa Qunut dilakukan ketika terjadi musibah besar bagi Islam, yaitu
terbunuhnya orang-orang yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
- Sosok guru kehidupan Islam untuk masa depan.
- Kader-kader terbaik yang kuat akidahnya serta patuh terhadap Islam secara lahir batin
- "tangan-tangan suci” untuk perjuangan suci
- Putera-putera Islam yang layak menempati kedudukan mulia
Qunut Tiap Shubuh
Masalah qunut khusus pada salat shubuh
merupakan masalah lama yang telah diperbincangkan oleh para ulama,
ustadz, dan orang-orang awam. Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa
qunut Shubuh itu sunnah, bahkan ada pula yang berpendapat bahwa qunut
itu bagian dari shalat, apabila tidak diker-jakan, maka shalatnya tidak
sempurna, bahkan mereka katakan harus sujud sahwi. Ada pula yang
berpendapat bahwa qunut Shubuh itu tidak boleh dikerjakan, bahkan ada
pula yang berpendapat bahwa qunut Shubuh itu bid’ah.
Pendapat Ulama Yang Menyunnahkannya
Sebagian orang ada yang mengatakan: “Madzhab
kami berpendapat sunnah berqunut pada shalat Shubuh, baik ada nazilah
ataupun tidak ada nazilah.”
Apabila kita perhatikan kita dapat mengetahui bahwa
yang melatarbelakangi pendapat mereka adalah ‘anggapan’ mereka tentang
ke-shahih-an hadits tentang qunut Shubuh secara terus-menerus. Akan
tetapi setelah dianalisa hemat kami semua hadis tersebut ternyata dha’if
(lemah). Penjelasan kedaifannya dapat dibaca pada pembahasan
selanjutnya.
Kemungkinan besar, ulama yang menyunahkannya belum
mengetahui tentang kelemahan hadis-hadis itu. Bila kita bandingkan
dengan pernyataan para ulama sebagai berikut:
1. Imam Ibnul Mubarak berpendapat tidak ada qunut pada salat Shubuh.
2. Imam Abu Hanifah berkata: “Qunut Shubuh (terus-menerus itu) dilarang.” Lihat,Subul as-Salam, I:378.
3. Abul Hasan al-Kurajiy asy-Syafi’i (wafat th.
532 H), beliau tidak mengerjakan qunut Shubuh. Dan ketika ditanya:
“Mengapa demikian?” Beliau menjawab, “Tidak ada satu pun hadits yang
shah tentang masalah qunut Shubuh!!”Lihat, Silsilah al-Ahaadits
adh-Dha’iifah wa al-Maudhu’ah, II:388.
4. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Tidak ada
sama sekali petunjuk dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakan qunut Shubuh terus-menerus. Jumhur ulama berkata: “Tidaklah
qunut Shubuh ini dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan
tidak ada satupun dalil yang sah yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengerjakan demikian.” Lihat, Zaad al-Ma’aad, I:271
& 283, tahqiq Syu’aib al-Arnauth dan ‘Abdul Qadir al-Arnauth
5. Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Qunut Shubuh
tidak disyari’atkan kecuali bila ada nazilah (musibah) itu pun dilakukan
di lima waktu shalat, dan bukan hanya di waktu shalat Shubuh. Imam Abu
Hanifah, Ahmad bin Hanbal, Ibnul Mubarak, Sufyan ats-Tsauri dan Ishaq,
mereka semua tidak melakukan qunut Shubuh.” Lihat, Fiqh as-Sunnah,
I:167-168
Di sini akan kami kemukakan hadis-hadis yang
dijadikan pegangan oleh mereka yang berpendapat qunut Shubuh itu sunnah
atau bagian dari shalat, dan pendapat para ulama-ulama yang berpendapat
sebaliknya karena hadis-hadis itu dianggap daif.
Hadis Pertama
Dari Anas bin Malik, ia berkata:
مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah saw. senantiasa berqunut pada salat shubuh hingga beliau berpisah dari dunia (wafat).” H.r. Ahmad, al-Musnad, III:162; ‘Abdurrazzaq, al-Mushannaf, III:110; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, II:312; ath-Thahawi, Syarah Ma’an al-Atsar, I:244; ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II:39; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:201; al-Baghawi, Syarh as-Sunnah, III:124; Ibn al-Jauzi, al-‘Ilal al-Mutanahiyah, I:441, No.753.
Semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari jalan Abu
Ja’far ar-Razi (yang telah menerima hadits ini) dari Rubaiyyi’ bin Anas,
ia berkata, “Aku pernah duduk di sisi Anas bin Malik, lalu ada
(seseorang) yang bertanya, ‘Apakah sesungguhnya Rasulullah saw, pernah
qunut selama sebulan?’ Kemudian Anas bin Malik menjawab, ‘...(Seperti
redaksi hadis di atas).
Keterangan: Hadis ini telah dinyatakan daif oleh para Ahli Hadis:
1. Imam Ibnu Turkamani yang memberikan ta’liq
(ko-mentar) atas Sunan Baihaqi membantah pernyataan al-Baihaqi yang
mengatakan hadits itu shahih. Ia berkata: “Bagaimana mungkin sanadnya
shahih? Sedang perawi yang meriwayatkan dari Rubaiyyi’, yaitu Abu Ja’far
‘Isa Bin Mahan Ar-Razi, diperbincangkan oleh para Ahli Hadits. (Lihat,
as-Sunan al-Kubra, I:202)
[1]. Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam
an-Nasa-i ber-kata, “Ia bukan orang yang kuat riwayatnya”. [2]. Imam Abu
Zur’ah berkata, “Ia banyak salah”. [3]. Imam al-Fallas berkata, “Ia
buruk hafalannya”. [4]. Imam Ibnu Hibban menyatakan bahwa ia sering
membawakan hadis-hadis munkar dari orang-orang yang masyhur” (Lihat,
Mizan al-I’tidal, III:319, Tarikh Baghdad, XI:146, Tahdzib at-Tahdzib,
XII:57)
2. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Abu
Ja’far ini telah didaifkan oleh Imam Ahmad dan imam-imam yang lain…
Syaikh kami Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata kepadaku, ‘Sanad
hadits ini (hadits qunut Shubuh) sama dengan sanad hadits (yang ada
dalam Mustadrak al-Hakim, II:323-324) tentang ma-salah Ruh yang diambil
perjanjian dalam surat al-A’raf:172…Ibnul Qayyim berkata, “Maksud dari
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ialah bahwa Abu Ja’far ‘Isa bin Mahan
ar-Razi adalah orang yang sering membawakan hadis-hadis munkar. Yang
tidak ada seorang pun dari Ahli Hadits yang berhujjah dengannya ketika
dia menyendiri (dalam periwayatannya).” Saya katakan: “Dan di antara
hadis-hadis itu ialah hadis qunut Shubuh terus-menerus.”(Lihat, Zaad
al-Ma’aad, I:276)
3. Al-Hafizh Ibnu Katsir ad-Damsyqiy asy-Syafi’i
dalam kitab tafsirnya juga menyatakan bahwa riwayat Abu Ja’far ar-Razi
itu munkar.
4. Al-Hafizh az-Zaila’i dalam kitabnya Nashb
ar-Raayah (II;132) sesudah membawakan hadits Anas di atas, ia berkata:
“Hadits ini telah dilemahkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitabnya
at-Tahqiq dan al-‘Ilalul Muta-nahiyah, ia berkata: Hadits ini tidak sah,
karena sesungguhnya Abu Ja’far ar-Razi, namanya adalah Isa bin Mahan,
dinyatakan oleh Ibnul Madini: ‘Ia sering keliru.’”
5. Imam Muhammad Nashiruddin al-Albany berkata, “Hadis Anas munkar.” Lihat,Silsilah al-Ahaadits adh-Dha’iifah, No. 1238.
Hadis Kedua
قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَأَحْسِبُهُ قَالَ رَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
Rasulullah saw. pernah qunut, begitu juga Abu bakar, Umar, Usman. dan saya (rawi) menyangka dan yang keempat berkata sampai saya berpisah dengan mereka”. H.r. ad-Daruquthni, Sunan ad-Daruquthni, II:166-167 dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, II:201, Keduanya telah meriwayatkan hadits yang kedua ini dari jalan Isma’il bin Muslim al-Makki dan Ibnu Ubaid (yang keduanya telah terima hadits ini ) dari al-Hasan al-Bashri (yang telah terima hadits ini) dari Anas (bin Malik).
Penjelasan para ahlis hadis tentang rawi hadis diatas
1.
Isma’il bin Muslim al-Makki, ia adalah seorang yang lemah haditsnya.
Abu Zur’ah berkata, “Ia adalah seorang perawi yang lemah.” Imam Ahmad
dan yang lainnya berkata, “Ia adalah seorang munkarul hadits.”Imam
an-Nasa-i dan yang lainnya berkata, “Ia seorang perawi yang matruk
(seorang perawi yang ditinggalkan atau tidak dipakai, karena tertuduh
dusta).”Imam Ibnul Madini berkata, “Tidak boleh ditulis haditsnya ...".
Lihat, Mizan al-I'tidal, I:248 No. 945, Taqrib at-Tahdzib, I:99 No. 485.
2. Amr bin Ubaid bin Bab (Abu ‘Utsman al-Bashri),
adalah seorang Mu’tazilah yang selalu mengajak manusia untuk berbuat
bid’ah. Imam Ibnu Ma’in berkata, “Tidak boleh ditulis haditsnya.”Imam
an-Nasa-i berkata: “Ia matrukul hadits.”Lihat, Mizan al-I'tidal III:273
No. 6404, Taqrib at-Tahdzib, I:740 No. 5087.
3. Hasan bin Abil Hasan Yasar al-Bashri, namanya
yang sudah masyhur adalah Hasan al-Bashri. Al-Hafizh adz-Dzahabi dan
al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ia adalah seorang Tabi’in dan seorang
yang mempunyai keutamaan, akan tetapi ia banyak me-mursal-kan hadits dan
sering melakukan tadlis. Dan dalam hadits di atas, ia memakai sighat
‘an (dari)” Lihat, Mizan al-I’tidal, I:527, Tahdzib at-Tahdzib, II:231,
Taqrib at-Tahdzib, I:202 No. 1231.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa
hadis yang kedua di atas itu derajatnya dha’ifun jiddan (sangat lemah),
sehingga hadis tersebut tidak dapat dijadikan penguat (syahid) bagi
hadis Anas di atas. Dan sekaligus juga tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah.
Qunut Pada Salat Witir
Sepanjang pengetahuan kami,
hadis tentang qunut pada salat witir diriwayatkan dari beberapa orang
sahabat; Al-Hasan bin Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abu Bakar,
Umar, Usman, dan Ali bin Abu Thalib
Hadis qunut pada salat witir dari sahabat Al-Hasan bin Ali diriwayatkan melalui beberapa jalan dengan redaksi yang agak berbeda.
A. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Abu Daud,
Al-Baghawi, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim melalui rawi Abu Ishaq as-Sabi’i,
dari Buraid bin Abu Maryam, dari Abu Al-Haura, dengan redaksi sebagai
berikut:
قَالَ
الْحَسَنُ بْنُ عَلِىٍّ رضى الله عنهما عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِى الْوِتْرِ قَالَ ابْنُ
جَوَّاسٍ فِى قُنُوتِ الْوِتْرِ « اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ
وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ
لِى فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ
يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ وَلاَ يَعِزُّ مَنْ
عَادَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ ».
Al-Hasan bin Ali berkata, “Rasulullah saw. Telah mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku ucapkan pada witir. Kata Ibnu Jawwas dengan lafal “pada qunut witir”: Allaahummah dinii fiiman hadaita.. (lihat, Sunan At-Tirmidzi, II:328, Sunan Abu Daud, I:329, Syarh as-Sunnah, III:172, al-Mu’jam al-Kabir, III:73 hadis No. 2701, 2702, 2703, 2706, 2707, 2713, Al-Mustadrak, III:173)
B. Diriwayatkan oleh An-Nasai (Sunan An-Nasai, III:275) melalui rawi-rawi yang sama dengan di atas, dengan redaksi
عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي الْوِتْرِ فِي الْقُنُوتِ
اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ
وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ وَقِنِي
شَرَّ مَا قَضَيْتَ إِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ وَإِنَّهُ لَا
يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darimi, dan Ath-Thabrani dengan lafazh فى قنوت الوتر (lihat, Sunan Ibnu Majah, II:49-50; Musnad Ahmad I:200;Sunan Ad-Darimi, I:373; Al-Mu’jam al-Kabir, III:74 hadis No. 2705, 2712)
C. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani (Al-Mu’jam
al-Kabir, III:72 hadis No. 2700 ) melalui rawi Hisyam bin Urwah, dari
Aisyah, dari Al-Hasan bin Ali, dengan redaksi
عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دُعَاءَ الْقُنُوْتِ فِى الْوِتْرِ اللَّهُمَّ اهْدِنَا
فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ
تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ ، وَقِنَا شَرَّ مَا
قَضَيْتَ ، إِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ، وإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ
مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ
D. Diriwayatkan oleh Abdurrazaq (Al-Mushannaf III:117) melalui rawi Al-Hasan bin Umarah, dari Buraid bin Abu Maryam, dari Abu al-Haura, dengan lafazh
وَعَلَّمَنِي كَلِمَاتٍ أَدْعُوْ بِهِنَّ فِي
آخِرِ الْقُنُوْتِ اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ وَتَوَلَّنِي
فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ وَبَارِكْ لِي فِيمَا
أَعْطَيْتَ ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ فَإِنَّكَ تَقْضِي ، وَلاَ
يُقْضَى عَلَيْكَ ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ تَبَارَكْتَ
رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
E. Diriwayatkan oleh Abu Ya’la (Musnad Abu Ya’la XII:127, No. 6759) melalui rawi Syu’bah, dari Ibnu Abi Maryam, dengan redaksi
قال ابن أبي مريم: سمعت السعدي يقول. قلت للحسن
ما تحفظ من رسوالله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: سمعته يدعو فى
هذا الدعاء اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ...
F. Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
(Al-Kabir III:75 hadis No. 2708) melalui rawi Al-Hasan bin Ubaidillah,
dari Ibnu Abi Maryam, dari Abu Al-Haura, dengan lafazh
قلت للحسن بن علي ... وعقلت عنه الصلوات الخمس وكلما أقولهن عند انقضائهن قال اللهم اهدني فيمن هديت ...
G. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi
(as-Sunan al-Kubra, III:38, No. 5055) dan Al-Hakim (al-Mustadrak,
III:188, No. 4800) melalui rawi Hisyam bin Urwah, dari Urwah, dari
Aisyah, dengan redaksi
عَلَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى
وِتْرِى إِذَا رَفَعْتُ رَأْسِى وَلَمْ يَبْقَ إِلاَّ السُّجُودُ :«
اللَّهُمَّ اهْدِنِى فِيمَنْ هَدَيْتَ ، وَعَافِنِى فِيمَنْ عَافَيْتَ ،
وَتَوَلَّنِى فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ ، وَبَارِكْ لِى فِيمَا آتَيْتَ ،
وَقِنِى شَرَّ مَا قَضَيْتَ ، إِنَّكَ تَقْضِى وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ ،
إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ -
المستدرك على
Sedangkan hadis Ibnu Mas’ud diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni melalui rawi Alqamah dengan redaksi
بِتُّ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- لأَنْظُرَ كَيْفَ يَقْنُتُ فِى وِتْرِهِ ، فَقَنَتَ قَبْلَ الرُّكُوعِ
“Aku
bermalam bersama Nabi saw. Aku benar-benar melihat bagaimana beliau
qunut pada witirnya. Beliau qunut sebelum ruku’.” Lihat, as-Sunan
al-Kubra, III:41, No. 5060 dan Sunan Ad-Daraquthni II:32, No. 4.
Demikian pula diriwayatkan Ad-Daraquthni melalui rawi
Suwaid bin Ghaflah dari sahabat Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali dengan
redaksi
عَنْ سُوَيْد بْنِ غَفَلَةَ، قَالَ سَمِعْت أَبَا
بَكْرٍ. وَعُمَرَ. وَعُثْمَانَ. وَعَلِيًّا، يَقُولُونَ: قَنَتَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي آخِرِ الْوِتْرِ، وَكَانُوا
يَفْعَلُونَ ذَلِكَ
Dari Suwaid bin Ghaflah, ia berkata, “Aku mendengar Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali mereka berkata, ‘Rasulullah saw. qunut di akhir witir’. Dan mereka pun melakukan hal itu”. Lihat, Sunan Ad-Daraquthni, II:22
Hadis yang semakna diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah
(Sunan Ibnu Majah II:5) melalui rawi Said bin Abdurrahman bin Abza, dari
sahabat Ubay bin ka’ab.