Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional
Antara Demam Syari’at dan Kapitalisasi
Menurut Gus Dur, gagasan ekonomi Islam terlalu memfokuskan pada aspek-aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilai-nilai tersebut di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam, menurut Gus Dur, lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar bunga bank, asuransi, dan sejenisnya.
Bagi Gus Dur, prinsip “ekonomi Islam” adalah pendekatan parsial yang memanfaatkan kata Islam sebagai predikat atau simbol saja. Padahal yang terpenting bukanlah nama atau simbol itu sendiri, tetapi substansinya.
Untuk itu, tanpa ragu Gus Dur mendukung “ekonomi kerakyatan” baik dalam konsepsi maupun aplikasinya. Dukungannya terhadap ekonomi kerakyatan didasarkan pada tiga pertimbangan.
Pertama, dalam konsepsi Islam, orientasi ekonomi haruslah memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kesejahteraan rakyat banyak, yang dalam teori ushul fiqh dinamakan al maslahah al ammah.
Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan itu tidaklah ditentukan format dan bentuknya. Oleh karena itu, acuan dan praktek perdagangan bebas dan efisiensi yang dibawakan oleh sistem kapitalisme tidaklah bertentangan dengan Islam, karena Islam sendiri mengajarkan fastabiqu al khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan dalam persaingan dan perlombaan yang sehat, akan dihasilkan kreatifitas dan efisiensi yang justru menjadi inti dari praktek ekonomi yang sehat pula.
Dalam bahasa Gus Dur, ummat Islam “bisa menerima pelaksanaan prinsip-prinsip Islam dalam orientasi dan mekanisme ekonomi kapitalistik tanpa harus memeluk kapitalisme itu sendiri”. Yang ditentang oleh Islam adalah orientasi kapitalistik yang hanya mengutamakan pengusaha besar dan pemilik modal. Sebab dalam Islam yang terpenting justru kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Dalam konteks tersebut di atas, ia tidak setuju dengan pandangan yang menggeneralisasi bahwa setiap bunga bank sebagai riba. Mengutip pendapat Yusuf Qardhawi, jika bunga bank dipungut dari upaya non-produktif, maka ia dapat dikatakan riba.
Tetapi jika bunga bank tersebut merupakan bagian dari sebuah upaya produktif, maka ia bukan riba, tetapi merupakan bagian dari ongkos produksi saja.
Selanjutnya, Gus Dur juga mengkritik kecenderungan yang ia namakan sebagai “demam syari’at” yang kini banyak dilakukan oleh bank-bank swasta di mana pemilik sahamnya sebagian adalah non-Muslim. Menurut Gus Dur, kecenderungan seperti itu karena kurangnya pengetahuan mereka tentang hukum Islam. Jelas bahwa Gus Dur tidak setuju dengan langkah-langkah yang mengarah pada formalisasi syari’at Islam seperti itu.
Namun lepas dari ketidak setujuan Gus Dur kepada “demam syari’at” bank-bank swasta, perkembangan bank-bank yang memanfaatkan jasa syari’at itu menurut laporan sejumlah media massa nasional ternyata cukup bagus. Bahkan permodalan, likuiditas, dan kinerja bank-bank syari’at disebutkan mengalami kenaikan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir ini.
Untuk itu, tentu saja masih diperlukan data dan penelitian yang valid. Yakni penelitian yang memverifikasi apakah demam syari’at yang melanda bank-bank konvensional itu, bagian dari peningkatan kesadaran masyarakat terhadap implementasi syariat, ataukah justru hal itu semacam bentuk “kapitalisasi syari’at” yang lebih didasarkan pada motif-motif ekonomi yang tunduk pada kepentingan pasar.
Pandangan Gusdur
Oleh Oleh M. Syafi’i Anwar