Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Negara Islam, Adakah Konsepnya?

Oleh: Abdurrahman wahid

Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawabannya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? 

Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini jika memang ada? 

Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diajukan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah meninggalkan Islam.

Jawaban-jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat disederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata-kata: tidak ada

Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah pe­nulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, pe­nulis telah mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Ne­gara Islam itu.

Sampai hari inipun ia belum mene­mukannya, jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.

Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang baku dalam dunia Islam tentang dua hal. 

Pertama, Islam tidak menge­nal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pemimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagaimana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar-lah yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. 

Janji itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil-wakil mereka, dan de­ngan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan kepa­da komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. 

Ini tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.

Ketika Umar ditikam Abu Lu’luah dan berada di akhir masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pemilih (electoral college -ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari tu­juh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh dipilih men­jadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala pe­merintahan.

Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan dengan sebuah marga yang menurunkan calon-calon raja/sultan dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman empire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “formula Islami”.

Demikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menurut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. 

Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. 

Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), juga tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah ne­garakota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.

Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara-bangsa yang berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sampai seluruh dunia di-Islam-kan, baru dipikirkan bentuk nega­ra dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, mana­kah yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin ataukah Leon Trotsky?

Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilakukan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.

Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukan gagasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti membiarkan gagasan tersebut tercabik-tercabik karena perbedaan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya kemelut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat ini. 

Satu-satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama “Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham tentang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara tersebut, harus­kah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? 

Kalau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang muslim di dunia saja?

Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang pe­­mim­pin, yang terlalu memandang Islam dari sudut institusionalnya belaka. 

Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak gagas­an tersebut, adakah mereka masih layak disebut kaum muslimin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayoritas penganut agama tersebut?

Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan menjadi berantakanlah gagasan tersebut: dengan cara apa dia akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” kaum non-muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir muslimin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sangat me­nen­tang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah tuju­an. 

Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu?