Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Islam Radikal dan Pendangkalan Agama

Pandangan Gusdur
Oleh M. Syafi’i Anwar

Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan teror­is­me, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk peng­gunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radikal. 

Me­nu­­rut Gus Dur, satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bi­sa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Mus­lim­in diusir dari tem­­pat tinggal mereka (idza ukhriju min diya­ri­him). Ini pun masih diper­debatkan oleh sebagian ulama. Misal­nya diperdebatkan, bolehkah ka­um membunuh orang lain jika jiwanya sendiri tidak terancam. 

Tidak tanggung-tanggung, ke­caman Gus Dur dialamatkan kepada kelompok-kelompok Islam “garis keras” yang beberapa waktu lalu sering unjuk rasa dengan membawa pedang, celurit, atau bahan pele­dak lain hingga mere­ka yang melakukan sweeping terhadap warga asing (terutama AS) dan kafe-kafe minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab. 

Per­ta­ma, para penganut Islam garis keras tersebut mengalami se­macam ke­kecewaan dan alienasi karena “ketertinggalan” ummat Islam ter­ha­dap kemajuan Barat dan penetrasi budayanya dengan segala ek­ses­nya. Karena ketidakmampuan mereka untuk meng­im­bangi dampak materialistik budaya Barat, akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi ofensif materialistik dan penetrasi Barat. 

Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya pendang­kal­an agama dari kalangan ummat Islam  sendiri, khususnya ang­katan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang belatar bela­kang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan ekonomi.

Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan ma­te­­matik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada wak­tu untuk meng­­kaji Islam secara mendalam. 

Mereka mencu­kup­kan diri dengan inter­pretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci Al Qur’an dan Hadits dalam jum­lah besar memang mengagumkan. 

Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.

Pandangan Gus Dur tersebut di atas, sebenarnya tertuju ke­pa­­da kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama bisa di­kate­gori­kan sebagai neo-fundamentalisme. Ini mengingatkan saya pada ana­­­­li­sis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur terhadap ke­bangkit­an neo-fundamentalis Islam. 

Rahman menilai, keberadaan neo-funda­men­talisme Islam di berbagai ne­geri Muslim, sebenarnya bu­kanlah mem­berikan alternatif atau tawaran yang baik bagi masa de­pan Islam itu sendiri. 

Ini ka­rena neo-fun­da­mentalisme sebenarnya me­ngidap pe­nya­kit yang cu­kup berbahaya, yakni mendorong ke arah pe­miskinan in­te­lektual karena pandangan-pandangan literal dan teks­tual yang tidak mem­berikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke-Islaman klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. 

Selain itu, Rahman me­nilai kelompok neo-fundamentalis umumnya me­miliki pe­ma-haman yang superfisial, anti intelektual dan pe­mi­kirannya tidak ber­sumber dari ruh Al Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam. Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan.