Pembatal puasa Ramadhan
Mukaddimah
Puasa Ramadhan adalah satu-satunya ibadah puasa yang diwajibkan atas dasar ketentuan waktu. Ibadah puasa ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam syariat Islam, kerena merupakan salah satu dari lima rukun atau pondasi syariat Islam.
Sebagai sebuah ibadah yang memiliki SOP tersendiri, ibadah puasa menjadi sah untuk dilakukan jika telah memenuhi ketentuanya sahnya puasa. Seperti telah ada sebab diwajibkannya puasa dalam ketentuan syarat waktu dan syarat wajib. Demikian pula jika telah dipenuhi rukun-rukunnya berupa niat dan imsak. Dan juga telah dihindarinya setiap hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
Dalam makalah ini, akan dijelaskan secara lebih rinci, hal-hal yang dapat membatalkan puasa, berikut konsekuensi yang mesti dilakukan jika puasa tersebut telah batal.
Pengantar Pembatal Puasa Ramadhan dan Konsekuensinya
1. Empat Kondisi Seputar Pembatal Puasa
Sebelum dibahas perbuatan apa saja yang membatalkan puasa, ada beberapa catatan penting yang telah digariskan oleh para ulama, berangkat dari berbagai macam dalil yang mereka terima.
Catatan penting itu terkait dengan perbuatan seseorang yang sekiranya dapat membatalkan puasa, namun keadaan, niat atau motivasinya bisa saja berbeda-beda. Bisa karena sengaja, lupa, kesalahan, atau karena ada udzur yang membolehkannya membatalkan puasa. Sehingga setidaknya ada empat kasus yang berbeda dalam hal ini, yaitu:
a. Melakukan Hal Yang Membatalkan Puasa Karena Lupa
Kasus yang pertama adalah kasus dimana seseorang yang sedang berpuasa, melakukan hal-hal yang normalnya bisa membatalkan puasa, seperti makan dan minum, bahkan termasuk melakukan hubungan seksual dengan istri, namun semua itu terjadi akibat semata-mata lupa. Maka lupa itu tidak membatalkan puasanya, pelakunya dimaafkan, bahkan menjadi rejeki tersendiri dari Allah swt. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ» (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra: Nabi ﷺ bersabda: Siapa saja yang makan karena lupa, padahal ia sedang berpuasa, maka hendanya ia melanjutkan puasanya, karenanya sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum. (HR. Bukhari Muslim)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: «مَنْ أَفْطَرَ فِي رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ» (رواه الحاكم والبيهقي والدارقطني)
Dari Abu Hurairah: Nabi ﷺ bersabda: “Siapa saja yang berbuka pada saat berpuasa Ramadhan karena lupa, tidak ada keharusan atasnya untuk mengqadha‘ atau membayar kafarah (puasanya tetap sah).” (HR. Daruquthuny, Baihaqi, Hakim)
b. Melakukan Hal Yang Membatalkan Puasa Karena Salah
Kasus kedua adalah orang puasa dan melakukan hal-hal yang lazimnya membatalkan puasa, namun penyebabnya bukan karena lupa, tetapi karena dia salah dalam mengira waktu.
Seperti seseorang yang mengira matahari sudah terbenam, lalu dia makan atau minum, padahal matahari belum terbenam. Atau seseorang yang masih saja makan dan minum karena menyangka hari masih malam, padahal ternyata matahari sudah terbit.
Hanya saja, apakah puasanya batal atau tidak, para ulama berbeda pendapat setelah mereka sepakat bahwa yang mengalami kondisi ini tidaklah berdosa.
Mazhab Pertama: Puasanya Batal.
Mayoritas ulama, di antaranya pendapat resmi empat mazhab sepakat bahwa puasanya batal. Dan karenanya, puasa tersebut harus diqadha’ di hari yang lain. Di samping itu, diwajibkan pula atasnya untuk berimsak, yaitu menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang hukumnya membatalkan puasa sampai Maghrib, meski hitungannya bukan sebagai ibadah puasa.
Mazhab Kedua: Tidak Batal.
Sebagian ulama seperti Ishaq bin Rahawaih, satu riwayat dari imam Ahmad, Mazhab Zhahiri, al-Muzani dari Syafi’iyyah, dan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa puasanya tidaklah batal. Mereka berargumentasi dengan dalil-dalil yang menilai sah ibadah karena sebab kekeliruan, seperti:
وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَاتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ ... (الأحزاب: 5).
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. (QS. Al-Ahzab: 5)
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ فَاطِمَةَ، عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: «أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ يَوْمَ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ» قِيلَ لِهِشَامٍ: فَأُمِرُوا بِالقَضَاءِ؟ قَالَ: «لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ» وَقَالَ مَعْمَرٌ: سَمِعْتُ هِشَامًا لاَ أَدْرِي أَقَضَوْا أَمْ لاَ (رواه البخاري)
Dari Hisyam bin Urwah, dari Fathimah, dari Asma' binti Abu Bakar ash-Shiddiq ra, ia berkata: Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi ﷺ ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari tampak kembali, maka orang-orang diperintahkan untuk mengqadha'nya, dan Beliau bersabda: “Harus dilaksanakan qadha'”. Dan Ma'mar berkata: aku mendengar [Hisyam]: Aku tidak tahu apakah mereka kemudian mengqadha'nya atau tidak.” (HR. Bukhari)
c. Membatalkan Puasa Secara Sengaja Tapi Ada Udzur Syar’i
Kasus yang ketiga adalah seseorang yang secara sengaja melakukan hal-hal yang membatalkan puasanya, namun disebabkan adanya udzur syar’i yang telah ditetapkan Allah swt secara sah.
Misalnya seseorang musafir yang melakukan perjalanan keluar kota dan terpenuhi semua syarat sebagai musafir, maka dia boleh secara sengaja membatalkan puasanya. Demikian juga dengan seseorang yang menderita suatu penyakit dan dikhawatirkan bila tetap berpuasa penyakitnya akan bertambah parah, atau tidak kunjung sembuh.
Karena puasanya batal, otomatis dia wajib menggantinya di hari lain, seusai bulan Ramadhan. Sebagaimana hal ini juga tidak membuat ia menanggung dosa.
d. Membatalkan Secara Sengaja Tanpa Udzur Syar’i
Kasus yang keempat adalah kasus yang paling parah, yaitu seorang yang sedang menjalani ibadah puasa Ramadhan, secara sengaja melakukan hal-hal yang sekiranya membatalkan puasa, bukan karena lupa juga bukan karena salah mengira, dan juga bukan karena dia mendapat keringanan secara syariah.
Seseorang yang secara sengaja berniat untuk membatalkan puasanya, tanpa adanya udzur yang syar’i, maka puasanya bukan hanya batal, tetapi juga ia menanggung dosa dan wajib mengqadha’nya. Namun apakah wajib pula membayar kaffarat, para ulama berbeda pendapat.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki mewajibkan kaffarat. Sedangkan Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali tidak mewajibkannya.
---
***
2. Pembatal-pembatal Puasa Secara Global
Umumnya para ulama sepakat untuk membagi hal-hal yang membatalkan puasa menjadi dua jenis, yaitu:
Membatalkan puasa dan diwajibkan mengganti (qadho’).
Membatalkan puasa dan diwajibkan mengganti sekaligus dengan denda (kaffarat).
Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa pokok-pokok pembatal puasa ada 3 macam: makan, minum, dan jima’ (berhubungan seksual). Hal ini didasarkan pada ayat berikut:
" ... فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ... " (البقرة: 187)
“ … Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagi kalian. Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai dating waktu malam ... ” (QS. Al-Baqarah : 187)
Meskipun, jika didetailkan, para ulama empat mazhab khususnya, tidak satu pendapat akan jumlah pembatal puasa secara pasti. Di antaranya, seperti penjelasan Imam al-Qadhi Abu Syuja’ al-Ashfahani (w. 593 H) yang menulis dalam matan Taqrib-nya:
والذي يفطر به الصائم عشرة أشياء: ما وصل عمدا إلى الجوف أو الرأس والحقنة في أحد السبيلين والقيء عمدا والوطء عمدا في الفرج والإنزال عن مباشرة والحيض والنفاس والجنون والإغماء كل اليوم والردة
Perkara yang dapat membatalkan puasa ada 10 macam: (1) Benda-benda yang dimasukkan secara sengaja ke dalam tubuh melalui jauf (rongga tubuh: perut) atau kepala, (2) Suntik ke salah satu dua jalan (qubul dan dubur), (3) Muntah dengan sengaja, (4) Hubungan seksual secara sengaja di kemaluan, (5) Keluar mani sebab percumbuan, (6) Haid, (7) Nifas, (8) Gila, (9) Pingsan sehari penuh, dan (10) Murtad.
B. Pembatal-pembatal Puasa Dan Konsekwensinya
1. Batalnya Rukun atau Syarat Puasa
Puasa yang sedang dikerjakan akan batal apabila seseorang kehilangan salah satu rukun puasa, atau salah satu dari syarat sahnya puasa.
a. Niat
1) Berubahnya Niat
Para ulama sepakat bahwa seseorang yang berpuasa lalu merubah niatnya untuk tidak berpuasa, maka puasanya telah batal. Sebab niat yang melandasi puasa itu harus terpasang sepanjang perjalanan puasa, sejak dari terbit fajar hingga matahari terbenam.
2) Membatalkan Puasa Lalu Meniatkan Kembali, Batalkah Puasanya?
Namun para ulama berbeda pendapat apabila seorang yang sedang puasa sempat berniat untuk membatalkan puasa, namun belum sempat makan minum atau melakukan hal-hal yang sekiranya membatalkan puasa, lantas berniat kembali untuk berpuasa, apakah puasanya menjadi batal atau tidak.
Mazhab Pertama: Tetap Sah.
Jumhur ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’i), berpendapat bahwa orang yang sempat membatalkan niat puasa, lalu melanjutkannya, puasanya tetap di anggap sah. Tentu dengan catatan tidak melakukan hal-hal yang disepakati dapat membatalkan puasa seperti makan dan minum.
Mazhab Kedua: Batal.
Sedangkan Mazhab Hanbali dan Mazhab Zhahiri berpendapat bahwa seorang yang berpuasa sempat berniat untuk membatalkan puasanya, maka meski dia belum sempat makan atau minum, namun puasanya otomatis batal dengan sendirinya.
b. Murtad
Di antara syarat sah puasa adalah islamnya orang yang berpuasa. Kalau ada orang Islam berpuasa, lalu gugur keislamannya atau keluar dari agama Islam (murtad), maka otomatis puasanya pun batal. Seandainya setelah murtad, pada hari itu juga dia kembali lagi masuk Islam, puasanya tetaplah batal, dan wajib mengqadha puasanya hari itu meski belum sempat makan atau minum.
Dasar dari ketentuan ini adalah fiman Allah swt:
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (الزمر: 65)
“Bila kamu menyekutukan Allah (murtad), maka Allah akan menghapus amal-amalmu dan kamu pasti jadi orang yang rugi.” (QS. Az-Zumar: 65)
c. Mendapat Haid atau Nifas
Para ulama sepakat bahwa jika seorang wanita yang sedang berpuasa lalu tiba-tiba mendapat haid atau nifas, maka otomatis puasanya batal. Meski kejadian itu menjelang terbenamnya matahari. Dasarnya adalah hadits berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ، فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا» (متفق عليه)
Dari Abu Said ra: Rasulullah ﷺ bersabda: “Bukankah bila wanita mendapat haid, dia tidak boleh shalat dan puasa?. Inilah maksud setengah agamanya.” (HR. Bukhari Muslim)
d. Gila dan Pingsan
Para ulama sepakat bahwa seorang yang dalam kondisi gila atau pingsan secara penuh pada waktu wajibnya berpuasa (antara terbit fajar hingga terbenam matahari), tidaklah wajib berpuasa dan tidak wajib pula untuk diqadha’ pada hari lainnya jika telah sadar dan sembuh dari penyakit gilanya.
Namun, para ulama berbeda pendapat jika pada malam hari telah berniat puasa, lalu saat berpuasa mengalami pingsan atau penyakit gila, apakah hal tersebut membuat puasanya batal dan wajib untuk diqadha’ pada hari lainnya saat sembuh?
Mazhab Pertama: Puasa Batal.
Sebagian ulama berpendapat bahwa puasanya otomatis batal, meskipun pada hari ia berpuasa, lantas menjadi sadar atau sembuh dari gilanya. Hal ini mereka dasarkan pada qiyas batalnya shalat karena sebab hilang akal atau mendapat haid.
Mazhab Kedua: Puasa Tidak Batal.
Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa puasanya tidak batal. Dimana mereka mendasarkan pendapatnya kepada qiyas akan tetap sahnya perwalian atas mereka dalam masalah harta. Dalam arti, mereka tetap diwajibkan untuk menunaikan zakat jika hartanya telah mencapai nishob, dan yang menunaikannya adalah wali mereka.
2. Makan dan Minum
Para ulama sepakat bahwa makan dan minum termasuk hal-hal yang membatalkan puasa, dengan dasar firman Allah swt:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ (البقرة: 187)
“...Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar...” (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini menggambarkan tentang apa saja yang boleh dilakukan pada malam hari sebelum terbitnya fajar, yaitu makan dan minum. Sehingga pengertian terbaliknya (mafhum) adalah makan dan minum merupakan hal yang terlarang untuk dilakukan ketika sudah masuk waktu fajar.
Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa, makan dan minum yang dapat membatalkan puasa adalah jika dilakukan secara sengaja, dan bukan karena lupa.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ» (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra: Nabi ﷺ bersabda: Siapa saja yang makan karena lupa, padahal ia sedang berpuasa, maka hendanya ia melanjutkan puasanya, karenanya sesungguhnya Allah-lah yang memberinya makan dan minum. (HR. Bukhari Muslim)
Hanya saja, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait standar makan dan minum yang dapat membatalkan puasa, beserta konsekuensi yang harus dilakukan.
a. Sesuatu Masuk Ke Tubuh Melalui Tenggorokan
1) Mengkonsumsi Makanan Secara Normal
Para ulama sepakat akan batalnya puasa seseorang jika memakan atau meminum sesuatu secara normal melalui tenggorokan. Sebagaimana makanan yang dimaksud juga adalah sesuatu yang memang secara normal menjadi benda yang dikonsumi oleh manusia sehari-hari, seperti nasi, lauk pauk, sayuran, air tawar, sari buah dan sejenisnya. Dengan sengaja ataupun tanpa sengaja, kecuali karena lupa.
Hanya saja mereka berbeda pendapat, terkait konsekuensi yang harus dilakukan:
Mazhab Pertama: Qadha’ dan Kaffarat.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki berpendapat bahwa seorang yang membatalkan puasanya dengan mengkonsumsi benda yang layak konsumsi, diwajibkan untuk menggantinya dengan qadha’ dan kaffarat sekaligus. Dimana mereka memahami bahwa hadits tentang penunaian kaffarat oleh shahabat yang melakukan hubungan seksual saat berpuasa Ramadhan, dimaksudkan bukan karena sebabnya sekedar jima’. Namun, terkait puasa yang dibatalkan secara sengaja dengan memenuhi syahwat. Apakah syahwat seksual ataupun syahwat perut.
Mazhab Kedua: Qadha’.
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa yang diwajibkan hanyalah qadha’ saja. Dimana mereka menolak pemahaman kalangan Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki terkait sebab diwajibkannya kaffarat karena pemenuhan syahwat secara sengaja. Dalam hal ini, mereka berpendapat bahwa hadits kaffarat secara khusus hanya ditetapkan atas sebab hubungan seksual yang sengaja dilakukan oleh orang yang berpuasa wajib.
2) Tidak Batal Jika Sebatas Memasuki Mulut
Adapun jika makanan dan minuman tersebut baru sebatas memasuki mulut, lidah, bibir, langit-langit, dan gigi, namun belum memasuki tenggorokan, maka hal tersebut menurut kesepakatan ulama tidak sampai membatalkan puasa. Seperti jika sekedar berkumur-kumur, menggosok gigi atau mencicipi masakan.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، قَالَ: هَشَشْتُ يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ، فَقُلْتُ: صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا، قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ؟» قُلْتُ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «فَفِيمَ؟». (رواه أحمد)
Dari Umar bin al-Khatthab ra, dia berkata: “Pada suatu hari hasyratku (syahwatku) bergejolak, kemudian mencium (istri) padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang menemui Rasulullah ﷺ dan mengatakan: "Hari ini aku melakukan suatu perbuatan (kesalahan) yang besar, aku mencium (istri) padahal sedang berpuasa." Rasulullah ﷺ menjawab: "Apa pendapatmu apabila kamu berkumur-kumur dengan air padahal kamu sedang berpuasa?." Aku menjawab: "Hal itu tidak mengapa (tidak membatalkan puasa)." Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: "Lalu dimana masalahnya?" (HR. Ahmad)
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَا بَأْسَ أَنْ يَتَطَاعَمَ الصَّائِمُ بِالشَّيْءِ، يَعْنِي الْمَرَقَةَ وَنَحْوَهَا (رواه عبد الرزاق)
Dari Ibnu Abbas berkata: Tidak mengapa seorang yang berpuasa mencicipi sesuatu –maksudnya mencicipi semacam kuah makanan- (HR. Abdur Razzaq)
عن ابن عباس قال: «لا بأس أن يذوق الخل أو الشيء، ما لم يدخل حلقه وهو صائم» (أخرجه ابن أبي شيبة والبيهقي).
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Tidak mengapa seseorang mencicipi kuah makanan atau suatu makanan, selama tidak sampai tertelan ke tenggorokan, saai ia berpuasa. (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi)
Namun menurut Mazhab Syafi‘i dan Mazhab Hanbali, bersiwak hukumnya makruh bagi orang yang berpuasa bila telah melewati waktu zhuhur hingga sore hari. Mereka mendasarkan kepada hadits berikut:
لَخَلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيْحِ الِمسْكِ (رواه البخاري)
“Bau mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Allah dari aroma kesturi”. (HR. Bukhari)
Dimana bersiwak atau menggosok gigi akan menghilangkan bau mulut, yang menjadi tanda seseorang sedang berpuasa.
Adapun Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, mereka berpendapat bahwa bersiwak bagi yang berpuasa tidaklah makruh secara mutlak, pada waktu apapun hendak dilakukan.
Dan berdasarkan hal ini pula –tidak batalnya puasa-, lembaga-lembaga fatwa dunia seperti Majma’ al-Fiqh al-Islamy, Dar al-Ifta’ Mesir, al-Lajnah ad-Da’imah li al-Ifta’ Arab Saudi, menetapkan putusan tidak batalnya puasa seorang yang menggunakan pasta gigi atau pembersih mulut lainnya, saat berpuasa dan hendak membersihkan mulut dari bau mulut (halitosis/oral malador) yang mengganggu.
3) Batalnya Puasa Karena Kemasukan Benda Ke Tenggorokan
Para ulama umumnya juga sepakat akan batalnya puasa seseorang yang kemasukan sesuatu ketubuhnya melalui tenggorokan meskipun benda-benda tersebut tidak normal untuk dikonsumsi oleh manusia, seperti batu, tanah, bensin, gabah, dan semacamnya. Termasuk dalam hal ini adalah asap yang tertelan, seperti orang yang merokok secara aktif.
Demikian pula, umumnya mereka sepakat bahwa konsekuensi dari batalnya puasa hanyalah dengan cara menqadha’ puasa pada hari yang lain.
---
Hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam beberapa masalah, terkait dengan masuknya sesuatu melalui rongga mulut, apakah dapat membatalkan puasa atau tidak.
a) Semprot Asma
Di antara permasalahan tersebut adalah penggunaan semprot asma bagi orang yang berpuasa. Dimana para ulama berbeda pendapat, apakah obat asma yang biasa disemprotkan bagi penderita asma ke dalam mulutnya, dapat membatalkan puasa atau tidak.
Mazhab Pertama: Tidak Membatalkan Puasa.
Sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad al-’Utsaimin, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, Dr. Haitsam Khayyath, Syaikh Abdullah al-Bassam, Syaikh Faishal Maulawi, Dr. Ahmad al-Khalil, dan Lajnah Dai’mah li al-Ifta’ Kerajaan Saudi Arabi, berpendapat bahwa obat asma yang disemprotkan ke dalam mulut tidaklah membatalkan puasa.
Mazhab Kedua: Membatalkan Puasa.
Sebagian ulama kontemporer lainnya seperti Syaikh Muhammad al-Mukhtar as-Sulaami (Mufti Tunisia), Syaikh Mahmud Abdul Lathif ’Uwaidhah, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Taqi al-’Utsmani, dan Syaikh Fadhl Hasan ’Abbas, berpendapat bahwa obat asma yang disemprotkan ke dalam mulut dapat membatalkan puasa.
b) Penggunaan Endoskop (Minzhar al-Ma’idah) Yang Dimaksukkan Via Tenggorokan
Endoskop adalah alat yang digunakan dalam proses endoskopi, yaitu salah satu prosedur pemeriksaan medis untuk melihat kondisi saluran pencernaan dengan menggunakan alat endoskop yang merupakan suatu alat berbentuk seperti selang elastis dengan lampu dan kamera optik di ujungnya. Secara teknis, endoskop dimasukkan lewat celah tubuh yang terbuka seperti mulut dan vagina.
Endoskopi dinamakan bergantung pada bagian tubuh yang digunakan. Seperti artroskop, yang digunakan untuk melihat sambungan tulang (sendi). Bronkoskop, yang digunakan untuk melihat jalur nafas dan paru-paru. Sitoskop, yang digunakan untuk melihat kantung kemih. Dan laparoskop, yang digunakan untuk melihat secara langsung ovari, usus buntu dan organ abdominal lainnya.
Jika melihat sistem kerjanya, dapat ditegaskan bahwa penggunaan endeskop yang dimasukkan via tenggorokan jika dikaitkan sebagai pembatal puasa, dapat diqiyaskan kepada perselisihan ulama tentang batanya puasa seorang yang kemasukan melalui tenggorokannya benda-benda padat dan keras yang tidak secara langsung memberi asupan makanan untuk tubuh. Seperti batu, biji-bijian non konsumtif, benang, tali temali, dan lainnya.
Terkait tertelannya benda-benda tersebut, mayoritas ulama (Maliki, Syafi’i, Hanbali), berpendapat bahwa hal itu secara mutlak termasuk pembatal puasa. Sedangkan Mazhab Hanafi, mensyaratkan untuk batalnya puasa, jika benda tersebut masuk ke tubuh dan tidak dapat dikeluarkan kembali melalui tenggorokan.
Berdasarkan pertimbangan khilafiyyah para ulama klasik tersebut, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah penggunaan endeskop bagi orang yang berpuasa dapat membatalkan puasanya. Dalam hal ini, setelah mereka sepakat bahwa jika endeskop dimasukkan ke dalam tenggorokan bersamaan dengan benda lainnya seperti obat tertentu, maka hal ini disepakati dapat membatalkan puasa.
Mazhab Pertama: Puasa Batal.
Sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Tawfiq al-Wa’iy, dan Syaikh Mahmud ‘Uwaidhah, berpendapat bahwa setiap benda yang masuk ke tenggorokan dapat membatalkan puasa secara mutlak, apakah alat endeskop tersebut steril dari benda lain semacam cairan obat tertentu, ataupun dimasukkan bersama obat tertentu.
Mazhab Kedua: Tidak Membatalkan Puasa.
Mayoritas ulama kontemporer seperti Syaikh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Syaikh al-‘Utsaimin, Syaikh al-Qaradhawi, Syaikh al-Mukhtar as-Sulami, dan Syaikh ash-Shiddiq adh-Dharir, berpendapat bahwa puasa tidaklah batal jika endeskop dimasukkan secara steril dari benda-benda lain.
c) Tablet (al-Aqrash al-’Ilajiyyah) Untuk Penyakit Organ Jantung Yang Diletakkan di Bawah Lidah
Dalam dunia medis dikenal sejenis obat berbentuk tablet yang diletakkan di bawah lidah, yang berfungsi untuk melebarkan dinding pembuluh darah dalam rangka memperlancar jalannya oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan oleh sel otot-otot jantung. Dimana obat ini sangat bermanfaat bagi penderita serangan jantung yang pembuluh darah koronernya mengalami penyempitan. Obat ini dikenal dengan nama cedocard atau isosorbid dinitrate atau disingkat dengan ISDN.
Terkait apakah penggunaan obat ini dapat membatalkan puasa atau tidak, pada umumnya para ulama kontemporer mendasarkannya pada apakah sesuatu yang masuk ke dalam mulut membatalkan puasa atau tidak. Dan secara umum, para ulama klasik sepakat bahwa, jika benda tersebut tidak sampai tertelan seluruhnya atau sebagiannya ke dalam tenggorokan, maka puasanya tidaklah batal.
Sebagaimana ketentuan hukum ini, telah dikukuhkan pula oleh Majma’ al-Fiqh al-Islamy dalam Nadwah Thibbiyyah Fiqhiyyah yang diselenggarakan di ad-Dar al-Baidha’ pada tanggal 14-17 Juni 1997.
b. Sesuatu Masuk Ke Dalam Tubuh Melalui Rongga Badan Selain Tenggorokan
Adapun jika ada sesuatu masuk ke dalam rongga tubuh selain tenggorokan, dalam hal ini para ulama tidak satu suara terkait apakah hal itu membatalkan puasa atau tidak.
Persoalan ini setidaknya dapat dibedakan menjadi dua masalah: (1) Masuknya sesuatu ke dalam tubuh melalui selain rongga tenggorokan untuk maksud sebagai asupan makanan, dan (2) Masuknya sesuatu ke dalam tubuh melalui selain rongga tenggorokan bukan untuk maksud sebagai asupan makanan.
1) Masuknya Benda Melalui Rongga Tubuh Selain Tenggorokan Dengan Tujuan Sebagai Asupan Makanan
Untuk persoalan ini, para ulama umumnya sepakat bahwa masuknya suatu benda ke dalam tubuh, jika dimaksudkan sebagai asupan makanan dan nutrisi, meskipun tidak masuk melalui tenggorokan dan masuk dari anggota tubuh manapun, maka hal itu dapat membatalkan puasa.
Seperti dimasukkanya zat gizi ke dalam tubuh pasien sakit yang tidak mempu memenuhi kebituhan nitrisi melalui oral. Seperti pemberian nutrisi melalui parenteral, yaitu pemberian nutrisi berupa cairan infus yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui saluran darah vena. Ataupun melalui enteral yang biasanya dimasukkan melalui hidung menggunakan pipa NGT (Nasogastric Tube), yang biasanya terbuat dari karet, plastik, atau silik.
Hal ini didasarkan pada kaidah berikut:
ما قام مقام الشيئ يعطى حكمه.
Sesuatu yang dapat melakukan tujuan dari sesuatu yang lain, maka sesuatu tersebut dihukumi sama dengan sesuatu yang lain tersebut.
2) Masuknya Benda Melalui Rongga Tubuh Selain Tenggorokan Bukan Untuk Tujuan Sebagai Asupan Makanan
Adapun jika benda yang dimasukkan tersebut bukan dimaksudkan sebagai asupan makanan, pada umumnya para ulama juga sepakat bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa.
Hanya saja, mereka berbeda pendapat terkait rongga tubuh (jauf) yang mana yang dapat menyebabkan batalnya puasa jika ada suatu benda masuk ke dalamnya. Dimana, perbedaan terjadi karena pertimbangan akan kemungkinan mengalirnya benda tersebut melalui rongga yang berujung kepada lambung (ma’idah).
a) Pori-pori Kulit
Para ulama sepakat bahwa mandi, berenang atau memakai pakaian yang dibasahi agar terasa segar dan dingin di kulit tidaklah membatalkan puasa, selama air tersebut tidak tertelan secara sengaja atau tidak sengaja. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ «صَائِمًا فِي السَّفَرِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ» (رواه أبو داود والحاكم والنسائي في السنن الكبرى)
Dari Abu Bakar bin Abdurrahman, dan sebagian shahabat Nabi ﷺ, yang berkata: Aku melihat Rasulullah ﷺ berpuasa saat melakukan perjalanan, dan beliau sedang menyiram kepalanya dengan air, karena sebab cuaca yang panas. (HR. Abu Dawud)
Para ulama juga sepakat bahwa jika benda yang dimasukkan melalui pori-pori kulit tidak mengalir ke rongga-rongga tubuh yang mengalirkannya ke lambung, tidaklah membatalkan puasa.
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat terkait pori-pori kulit yang jika disuntikkan sesuatu melaluinya, dapat membatalkan puasa atau tidak.
(1) Pori-pori Kulit Paha dan Betis
Umumnya para ulama berpendapat bahwa disuntikkannya susuatu semacam obat melalui pori-pori kulit paha dan betis kaki tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana telah difatwakan oleh Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali. Dimana Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, tidak membahasnya secara khusus.
Tentunya, selama benda yang dimasukkan tidak dimaksudkan untuk asupan makanan atau nutrisi bagi yang berpuasa.
Imam an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) berkata dalam kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab:
لَو أَوصَلَ الدَّوَاءُ إلَى دَاخِلِ لَحْمِ السَّاقِ أَوْ غَرَزَ فِيهِ سِكِّينًا أَوْ غَيْرَهَا فَوَصَلَتْ مُخَّهُ لَمْ يُفْطِرْ بِلَا خِلَافٍ لِأَنَّهُ لَا يُعَدُّ عُضْوًا مُجَوَّفًا.
Jika seorang memasukkan suatu obat melalui kulit/daging paha, atau dengan cara dibedah menggunakan pisau dan yang semisalnya, lalu obat tersebut memasuki otaknya, hal tersebut tidaklah membatalkan puasa. Dalam hal ini, para ulama tidak berbeda pendapat. Sebab, pori-pori paha bukanlah anggota tubuh yang berongga.
Berdasarkan hal ini, para ulama kontemporer umumnya sepakat bahwa setiap proses injeksi intramuskuler dalam medis, tidaklah membatalkan puasa. Yaitu proses pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke jaringan otot dengan menggunakan spuit. Pemberian obat dengan cara ini dilakukan pada bagian tubuh yang berotot besar, agar tidak ada kemungkinan untuk menusuk syaraf, misalnya pada bagian bokong, dan kaki bagian atas, atau pada lengan bagian atas.
(2) Menerima Transfusi Darah (Huqn ad-Dam)
Para ulama berbeda pendapat apakah pasien sakit yang berpuasa (resipien), boleh untuk yang menerima transufi darah yang disuntikkan melalui pembuluh darahnya (huqn ad-dam). Ataukah, hal tersebut dapat membatalkan puasanya.
Mazhab Pertama: Puasa Batal.
Sebagian ulama kontemporer seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdulllah al-Bassam, dan Syaikh Wahbah az-Zuhaili, berpendapat bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa.
Mazhab Kedua: Puasa Tidak Batal.
Sebagian ulama kontemporer lainnya seperti Syaikh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Sayyid Sabiq, Syaikh al-‘Utsaimin, Syaikh Mahmud Abdul Lathif ‘Uwaidhah, dan putusan Majma’ al-Fiqh al-Islami dalam nadwah seputar fiqih kedokteran berpendapat bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa.
b) Rongga Mata
Dalam kitab-kitab fiqih klasik, persoalan masuknya sesuatu melalui mata dalam ibadah puasa disebut dengan istilah iktihal (celak mata).
(1) Penggunaan Celak Mata (Iktihal)
Secara hukum, para ulama berbeda pendapat apakah penggunaan celak mata (iktihal) dapat membatalkan puasa atau tidak.
Mazhab Pertama: Iktihal Tidak Membatalkan Puasa Secara Mutlak.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa iktihal tidaklah membatalkan puasa secara mutlak. Hal ini mereka dasarkan kepada hadits-hadits berikut:
عن عَائِشَةَ قَالَتْ: اكْتَحَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ صَائِمٌ (رواه ابن ماجه)
Dari Aisyah ra: bahwa Rasulullah ﷺ memakai celak mata dalam keadaan berpuasa. (HR. Ibnu Majah)
Imam Syams al-A’immah as-Sarakhsi al-Hanafi (w. 483 H) berkata dalam al-Mabsuth:
وَالِاكْتِحَالُ لَا يَضُرُّ الصَّائِمَ، وَإِنْ وَجَدَ طَعْمَهُ فِي حَلْقِهِ ... إذْ لَيْسَ مِنْ الْعَيْنِ إلَى الْحَلْقِ مَسْلَكٌ فَهُوَ نَظِيرُ الصَّائِمِ يَشْرَعُ فِي الْمَاءِ فَيَجِدُ بُرُودَةَ الْمَاءِ فِي كَبِدِهِ، وَذَلِكَ لَا يَضُرُّهُ ...
Iktihal tidak membatalkan puasa, meskipun dapat terasa di tenggorokan … sebab mata bukanlah rongga yang mengalirkan sesuatu ke tenggorokan. Dimana rasa yang didapat di tenggorokan seperti rasa dingin yang menusuk jantung setelah tubuh tersentuh air dingin. Dan hal ini tidak membatalkan puasa.
Imam an-Nawawi asy-Syafi’i berkata dalam al-Majmu’:
ويجوز أن يكتحل لما روى عن أنس انه كان يكتحل وهو صائم ولان العين ليس بمنفد فلم يبطل الصوم بما يصل إليها.
Dan dibolehkan bagi yang berpuasa menggunakan celak mata. Berdasarkan riwayat dari Anas, bahwa ia beriktihal saat berpuasa. Dan karena mata bukanlah rongga yang mengalirkan sesuatu ke tenggorkan, maka tidaklah membatalkan puasa benda papaun yang memasukinya.
Mazhab Kedua: Iktihal Dapat Membatalkan Puasa Jika Memasuki Tenggorokan.
Mazhab Maliki dan Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa tidak secara mutlak iktihal tidak membatalkan puasa. Dimana menurut mereka, ada kemungkinan iktihal dapat menyebabkan mengalirnya suatu benda melalui mata ke rongga tenggorokan. Dan jika itu terjadi, maka puasanya menjadi batal.
Imam ad-Dusuqi al-Maliki (w. 1230 H) berkata dalam Hasyiahnya ‘ala asy-Syarh al-Kabir:
أَنَّ الْكُحْلَ نَهَارًا لَا يُفْطِرُ مُطْلَقًا بَلْ إنْ تَحَقَّقَ وُصُولُهُ لِلْحَلْقِ أَوْ شَكَّ فِيهِ أَفْطَرَ فَإِنْ تَحَقَّقَ عَدَمُ وُصُولِهِ فَلَا يَفْطُرُ.
Bahwa bercelak mata di siang hari (saat berpuasa) tidaklah mebatalkan puasa secara mutlak. Namun jika dipastikan benda yang dimasukkan ke mata mengalir ke tenggorokan, meskipun diragukan, maka puasanya batal. Kecuali jika diyakini tidak masuk ke tenggorokan, maka tidak batal.
Imam Ibnu Qudamah al-Hanbali (w. 620 H) berkata dalam al-Mughni Syarah Mukhtashar al-Khiraqi:
فَأَمَّا الْكُحْلُ، فَمَا وَجَدَ طَعْمَهُ فِي حَلْقِهِ، أَوْ عَلِمَ وُصُولَهُ إلَيْهِ، فَطَّرَهُ، وَإِلَّا لَمْ يُفَطِّرْهُ
Adapun al-kuhl, jika rasanya terasa di tenggorokan atau dapat diketahui alirannya ke tenggorokan, maka puasanya batal. Dan jika tidak terasa, maka tidak batal.
(2) Penggunaan Obat Tetas Mata dan Lensa Kontak
Berdasarkan pertimbangan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama klasik terkait penggunaan celak mata, apakah dapat membatalkan puasa atau tidak. Para ulama kontemporer juga berbeda pendapat dalam hal penggunaan obat tetas mata (at-taqthir fi al-’ain).
Namun menurut penelitian Abdur Razzaq al-Kindi, bahwa para ulama kontemporer umumnya berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah membatalkan puasa. Dengan alasan bahwa cairan yang masuk umumnya tidak sampai mengalir ke tenggorokan. Dan inilah keputusan yang diambil oleh Majma’ al-Fiqh al-Islamy yang tertuang dalam Majallah Majma’ al-Fiqh al-Islamy No. 10, Juz. 2, hlm. 454.
Termasuk dalam hal ini difatwakan pula tentang tidak batalnya puasa karena menggunakan obat tetes mata, oleh para ulama Hanbali kontemporer, yang berpendapat bahwa terdapat kemungkinan iktihal dapat membatalkan puasa. Seperti fatwa Syaikh al-’Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa (hlm. 19/206), Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu’ Fatawa (hlm. 15/261).
Demikian pula diqiyaskan hukum tersebut pada hukum penggunaan lensa kontak (al-’adasat al-lashiqoh), yang juga tidak membatalkan puasa.
c) Rongga Hidung (Isti’ath)
Dalam kitab-kitab fiqih klasik, persoalan masuknya sesuatu melalui rongga hidung dalam ibadah puasa disebut dengan istilah isti’ath (استعاط).
Dalam hal apakah isti’ath dapat membatalkan puasa atau tidak, maka dapat diklasifikasikan terkait jenis benda yang memasukinya.
(1) Masuknya Benda Cair Melalui Rongga Hidung
Para ulama berbeda pendapat terkait batalnya puasa kerena masuknya benda cair ke tubuh melalui rongga hidung (qatharat al-anfi).
Mazhab Pertama: Batal Puasa.
Mayoritas ulama termasuk empat mazhab sepakat bahwa masuknya benda cair ke hidung yang mengalir ke dalam kepala, dapat membatalkan puasa. Hal ini didasarkan kepada atsar berikut:
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى: إِنَّمَا الإْفْطَارُ مِمَّا دَخَل، وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ (أورده الهيثمي في مجمع الزائد (3 / 167) وقال: رواه أبو يعلى وفيه من لم أعرفه).
Dari Aisyah ra: Batalnya puasa oleh sebab apa yang masuk, bukan apa yang keluar (Imam al-Haitsami menyebutkannya dalam Majma’ az-Zawa’id (hlm. 3/167), dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan aku tidak mengetahui sanadnya).
عن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا: الْفِطْرُ مِمَّا دَخَل، وَلَيْسَ مِمَّا يَخْرُجُ (أخرجه ابن أبي شيبة).
Dari Ibnu Abbas ra: Batalnya puasa oleh sebab apa yang masuk, bukan apa yang keluar (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Mazhab Kedua: Tidak Batal.
Sedangkan Imam Ibnu Hazm azh-Zhahiri dalam kitab al-Muhalla berpendapat bahwa masuknya sesuatu ke dalam hidung tidaklah membatalkan puasa. Sebab hal tersebut tidak bisa disamakan dengan makan dan minum yang dimaksud di dalam al-Qur’an.
(2) Masuknya Asap Melalui Rongga Hidung
Para ulama dari kalangan empat mazhab sepakat bahwa jika asap masuk ke dalam hidung, hingga terasa di tenggorokan, hal ini termasuk pembatal puasa. Maka berdasarkan hal ini, menghisap asap rokok saat berpuasa termasuk menyebabkan batalnya puasa. Termasuk di dalamnya asap-asap dari pembakaran benda lainnya. Dimana istilah untuk menyebut orang yang menghirup asap rokok tersebut, biasa disebut dengan perokok pasif.
Tentu, dengan syarat, asap yang masuk ke dalam hidung perokok pasif tersebut, selanjutnya terasa hingga tenggorokannya. Adapun jika asap tersebut memasuki sebatas rongga hidungnya saja, dan tenggorokannya tidak merasakan sama sekali, maka puasanya tetaplah sah.
Tertulis dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
اسْتِعْمَال الْبَخُورِ وَيَكُونُ بِإِيصَال الدُّخَانِ إِلَى الْحَلْقِ، فَيُفْطِرُ، أَمَّا شَمُّ رَائِحَةِ الْبَخُورِ وَنَحْوِهِ بِلاَ وُصُول دُخَانِهِ إِلَى الْحَلْقِ فَلاَ يُفْطِرُ وَلَوْ جَاءَتْهُ الرَّائِحَةُ وَاسْتَنْشَقَهَا، لأِنَّ الرَّائِحَةَ لاَ جِسْمَ لَهَا.
Menggunakan bukhur (wewangian dari asap kayu) termasuk membatalkan puasa, jika asapnya memasuki tenggorokan. Adapun sekedar mencium aromanya, tanpa ada asap yang masuk ke dalam tenggorokan maka tidaklah membatalkan puasa. Sebab aroma tidaklah berfisik/berbentuk.
(3) Batalkah Puasa Oleh Sebab Menghirup Aroma Benda Tertentu?
Berdasarkan keterangan kitab al-Mausu’ah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dibolehkan bagi orang yang sedang berpuasa untuk menggunakan wewangian serta menghirup aromanya ataupun aroma-aroma lainnya. Hal ini, karena aroma dari suatu benda tidaklah berwujud benda layaknya benda cair dan gas.
Dan karena itu, puasanya tidaklah batal seperti tidak batalnya puasa orang yang mandi dan ia merasakan dinginnya air hingga ke dalam tubuhnya.
d) Rongga Telinga (at-Taqthir fi al-Uzun)
Mayoritas ulama khususnya para ulama empat mazhab berpendapat bahwa rongga telinga termasuk jalur rongga tubuh yang jika dimasukkan suatu benda ke dalamnya hingga mengalir ke dalam otak, dapat membatalkan puasa. Dalam hal ini, imam al-Ghazali (w. 505 H) dari kalangan asy-Syafi’iyyah menyelisihi pendapat jumhur dan mazhab resmi Syafi’iyyah, sebagaimana diinformasikan oleh Imam an-Nawawi.
Berdasarkan hal ini, maka obat tetes telinga dalam bentuk larutan, suspensi, atau salep yang ditetaskan atau dimasukkan dalam jumlah kecil ke dalam saluran telinga untuk melepaskan kotoran telinga (lilin telinga) atau untuk mengobati infeksi, peradangan, atau rasa sakit di telinga, dapat dihukumi sebagaimana penjelasan ulama tersebut. Dimana penggunaan tetes telinga dapat membatalkan puasa, jika tetesan cairan tersebut terasa hingga ke otak atau tenggorokan.
e) Rongga Dubur (Ihtiqon)
Dalam kitab fiqih klasik, proses memasukkan benda tertentu seperti obat melalui lubang dubur atau anus, disebut dengan ihtiqon. Sebagaimana didefinisikan oleh Imam al-Babarti al-Hanafi dalam Syarah al-‘Inayah ‘ala al-Hidayah (hlm. 2/266-267):
الاِحْتِقَانُ: صَبُّ الدَّوَاءِ أَوْ إِدْخَال نَحْوِهِ فِي الدُّبُرِ.
Al-Ihtiqan: Memasukkan obat atau semacamnya ke dalam tubuh melalui dubur.
Para ulama berbeda pendapat apakah memasukkan sesuatu ke dalam tubuh via rongga anus atau rektum, dapat membatalkan puasa:
Mazhab Pertama: Membatalkan Puasa.
Para ulama empat mazhab umumnya sepakat bahwa ihtiqon dapat membatalkan puasa. Dimana mereka mendasarkannya pada atsar Aisyah dan Ibnu Abbas berikut ini:
عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى: إِنَّمَا الإْفْطَارُ مِمَّا دَخَل، وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ (أورده الهيثمي في مجمع الزائد (3 / 167) وقال: رواه أبو يعلى وفيه من لم أعرفه).
Dari Aisyah ra: Batalnya puasa oleh sebab apa yang masuk, bukan apa yang keluar (Imam al-Haitsami menyebutkannya dalam Majma’ az-Zawa’id (hlm. 3/167), dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Abu Ya’la, dan aku tidak mengetahui sanadnya).
عن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا: الْفِطْرُ مِمَّا دَخَل، وَلَيْسَ مِمَّا يَخْرُجُ (أخرجه ابن أبي شيبة).
Dari Ibnu Abbas ra: Batalnya puasa oleh sebab apa yang masuk, bukan apa yang keluar (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Mazhab Kedua: Tidak Batal.
Sebagian al-Malikiyyah seperti Ibnu Habib, sebagian asy-Syafi’iyyah seperti al-Qadhi Abu Syuja’, dan sebagian al-Hanabilah seperti Ibnu Taimiyyah, berpendapat bahwa ihtiqan tidak membatalkan puasa.
f) Rongga Qubul (at-Taqthir fi Masalik al-Baul)
Sedangkan proses memasukkan benda tertentu melalui rongga qubul atau dzakar (kemaluan depan dan vagina) dalam istilah fiqih Syafi’i khususnya, disebut dengan taqthir fi al-ihlil. Dalam dunia medis modern, disebut dengan kateterisasi urin (al-qusturah al-bawliyyah). Yaitu suatu tindakan untuk memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra. Dalam dunia medis, hal ini dilakukan hanya dalam keadaan terpaksa, karena ada risiko masuknya mikroorganisme ke dalam kandung kemih (al-matsanah) dan saluran kemih.
Terkait apakah tindakan ini dapat membatalkan puasa atau tidak, para ulama berbeda pendapat:
Mazhab Pertama: Tidak Membatalkan Puasa.
Mayoritas ulama (Hanafi, Maliki, Hanbali), berpendapat bahwa tindakan tersebut tidak membatalkan puasa. Meskipun benda yang dimasukkan tersebut mengalir mancapai kantung kemih.
Mazhab Kedua: Membatalkan Puasa.
Mazhab Syafi’i dan Abu Yusuf dari kalangan al-Hanafiyyah berpendapat bahwa tindakan tersebut dapat membatalkan puasa secara mutlak.
3. Jima’
a. Jima’ Dengan Sengaja dan Konsekuensinya
Para ulama sepakat bahwa melakukan jima’ atau hubungan seksual termasuk yang membatalkan puasa. Dimana jima’ didefinisikan oleh para ulama sabagai masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan wanita. Oleh karena itu percumbuan yang belum sampai ke level persetubuhan belum dikatakan membatalkan puasa, selama tidak keluar mani.
Dasar ketentuan bahwa berjima’ itu membatalkan puasa adalah firman Allah swt:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ (البقرة: 187)
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka...” (QS. Al-Baqarah : 187)
Dalam ayat ini, Allah swt menghalalkan bagi suami istri untuk melakukan hubungan seksual pada malam puasa. Pengertian terbaliknya adalah bahwa pada siang hari saat berpuasa, hukumnya diharamkan, alias jima’ itu membatalkan puasa.
Sebenarnya makna kata rafats dalam ayat ini, tidak mutlak bermakna jima’. Bahkan percumbuan, bermesraan, serta berciuman pun termasuk rafats. Namun karena Allah swt meneruskan ayat ini dengan penegasan bahwa: kamu menjadi pakaian untuk mereka (istri) dan mereka menjadi pakaian untuk kamu, maka menjadi jelas sekali bahwa yang dimaksud rafats di sini bukanlah percumbuan, melainkan jima’ itu sendiri.
Di samping itu, para ulama juga sepakat bahwa orang yang batal puasanya karena jima’ yang disengaja, diwajibkan untuk membayar kaffarat. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ قَال: بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَال: يَا رَسُول اللَّهِ، هَلَكْتُ، قَال: مَا لَكَ؟ قَال: وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ، فَقَال رَسُول اللَّهِ ﷺ هَل تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا؟ قَال: لاَ. قَال: فَهَل تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ؟ قَال: لاَ. قَال: فَهَل تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا؟ قَال: لاَ. قَال: فَمَكَثَ النَّبِيُّ ﷺ فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ، أُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ، قَال: أَيْنَ السَّائِل؟ فَقَال: أَنَا، قَال: خُذْ هَذَا فَتَصَدَّقْ بِهِ، فَقَال الرَّجُل: عَلَى أَفْقَرَ مِنِّي يَا رَسُول اللَّهِ، فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا - يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ - أَهْل بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْل بَيْتِي، فَضَحِكَ النَّبِيُّ ﷺ حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ، ثُمَّ قَال: أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ (متفق عليه)
Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka ?“. “Aku berhubungan seksual dengan istriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak ?“. “Aku tidak punya”. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?”.”Tidak”. “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?“.”Tidak”. Kemudian ia duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma, maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan”. Orang itu menjawab lagi, ”Haruskah kepada orang yang lebih miskin dariku? Tidak ada lagi orang yang lebih membutuhkan di tempat ini kecuali aku”. Maka Nabi ﷺ tertawa hingga terlihat giginya, lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (HR. Bukhari Muslim)
Namun, para ulama berbeda pendapat, apakah dengan dibayarkannya kaffarat, qadha’ puasa tetap wajib dilakukan?
Mazhab Pertama: Qadha’ Tetap Wajib Atas Suami Istri.
Mayoritas ulama dari empat mazhab umumnya sepakat bahwa meskipun kaffarat telah dilakukan, qadha’ puasa tetap diwajibkan.
Mazhab Kedua: Tidak Wajib Qadha’
Sebagian ulama asy-Syafi’iyyah berpendapat bahwa qadha’ tidak lagi wajib dilakukan, jika salah satu dari tiga kaffarat telah ditunaikan.
Mazhab Ketiga: Tidak Wajib Qadha Jika Kaffarat Yang Dilakukan Adalah Berpuasa Dua Bulan Berturut-turut.
Pendapat ketiga dalam Mazhab Syafi’i menetapkan bahwa qadha’ tidak wajib dilakukan, namun dengan syarat bahwa kaffarat yang ditunaikan berupa puasa dua bulan berturut-turut.
b. Jima’ Karena Lupa
Para ulama berbeda pendapat, apakah orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan karena lupa bahwa dirinya sedang berpuasa, dapat membatalkan puasanya atau tidak.
Mazhab Pertama: Puasa Tidak Batal.
Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi berpendapat jima’ yang dilakukan karena lupa tidaklah membatalkan puasa. Asalkan penyebabnya benar-benar karena lupa, bukan pura-pura lupa
Dan mereka mendasarkan pendapat ini kepada qiyas atas orang yang makan dan minum di siang hari karena terlupa, dimana para ulama sepakat bahwa makan minum karena lupa tidak membatalkan puasa.
فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ (رواه البخاري)
Maka lanjutkanlah puasanya. Karena Allah swt telah memberinya makan dan minum. (HR. Bukhari)
Mazhab Kedua: Puasanya Batal.
Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa meskipun lupa, namun bila orang yang berpuasa itu melakukan hubungan suami istri di siang hari bulan Ramadhan, tetap saja puasanya batal.
Alasannya, karena dalam kasus seorang laki-laki yang mengaku telah celaka karena melakukan hubungan suami istri, Rasulullah ﷺ tidak menanyakan apakah hal itu terjadi karena lupa atau bukan. Beliau ﷺ dalam kasus itu, langsung memerintahkannya untuk membayar kaffarah, tanpa menyelidiki terlebih dahulu urusan lupa atau tidak lupa.
Hanya saja, kedua mazhab ini kemudian berbeda pendapat akan konsekuensi yang wajib dilakukan. Mazhab Maliki berpendapat bahwa orang yang berpuasa dan batal puasanya karena hubungan seksual yang lupa, hanya diwajibkan untuk menqadha’. Sedangkan Mazhab Hanbali mewajibkan kaffarat dan qadha’ sebagaimana batalnya puasa karena hubungan seksual yang disengaja.
c. Sahkah Puasa Seorang Yang Berimsak Dalam Kondisi Junub?
Maksud dari puasa dalam keadaan junub adalah seorang yang memulai untuk melakukan imsak puasa, namun di malam harinya ia mengalami janabah dan belum sempat untuk mandi janabah dalam rangka untuk mengangkat hadats besarnya.
Imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani menjelaskan bahwa mayoritas ulama –termasuk di antaranya empat mazhab-, telah bersepakat bahwa hal tersebut tidaklah menghalanginya untuk tetap melakukan puasa. Dalam arti, meski dalam keadaan janabah atau berhadats besar, puasanya tetaplah sah. Bahkan imam an-Nawawi telah memastikan ijma’ dalam masalah ini.
Hal ini didasarkan pada hadits-hadits berikut:
أَنَّ اَلنَّبِيَّ كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ (متفق عليه)
Dari Aisyah dan Ummi Salamah ra: bahwa Nabi ﷺ memasuki waktu shubuh dalam keadaan berjanabah karena jima’, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. Bukhari Muslim)
Adapun riwayat shahabat Abu Hurairah ra, atas suatu hadits yang mengandung hukum sebaliknya, ditafsirkan oleh banyak ulama sebagai anjuran semata. Dalam arti hendaknya orang yang junub di malam hari, sebisa mungkin sudah dalam kondisi suci dari hadats saat memulai puasa.
Para ulama juga sepakat bahwa, maksud dari janabah dalam hal ini adalah janabah karena sebab selain haid dan nifas. Dimana jika janabah itu disebabkan oleh haid atau nifas dalam arti hadi dan nifasnya masih berlangsung, tentu hukumnya tetaplah terlarang untuk berpuasa.
d. Sahkah Puasa Seorang Yang Mencium dan Mencumbu Istrinya?
Para ulama sepakat bahwa berciuman dengan istri tidaklah membatalkan puasa. Hanya saja, jika seseorang melakukannya saat syahwat sedang bergelora, sementara ia tidak bisa mengendalikan nafsunya, maka hal tersebut dimakruhkan untuk dilakukan. Karena berkobarnya syahwat dapat menyebabkan rusaknya puasa, dengan sebab keluarnya air mani atau terjadinya jima’.
Namun jika ia bisa menahan nafsunya dari hal-hal yang dapat merusak puasanya, maka tidak mengapa, karena Nabi ﷺ pernah mencium istrinya saat sedang berpuasa. Aisyah ra berkata:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ «يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ» (متفق عليه)
Dari Aisyah ra, ia berkata: Nabi ﷺ mencium dan mencumbu istrinya saat beliau berpuasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu mengendalikan syahwatnya. (HR. Bukhari Muslim)
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: «كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُقَبِّلُنِي وَهُوَ صَائِمٌ، وَأَنَا صَائِمَةٌ» (أخرجه أبو داود)
Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah ﷺ menciumku, saat dirinya dan diriku berpuasa. (HR. Abu Dawud)
4. Muntah
Para ulama sepakat bahwa muntah yang di luar kesengajaan, tidaklah membatalkan puasa. Apakah karena sebab sakit, mual, pusing atau karena naik kendaraan lalu mabuk dan muntah.
Hanya saja mereka berbeda pendapat jika muntah dilakukan dengan sengaja. Seperti jika seorang yang berpuasa memasukkan jarinya ke dalam tenggorokan, sehingga mengakibatkan dirinya muntah, apakah hal tersebut membatalkan puasanya atau tidak.
Mazhab Pertama: Puasa Batal.
Mayoritas ulama, di antaranya para ulama empat mazhab sepakat, bahwa muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa. Bahkan imam Ibnu al-Munzir menilai bahwa perkara ini telah pada tahap ijma’. Sebagaimana, umumnya mereka juga berpendapat bahwa, kewajiban yang dilakukan hanyalah dengan mengqadha’ puasanya. Mereka mendasarkannya pada hadits berikut:
عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَال: مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَمَنِ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ (رواه أبو داود والترمذي وابن ماجه وابن حبان والحاكم)
Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah ﷺ bersabda: Siapapun yang dikalahkan oleh muntahnya (keluar tanpa kehendaknya), tidak wajib mengqadha’ (puasanya tetap sah), tetapi siapapun muntah dengan sengaja, maka wajib mengqadha (puasanya batal).” (HR. Abu Daud, Tirmizy, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim)
Mazhab Kedua: Tidak Batal.
Diriwayatkan dari sebagian ulama shahabat, tabi’in, dan ulama lainnya seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ikrimah, Rabi'ah dan al-Hadi, bahwa mereka berpendapat muntah yang disengaja tidaklah membatalkan puasa. Dasar mereka adalah hadits berikut:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ثَلَاثٌ لَا يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ: الحِجَامَةُ، وَالقَيْءُ، وَالِاحْتِلَامُ. (رواه الترمذي والبيهقي)
Dari Abu Said al-Khudri: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiga hal yang tidak membuat batal orang yang berpuasa: berbekam, muntah dan mimpi (hingga keluar mani).” (HR. Tirmizi dan Baihaqi)
Hanya saja, menurut jumhur ulama, hadits ini selain dinilai dhaif juga masih bermakna umum. Dimana hadits ini tidak menyebutkan secara spesifik apakah muntah yang dimaksud adalah muntah dengan sengaja atau tidak. Dan karenya, dinilai lemah untuk menjadi hadits yang dipertentangkan dengan hadits riwayat Abu Hurairah.
5. Mengeluarkan Mani
Para ulama sepakat bahwa mengeluarkan mani secara tidak sengaja dan sepenuh kesadaran, seperti jika seseorang tidur dan mengalami mimpi basah sampai keluar mani, maka puasanya tidaklah batal. Dasarnya adalah hadits berikut ini:
رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ المَجْنُونِ حَتىَّ يَفِيْقَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتىَّ يَسْتَيْقِظَ (رواه أحمد وأبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان والحاكم)
Dari Ali bin Abi Thalib ra: Rasulullah ﷺ bersabda: ”Telah diangkat pena dari tiga orang: Dari anak kecil hingga baligh, dari orang gila hingga waras dan dari orang tidur hingga terbangun.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmizy)
Demikian pula para ulama sepakat akan tidak batalnya puasa orang yang mengeluarkan mani akibat membayangkan saja percumbuan, tanpa melakukannya secara sesungguhnya, juga tanpa melakukan onani atau masturbasi. Bahkan dalam kasus tertentu, orang yang sedang sakit pun bisa saja mengeluarkan mani, akibat penyakit yang dideritanya itu.
Adapun jika keluarnya air mani, dilakukan secara sengaja dan dengan tindakan fisik, seperti jika seorang suami bercumbu mesra dengan istrinya, meskipun tidak sampai melakukan hubungan badan, namun akibat percumbuan itu, maninya keluar. Demikian pula, jika mengeluarkannya dengan jalan onani atau masturbasi -terlepas dari status hukumnya- bila dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa, sehingga mencapai puncaknya dan keluar mani. Maka menurut para ulama, di antara empat mazhab –selain Ibnu Hazm azh-Zhahiri-, bahwa hal tersebut dapat membatalkan puasa. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، قَالَ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ ... «يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي، وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا» (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra: Rasulullah ﷺ bersabda: Puasa adalah tameng … “(Allah berfirman) Hambaku berpuasa dengan menahan makan, minum, dan syahwatnya demi-Ku. Puasanya adalah milik-Ku dan aku akan memberinya ganjaran, dimana satu kebaikan dilipat gandakan hingga sepuluh lipat.” (HR. Bukhari Muslim)
Dalam hadits ini, Allah swt –melalui hadits qudsi- menerangkan bahwa puasanya seorang hamba atas dasar menahan syahwatnya. Dan telah jelas diketahui bahwa seorang yang dengan sengaja mengeluarkan air mani, telah melepaskan syahwatnya yang menjadi sebab puasanya tidak sah.
Namun, para ulama berbeda pendapat akan konsekuensi yang wajib dilakukan:
Mazhab Pertama: Hanya Qadha’.
Mayoritas ulama (Hanafi, Syafi’i, Hanbali) berpendapat bahwa kewajiban yang harus dilakukan seorang yang batal karena mengeluarkan air mani secara sengaja hanyalah qadha’. Dan tidak diwajibkan atasnya membayar kaffarah.
Mazhab Kedua: Qadha’ dan Kaffarah.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa kewajibannya selain qadha’ adalah membayar kaffarah. Sebagaimana kewajiban seorang yang membatalkan puasa dengan cara melakukan jima’.
6. Berbekam dan Mengeluarkan Darah Dari Tubuh
a. Batalkah Puasa Orang Yang Berbekam?
Berbekam atau hijamah (حجامة) adalah salah satu bentuk pengobatan tradisional, dimana seseorang diambil darah dari pori-pori kulit untuk dikeluarkan penyakitnya.
Hukum berbekam ketika sedang puasa diperselisihkan oleh para ulama, apakah dapat membatalkan puasa, atau tidak. Dimana sumber perbedaan itu di antaranya berangkat dari pertentangan dalil-dalil yang shahih, yang sumbernya sama-sama berasal dari Rasulullah ﷺ.
Mazhab Pertama: Puasa Batal.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa puasa orang yang tubuhnya dibekam, dapat membatalkan puasanya, bahkan termasuk puasa orang yang membekamnya. Mereka mendasarkan pandangannya pada hadits berikut ini :
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ أَتَى عَلَى رَجُلٍ بِالْبَقِيعِ، وَهُوَ يَحْتَجِمُ، وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِي لِثَمَانِ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ، فَقَالَ: «أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُومُ» (رواه أبو داود والترمذي وأحمد)
Dari Syaddad bin Aus ra, bahwa Rasulullah ﷺ mendatangi seseorang di Baqi’ yang sedang berbekam di bulan Ramadhan, lalu beliau bersabda: “Orang yang membekam dan yang dibekam, keduanya batal puasanya.” (HR. Abu Dawud, Tirmizi, dan Ahmad)
Mazhab Kedua: Tidak Batal.
Jumhur ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’i) berpendapat bahwa berbekam tidaklah membatalkan puasa. Dalil yang mereka kemukakan antara lain adalah hadits yang menegaskan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berbekam dalam keadaan ihram dan puasa.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: «أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ، وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ» (رواه البخاري)
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Rasulullah ﷺ pernah berbekam dalam keadaan ihram dan pernah pula berbekam dalam keadaan puasa. (HR. Bukhari)
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh mazhab Hanbali di atas, dianggap oleh jumhur ulama telah dinasakh/dihapus. Sebab memang benar pada awalnya berbekam itu dapat membatalkan puasa, namun setelah itu hukumnya dinasakh dan diganti dengan hukum yang baru, dimana berbekam itu tidak membatalkan puasa.
Pendapat mereka berangkat dari hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: أَوَّلُ مَا كُرِهَتِ اَلْحِجَامَةُ لِلصَّائِمِ; أَنَّ جَعْفَرَ بْنَ أَبِي طَالِبٍ اِحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ فَمَرَّ بِهِ اَلنَّبِيُّ فَقَالَ: أَفْطَرَ هَذَانِ ثُمَّ رَخَّصَ اَلنَّبِيُّ بَعْدُ فِي اَلْحِجَامَةِ لِلصَّائِمِ وَكَانَ أَنَسٌ يَحْتَجِمُ وَهُوَ صَائِمٌ (رواه الدارقطني)
Dari Anas bin Malik ra: bahwa awalnya tidak dibenarkan berbekam bagi orang yang berpuasa. Dan Ja’far bin Abi Thalib pernah berbekam dalam keadaan puasa, kebetulan Nabi ﷺ lewat dan berkata: ”Kedua orang ini sama-sama batal puasanya.” Namun di kemudian hari beliau memberi keringanan dalam masalah bekam bagi orang yang berpuasa. Dan Anas berbekam dalam keadaan berpuasa. (HR. Daruquthny)
Dari perbedaan pendapat tentang hukum berbekam ini, kemudian para ulama juga berbeda pendapat dalam beberapa hal lain, yang terkait dengan keluarnya darah dari tubuh manusia.
b. Donor Darah (at-Tabarru’ bi ad-Dam)
Para ulama kontemporer umumnya sepakat bahwa pengambilan darah dari orang yang berpuasa dengan maksud sebagai sampel dalam pemeriksaan medis (li at-tahlil), seperti jika darah diambil dari pembuluh darah vena atau arteri dengan menggunakan spuit atau vacutainer, tidaklah membatalkan puasa.
Hanya saja, para ulama berbeda pendapat jika darah yang diambil cukup banyak dan dimaksudkan untuk didonorkan kepada pasien sakit yang membutuhkan (at-tabarru’ bi ad-dam), apakah hal tersebut dapat membatalkan puasanya.
Dalam hal ini, para ulama kontemporer berbeda pendapat, berdasarkan perbedaan di antara ulama klasik akan kebolehan berbekam bagi orang yang berpuasa. Dimana, mayorits ulama (Hanafi, Maliki, Syafi’i) berpendapat bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Sedangkan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa berbekam dapat membatalkan puasa.
Mazhab Pertama: Donor Darah Tidak Membatalkan Puasa.
Di antara ulama kontemporer yang berpendapat bahwa mendonorkan darah tidak membatalkan puasa adalah Syaikh Abdurrahman Jabnakah al-Maidani, Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Mahmud ‘Uwaidhah, dan Syaikh Muhammad Jabr al-Ulfy.
Mazhab Kedua: Donor Darah Dapat Membatalkan Puasa.
Di antara ulama kontemporer yang berpendapat bahwa mendonorkan darah dapat membatalkan puasa adalah Syaikh Abdul Aziz bin Baz, dan Syaikh al-‘Utsaimin.
c. Batalkah Puasa Oleh Sebab Mencopot Gigi?
Para ulama umumnya sepakat bahwa tercopotnya gigi orang yang berpuasa, tidak membatalkan puasanya. Apakah hal itu terjadi dengan sengaja ataupun tidak sengaja. Dan meskipun ketika gigi tercopot sampai mengeluarkan darah, asalkan darahnya itu tidak tertelan ke dalam tubuh.
Profil Penulis
Isnan Ansory, Lc., M.Ag, lahir di Palembang, Sumatera Selatan, 28 September 1987. Merupakan putra dari pasangan H. Dahlan Husen, SP dan Hj. Mimin Aminah.
Setelah menamatkan pendidikan dasarnya (SDN 3 Lalang Sembawa) di desa kelahirannya, Lalang Sembawa, ia melanjutkan studi di Pondok Pesantren Modern Assalam Sungai Lilin Musi Banyuasin (MUBA) yang diasuh oleh KH. Abdul Malik Musir Lc, KH. Masrur Musir, S.Pd.I dan KH. Isno Djamal. Di pesantren ini, ia belajar selama 6 tahun, menyelesaikan pendidikan tingkat Tsanawiyah (th. 2002) dan Aliyah (th. 2005) dengan predikat sebagai alumni terbaik.
Selepas mengabdi sebagi guru dan wali kelas selama satu tahun di almamaternya, ia kemudian hijrah ke Jakarta dan melanjutkan studi strata satu (S-1) di dua kampus: Fakultas Tarbiyyah Istitut Agama Islam al-Aqidah (th. 2009) dan program Bahasa Arab (i’dad dan takmili) serta fakultas Syariah jurusan Perbandingan Mazhab di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam Arab) (th. 2006-2014) yang merupakan cabang dari Univ. Islam Muhammad bin Saud Kerajaan Saudi Arabia (KSA) untuk wilayah Asia Tenggara, dengan predikat sebagai lulusan terbaik (th. 2014).
Pendidikan strata dua (S-2) ditempuh di Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, selesai dan juga lulus sebagai alumni terbaik pada tahun 2012. Saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa pada program doktoral (S-3) yang juga ditempuh di Institut PTIQ Jakarta.
Menggeluti dunia dakwah dan akademik sebagai peneliti, penulis dan tenaga pengajar/dosen di STIU (Sekolah Tinggi Ilmu Ushuludddin) Dirasat Islamiyyah al-Hikmah, Bangka, Jakarta, pengajar pada program kaderisasi fuqaha’ di Kampus Syariah (KS) Rumah Fiqih Indonesia (RFI).
Selain itu, secara pribadi maupun bersama team RFI, banyak memberikan pelatihan fiqih, serta pemateri pada kajian fiqih, ushul fiqih, tafsir, hadits, dan kajian-kajian keislaman lainnya di berbagai instansi di Jakarta dan Jawa Barat. Di antaranya pemateri tetap kajian Tafsir al-Qur’an di Masjid Menara FIF Jakarta; kajian Tafsir Ahkam di Mushalla Ukhuwah Taqwa UT (United Tractors) Jakarta, Masjid ar-Rahim Depok, Masjid Babussalam Sawangan Depok; kajian Ushul Fiqih di Masjid Darut Tauhid Cipaku Jakarta, kajian Fiqih Mazhab Syafi’i di KPK, kajian Fiqih Perbandingan Mazhab di Masjid Subulussalam Bintara Bekasi, Masjid al-Muhajirin Kantor Pajak Ridwan Rais, Masjid al-Hikmah PAM Jaya Jakarta. Serta instansi-instansi lainnya.
Beberapa karya tulis yang telah dipublikasikan, di antaranya:
Wasathiyyah Islam: Membaca Pemikiran Sayyid Quthb Tentang Moderasi Islam.
Jika Semua Memiliki Dalil: Bagaimana Aku Bersikap?.
Mengenal Ilmu-ilmu Syar’i: Mengukur Skala Prioritas Dalam Belajar Islam.
Fiqih Thaharah: Ringkasan Fiqih Perbandingan Mazhab.
Fiqih Puasa: Ringkasan Fiqih Perbandingan Mazhab.
Tanya Jawab Fiqih Keseharian Buruh Migran Muslim (bersama Dr. M. Yusuf Siddik, MA dan Dr. Fahruroji, MA).
Ahkam al-Haramain fi al-Fiqh al-Islami (Hukum-hukum Fiqih Seputar Dua Tanah Haram: Mekkah dan Madinah).
Thuruq Daf’i at-Ta’arudh ‘inda al-Ushuliyyin (Metode Kompromistis Dalil-dalil Yang Bertentangan Menurut Ushuliyyun).
4 Ritual Ibadah Menurut 4 Mazhab Fiqih.
Ilmu Ushul Fiqih: Mengenal Dasar-dasar Hukum Islam.
Ayat-ayat Ahkam Dalam al-Qur’an: Tertib Mushafi dan Tematik.
Serta beberapa judul makalah yang dipublikasikan oleh Jurnal Ilmiah STIU Dirasat Islamiyah al-Hikmah Jakarta, seperti: (1) “Manthuq dan Mafhum Dalam Studi Ilmu al-Qur’an dan Ilmu Ushul Fiqih,” (2) “Fungsi Isyarat al-Qur’an Tentang Astrofisika: Analisis Atas Tafsir Ulama Tafsir Tentang Isyarat Astrofisika Dalam al-Qur’an,” (3) “Kontribusi Studi Antropologi Hukum Dalam Pengembangan Hukum Islam Dalam al-Qur’an,” dan (4) “Demokrasi Dalam al-Qur’an: Kajian Atas Tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha.”
Saat ini penulis tinggal bersama istri dan keempat anaknya di wilayah pinggiran kota Jakarta yang berbatasan langsung dengan kota Depok, Jawa Barat, tepatnya di kelurahan Jagakarsa, Kec. Jagakarsa, Jak-Sel. Penulis juga dapat dihubungi melalui alamat email: [email protected] serta no HP/WA. (0852) 1386 8653.
RUMAH FIQIH adalah sebuah institusi non-profit yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan pelayanan konsultasi hukum-hukum agama Islam. Didirikan dan bernaung di bawah Yayasan Daarul-Uluum Al-Islamiyah yang berkedudukan di Jakarta, Indonesia.
RUMAH FIQIH adalah ladang amal shalih untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT. Rumah Fiqih Indonesia bisa diakses di rumahfiqih.com