Mati Syahid
Mukaddimah
Dalam syariat Islam dikenal istilah mati syahid yang mendapatkan tempat istimewa di sisi Allah SWT.
Setidaknya ada dua macam keunikan porang yang mati syahid.
Pertama : mereka yang dinyatakan mati syahid nantinya akan masuk surga tanpa dihisab. Seolah-olah semua dosa dan kesalahannya tidak lagi harus dipertanggung-jawabkan nanti di akhirat.
Ini adalah cara mati yang aneh sekaligus unik. Karena pada umumnya setiap kita nanti akan dimintai pertanggung-jawaban kelak di yaumil akhir. Tidak ada seorang pun yang bisa masuk surga begitu saja tanpa proses dihisab, kecuali hanya para nabi dan rasul yang memang makshum. Sedangkan kita manusia biasa, seluruhnya tetap harus melewati prosedur penghisaban di hari kiamat.
Kalau sampai ada pengecualian, orang-orang tertentu bisa masuk surga begitu saja tanpa harus lewat jalur hisab, tentu menjadi sangat istimewa sekali. Dan salah satunya yang telah ditetapkan berdasarkan nash adalah mereka yang matinya mati syahid.
Kedua : bahwa jenazah orang yang mati syahid itu ternyata tidak wajib dimandikan atau dikafani, cukup dishalatkan dan dikuburkan saja.
Padahal seluruh pemeluk agama Islam diwajibkan melakukan 4 perkara kepada saudaranya yang meninggal dunia, yaitu :
1. Memandikan
2, Mengkafani
3. Menyolatkan
4. Menguburkan
Hukumnya menjadi fartdhu kifayah, yakni bilamana sudah ada yang melaksanakannya, lepaslah kewajiban itu dari pundak kita semua. Tapi manakala tak seorang pun yang melakukannya, maka kita semua muslim ini jadi berdosa.
Tiba-tiba datang pengecualian yang istimewa, bahwa jenazah orang yang mati syahid tidak perlu dimandikan apalag dikafani, cukup hanya dishalatkan dan dikuburkan saja.
Anomali ini tentu saja menjadi teramat istimewa , khususnya bagi mereka yang mendapatkan kesempatan untuk bisa mati dengan cara syahid.
Tapi . . .
Lepas dari dua keistimewaan di atas, ternyata ilmu dan pengetahuan terkait fiqih orang yang mati syahid itu justru sangat lemah di tengah kita. Kita hanya tahu kulit-kulit terluarnya saja, tapi detail-detail bagaimana mati syahid itu sama sekali tidak pernah dipelajari secara rinci dan mendalam.
Oleh karena itulah Penulis tergerak untuk membuat semacam catatan kecil dalam buku ini. Isinya membahas seputar masalah mati syahid dengan segala kajian hukum syariahnya.
Semoga ilmu yang kita dapat bisa menambah wawasan kita dalam beragama, dan menambah berat timbangan amal kebajikan kita di hari kiamat nanti.
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
Bab 1 : Pengertian
1. Bahasa
Secara etimologis atau secara bahasa, istilah syahid (شهيد) dengan wazan fa’iil (فعيل) bersumber dari kata dasar syahida – wasyhadu – syahadah (شَهِدَ – يشهد – شهادة), yang berarti menyaksikan.
Dan kata syaahid (شَاهِد) dan syahiid (شَهيْد) mengacu kepada pelaku dari perbuatan menyaksikan, alias orang yang menyaksikan atau orang yang menjadi saksi.
Meski syaahid (شَاهِد) dan syahiid (شَهيْد) bermakna sama, yaitu sama-sama saksi, namun bentuk syahiid (شَهيْد) lebih punya penekanan dalam makna. Artinya adalah orang yang benar-benar menjadi saksi.
Sama seperti perbedaan antara kata aalim (عَالِم) dan aliim (عَلِيم), keduanya sama-sama bermakna orang yang mengetahui. Namun aliim (عَلِيم) lebih tinggi kedudukannya dan lebih banyak ilmu pengetahuannya ketimbang aalim (عَالِم). Kalau kita ingin menyebut bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui, kita menggunakan istilah al-‘aliim (العَلِيم).
Selain bermakna saksi, syahid juga bermakna orang yang hadir di suatu tempat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
لاَ يَحِلُّ لِلمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شاَهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa padahal suaminya hadir, kecuali dengan izinnya. (HR. Bukhari)
Dengan demikian, orang yang mati syahid itu berarti orang yang menjadi saksi atas manusia
وَتَكُونُوا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ
Dan kamu menjadi saksi atas manusia (QS. Al-Hajj : 78)
Menjadi Saksi Atas Apa?
Kalau orang yang mati syahid itu dikatakan menjadi saksi, yang menjadi pertanyaan menggelitik adalah : mereka itu menjadi saksi atas apa? Apa yang mereka saksikan sehingga mereka bergelar sebagai orang yang menyaksikan.
Untuk menjawab hal ini, para ulama berbeda-beda pandangan, karena dalil dan illat yang mereka pakai memang berbeda-beda.
Sebagian ulama mengatakan mereka yang mati syahid akan menyaksikan pahala dan kemuliaan yang Allah SWT berikan, pada saat mereka meninggal dunia.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa orang yang mati syahid itu menyaksikan datangnya para malaikat yang menaungi mereka dengan sayap-sayap mereka di saat kematiannya. Dan ada juga yang mengatakan bahwa orang yang mati syahid itu menyaksikan dunia dan akhirat.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa orang yang mati syahid menjadi saksi atas perjuangan membela kebenaran dari Allah SWT, sehingga dirinya menemui kematian dalam melakukan pembelaan itu.
Sebagian yang lain dari pendapat para ulama, di antaranya Al-Azhari, mengatakan bahwa orang-orang yang mati syahid itu akan menyaksikan Darus-salam sebelum terjadinya hari kiamat nanti. Sedangkan orang yang matinya bukan dengan cara syahid, hanya nanti di akhirat saja akan menyaksikannya.
Pendapat mereka berangkat dari firman Allah SWT berikut ini :
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتاً بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.(QS. Ali Imran : 169)
Menurut mereka, ketika hidup di sisi Allah di dunia inilah mereka sudah menjadi saksi adalah adanya Darus-salam.
Syahid dalam Arti Orang Kematiannya Disaksikan
Namun tentang penamaan orang yang mati di jalan Allah sebagai syahid, para ulama berbeda pendapat tentang hubungannya kata syahid dengan kematian itu.
Selain makna menjadi saksi di atas, ternyata ada sebagian ulama memaknai kata syahid bukan sebagai orang yang menjadi saksi, tetapi justru bermakna sebaliknya, yaitu orang yang disaksikan (مَشْهُود).
Dasar pendapat mereka bahwa terkadang wazan fa’iil (فعيل) bisa juga bermakna bukan pelaku, melainkan menjadi objek yang kepadanya dilakukan suatu pekerjaan.
Sehingga orang yang mati syahid itu bukan orang yang menjadi saksi, justru maknanya adalah orang kematiannya disaksikan.
Kalau memang orang yang mati syahid itu disaksikan, lalu peertanyaannya, siapakah yang menyaksikan mereka?
Umumnya mereka -sebagian ulama itu- mengatakan bahwa yang menyaksikan atau yang menjadi saksi bagi orang yang mati syahid tidak lain adalah para malaikat yang mulia, seperti dalam firman Allah SWT berikut ini :
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلاَّ تَخَافُوا وَلاَ تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (QS. Al-Hajj : 78)
Dalam hal ini ada yang mengatakan bahwa persaksian malaikat itu ketika orang yang mati syahid itu mengalami kematiannya, seperti Al-Imam Ar-Razi mengatakan bahwa orang yang mati syahid itu disaksikan oleh malaikat rahman, sebagaimana pendapat beliau di dalam kitab Hilyatul Fuqaha’.
Dan ada yang mengatakan para malaikat menjadi saksi nanti di dalam atas kebaikannya dan atas haknya untuk masuk ke surga.
Dan ada juga yang berpendapat bahwa yang menjadi saksi justru darahnya sendiri yang tertumpah ke muka bumi.
2. Istilah
Adapun makna mati syahid dalam pendekatan terminologis, atau secara istilah dalam ilmu fiqih yang berkembang, para ulama telah mendefinisikannya dengan berbagai bentuk ungkapan.
Tetapi semua sepakat bahwa definisi yang mereka berikan itu hanya terbatas buat orangyang mati syahid secara sesungguhnya, bukan mati syahid secara penyebutannya saja, atau pahalanya saja (syahid akhirat). Akan tetapi yang dimaksud adalah mati syahid dunia, dimana umumnya para ulama menetapkan tidak perlu dimandikan atau dikafani sebagaimana layaknya umumnya jenazah. Mereka yang mati syahid itu hanya dishalatkan dan dikuburkan dengan pakaian dimana dia meninggal dunia sebagai syahid.
Dengan pengertian tersebut, para ulama kemudian membuat kriteria atau definisi mati syahid sebagai berikut :
a. Al-Hanafiyah
Mewakili madzhab Al-Hanafiyah, Ibnu Abdin mendefinisikan tentang orang yang mati syahid sebagai :
هُوَ كُلُّ مُكَلَّفٍ مُسْلِمٍ طَاهِرٍ قُتِلَ ظُلْمًا بِجَارِحَةٍ
Semua orang yang mukallaf, muslim, suci dari hadats, terbunuh secara zalim dengan luka-luka.
Kalau kita telaah satu per satu definisi ini, maka kita akan mengetahui batas-batas mereka yang kematiannya termasuk mati syahid dengan yang tidak, yaitu :
Mukallaf
Orang yang bukan mukallaf tidak mati syahid. Mukallaf itu adalah orang yang akil dan baligh. Sehingga anak-anak kalau mati dalam peperangan itu tidak termasuk mati syahid.
Begitu juga dengan orang gila yang mati di tengah peperangan, mereka tidak mati syahid. Penyebabnya, karena keduanya bukan mukallaf.
Muslim
Orang kafir yang belum menyatakan keislamaannya, lalu bersimpati dan ikut dalam jihad bersama-sama dengan umat Islam, kalau mereka mati maka tidak kita sebut kematiannya dengan mati syahid. Sebab mati syahid itu hanya diperuntukkan buat orang-orang yang beragama Islam.
Mungkin orang itu berhak mendapat gelar pahlawan, tokoh bangsa, orang yang berjasa, atau dikuburkan di taman makam pahlawan dan seterusnya. Tetapi tetap saja orang itu bukan orang yang mati syahid.
Suci Dari Hadats
Orang yang mati syahid dalam pendapat Al-Hanfiyah ini disyaratkan harus suci dari hadats besar dan kecil. Dan bila dia seorang wanita, maka tidak sedang dalam keadaan haidh atau nifas.
Mati Dibunuh
Orang yang matinya karena sakit atau sebab-sebab lain, selain pembunuhan, tidak disebut sebagai mati syahid. Orang yang mati syahid di dunia ini hanya terbatas mereka yang matinya dengan cara pembunuhan.
Akan halnya orang sakit dan lainnya disebut juga mati syahid, itu hanya secara nilai pahalanya saja, yang kemudian sering diistilahkan dengan syahid akhirat.
Secara Terzalimi
Mati syahid hanya terbatas buat orang yang mati dibunuh secara zalim. Sedangkan orang yang mati dibunuh justru karena sesuai ketentuan dari Allah, seperti karena berzina dan harus dirajam, tidak dikatakan mati syahid.
Demikian juga orang yang membunuh orang lain dengan sengaja, maka hukuman baginya adalah hukum qishash, yaitu dia dihukum mati dengan cara dibunuh juga.
b. Al-Malikiyah
Ada pun ulama di kalangan madzhab Al-Malikiyah membuat definisi tentang orang yang mati syahid dengan redaksi :
شَهِيْدٌ مُعْتَرِكٌ فَقَطْ وَلَوْ بِبَلَدِ الإِسْلاَمِ أَوْلَمْ يُقَاتِلْ وَإِنْ أَجْنَبَ عَلَى الأَحْسَنِ إِلاَّ إِنْ رَفَعَ حَيًا وَإِنْ أَنْفَذَتْ مُقَاتِلهُ
Hanya yang ikut dalam perang fisik saja, meski matinya di negeri Islam dan tidak ikut membunuh, meski pun berjanabah, dan bukan orang yang keluar dalam keadaan hidup meski ditolong oleh lawan, dan bukan orang yang maghmur.
Batasan dari takrif ini adalah :
Terbatas Dalam Peperangan
Orang yang mati syahid hanya terbatas pada mereka yang mati di karena peperangan atau jihad fi sabilillah. Dan tidak termasuk mereka yang mati di luar akbiat peperangan, seperti mereka yang mati karena dirampok, atau terbunuh oleh teroris, atau perang yang merupakan fitnah sesama umat Islam.
Demikian juga tidak termasuk di dalam konteks mti syahid ini adalah mereka yang mati karena menderita suatu penyakit, melahirkan, tenggelam dan sebagainya.
Meski Mati di Negeri Islam
Mati syahid tidak terbata mereka yang mati medan pertempuran yang jauh dan memerlukan perjalanan jauh. Bahkan meski pertempuran itu terjadi di tengah negeri musli, asalkan umat Islam berhadapan dengan orang-orang kafir yang menjajah negeri muslim itu, maka mereka yang mati di dalam peperangan itu termasuk mati syahid.
Barangkali definisi ini ingin menegaskan bahwa meski di masa lalu umumnya hampir semua peperangan terjadi di luar daerah negeri Islam, namun bukan berarti syarat mati syahid harus terjadi di luar dari negeri Islam.
Sebab bisa saja terjadi negeri Islam malah diserang oleh musuh-musuh Allah, mereka masuk ke negeri Islam dan melakukan pembunuhan kepada umat Islam. Mereka yang mati membela negara Islam itu tentu mati syahid, walau matinya di negeri sendiri.
Atau Tidak Ikut Membunuh
Mereka yang tidak ikut membunuh musuh tetapi berada di dalam area pertempuran dan ikut terbunuh, maka mereka termasuk di dalam orang-orang yang mati syahid, menurut pendapat ini.
Meski Berjanabah
Mazhab Al-Malikiyah tidak mensyaratkan orang yang mati syahid harus suci dari hadats besar atau hadats kecil. Artinya, meski mereka mati dalam keadaan berjanabah, tetap saja matinya disebut sebagai mati syahid.
Bukan Orang Yang Keluar Dalam Keadaan Hidup
Tidak termasuk mati syahid orang yang keluar dari peperangan itu dan dia dalam keadaan masih hidup. Meski yang menolong dia dari kematian itu adalah musuh-musuhnya sendiri.
c. Asy-Syafi’iyah
Sedangkan definisi mati syahid dalam pandangan mazhab Asy-Syafi’iyah adalah :
مَنْ مَاتَ بِسَبَبِ قِتَالِ الكُفَّارِ حَالَ قِيَامِ القِتَالِ
Orang yang mati karena sebab memerangi orang-orang kafir ketika terjadi peperangan.
Dengan definisi itu maka batas orang yang matinya mati syahid dengan yang bukan mati syahid adalah :
Mati Bukan Karena Perang
Orang yang mati bukan karena peperangan, misalnya mati karena sakit, atau karena sudah tua, atau mati mendadak, di luar perang melawan musuh, maka kematiannya bukan mati syahid.
Memerangi Orang Kafir
Perang itu terkadang melawan orang kafir, tetapi terkadang melawan orang yang secara formal masih beragama Islam, seperti memerangi orang yang membangkang, teroris, ahlul baghyi, penjahat, pencoleng, perampok, pembajak dan sebagainya.
Ketika Terjadi Peperangan
Meski seseorang ikut dalam sebuah peperangan dan terluka, hingga kemudian setelah peperangan usai, beberapa waktu kemudian dia akhirnya meninggal dunia, maka dia tidak mati syahid. Sebab peperangan telah usai, dan dia tidak mati di medan pertempuran secara langsung.
Bab 2 : Keutamaan Mati Syahid
Mati syahid adalah salah satu dari dua kemungkinan yang akan dialami oleh orang yang berjihad. Kemungkinan lainnya adalah mendapatkan kemenangan, ghanimah atau perjanjian perdamaian.
Sedangkan orang yang tidak berjihad, tentu tidak akan mendapatkan keutamaan mati syahid. Kalau pun ada ungkapan bahwa ada orang-orang yang mati bukan karena berperang atau berjihad itu juga mendapat mati syahid, namun sesungguhnya hanya sebuah perbandingan nilai pahalanya. Sedangkan keutamaannya tentu tetap berbeda.
Keutamaan mati syahid disini hanya berlaku bagi mereka yang mati syahid secara hakiki, dalam arti memang benar-benar mati di medan perang suci yang merupakan jihad fi sabilillah. Kepada mereka Allah memberikan banyak sekali keutamaan, antara lain :
1. Harum Darahnya
Seorang mujahid yang mati di medan pertempuran yang sesungguhnya, boleh jadi darahnya berceceran dimana-mana. Orang awam yang melihatnya pasti akan ngeri, atau malah merasa jijik. Namun di akhirat nanti, darah yang berceceran di sekujur tubuh itu justru akan berubah menjadi bau harum semerbak. Dan hal itu memang merupakan salah satu keutamaan bagi mujahid yang mati syahid di jalan-Nya, sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya.
زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلْمٌ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلاَّ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْمَى لَوْنُهُ لَوْنُ الدَّمِ وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ
Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darah-darahnya juga. Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya warna darah namun aromanya seharum kesturi. (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Meski hadits ini berbicara tentang apa yang terjadi nanti di hari kiamat, namun kenyataannya begitu banyak bukti di masa sekarang ini, mereka yang mati syahid, justru darahnya sudah berubah menjadi bau harum semerbak.
Misalnya tatkala umat Islam berjihad mengusir Uni Sovyet di tanah Afghan, banyak sekali mujahidin yang mengalami hal seperti itu. Semua menjadi bukti dan tanda dari Allah Yang Maha Rahman, bahwa mereka betul-betul telah menjadi syahid di jalannya.
Semasa hidupnya, Asy-Syahid Dr. Abdullah Azzam, ulama dan pimpinan mujahidin di Afghanistan, sampai membuat buku khusus yang mengabadikan karamah para mujahidin itu dalam satu tulisan yang berjudul : Tanda-tanda Kekuasaan Allah di dalam Jihad Afghan.
2. Tetesan Darahnya Dicintai Allah
Selain berbau wangi, tetesan darah orang yang mati syahid itu dicintai Allah SWT. Bagi Allah SWT ada dua macam tetesan yang dicintainya, yaitu tetesan darah para syuhada, dan tetesan air mata orangyang takut kepada Allah SWT. Dan tetes darah para sy merupakan syuhada adalah satu tetesan yang paling dicintai Allah, sebagaimana sabda beliau SAW :
لَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ قَطْرَتَيْنِ وَأَثَرَيْنِ : قَطْرَةٌ مِنْ دُمُوعٍ فيِ خَشْيَةِ اللهِ وَ قَطْرَةُ دَمٍ تُهْرَقُ فيِ سَبِيْلِ اللهِ وَأَمَّا الأَثَرَانِ : فَأَثَرٌ فيِ سَبِيْلِ اللهِ وَأَثَرٌ فيِ فَرِيْضَةٍ مِنْ فَرَائِضِ اللهِ
Tidak ada sesuatu yang dicintai Allah dari pada dua macam tetesan atau dua macam bekas : tetesan air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang tertumpah dijalan Allah; dan adapun bekas itu adalah bekas (berjihad) dijalan Allah dan bekas penunaian kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah (HR. At Tirmidzi)
3. Ingin Mati Syahid Berulang-ulang
Mungkin terdengar aneh dan tidak biasa, namun itulah kenyataannya. Orang yang mati syahid ternyata justru menikmati kematiannya itu, bahkan sampai ingin mati berkali-kali, karena saking indah dan nikmatnya.
Kalau ada orang yang ingin mati berkali-kali, maka orang itu pasti orang yang mati dalam keadaan syahid. Dia adalah orang yang setelah mati, malah ingin dikembalikan lagi ke dunia, tapi tujuannya untuk bisa mati lagi, yaitu mati dalam keadaan syahid. Demikianlah Rasulullah SAW bersabda tentang perilaku aneh tapi nyata ini :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَمُوتُ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ يَسُرُّهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا وَأَنَّ لَهُ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا إِلاَّ الشَّهِيدَ لِمَا يَرَى مِنْ فَضْل الشَّهَادَةِ فَإِنَّهُ يَسُرُّهُ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى الدُّنْيَا فَيُقْتَل مَرَّةً أُخْرَى .
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bersabda,”Tidaklah seorang hamba meninggal dunia di sisi Allah yang lebih baik dari membuatnya bahagia kembali ke dunia, dan bahwa dunia dan isinya itu miliknya, kecuali orang yang mati syahid. Karena dia mengetahui keutamaan berjihad, dan bisa kembali ke dunia dan terbunuh lagi membuatnya bahagia.
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوَدَدْتُ أَنْ أَغْزُوَ فيِ سَبِيلِ اللهِ فَأُقْتَل ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَل ثُمَّ أَغْزُو فَأُقْتَل
Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sungguh Aku amat mendambakan berperang di jalan Allah sampai aku terbunuh, kemudian perang lagi, terbunuh lagi, kemudian perang lagi dan terbunuh lagi.
يُغْفَرُ للِشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْن مَا أَحَدٌ يَدْخُلُ الجَنَّةَ يُحِبُّ أَنْ يَرْجِعَ إِلىَ الدُّنْيَا وَإِنَّ لَهُ مَا عَلىَ الأَرْضِ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ الشَّهِيْد فَِإنَّهُ يَتَمَنَّى أَنْ يَرْجِعَ إِلىَ الدُّنْيَا فَيُقْتَلُ عَشْرَ مَرَّاتٍ لِمَا يَرَى مِنَ الكَرَامَةِ.
Orang yang mati syahid diampuni atas semua dosanya kecuali hutang. Tidak ada seorang pun yang sudah masuk surga yang ingin kembali lagi ke dunia karena di dunia dia punya sesuatu, kecuali mati syahid. Sesungguhnya dia menginginkan untuk kembali ke dunia dan terbunuh 10 kali, lantaran kemuliaan mati syahid
عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ قَال : حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ خَالِدٍ أَنَّ رَسُول اللَّهِ ص قَال : مَنْ جَهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيل اللَّهِ فَقَدْ غَزَا وَمَنْ خَلَفَ غَازِيًا بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا
Dari Busr bin Said berkata,”Zaid bin Khalid mengatakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang menyiapkan diri berperang di jalan Allah maka dia telah berperang. Dan siapa yang mewakilkan …
4. Ditempatkan di Surga Firdaus yang Tertinggi
Sebagaimana kita ketahui bahwa surga itu terdiri dari kelas-kelas, dimana kenikmatan yang Allah SWT sediakan di dalamnya berjenjang dari yang paling bawah hingga yang paling tinggi.
Tentunya di jajaran surga yang paling tinggi terdapat para nabi dan rasul, yang memang orang-orang pilihan. Namun manusia biasa yang bukan dan nabi dan rasul pun ada juga yang menghuni surga yang paling tinggi. Di antara mereka itu adalah mereka yang mati dalam keadaan syahid di jalan Allah.
5. Tidak Mati Tetapi Hidup di sisi Allah
Meski orang yang gugur di medan jihad itu meninggal dunia, ruhnya terlepas dari badannya, keluarganya berduka, anak-anaknya menjadi yatim dan istrinya menjadi janda, namun pada hakikatnya orang yang mati syahid itu tidak mati seperti umumnya orang yang mati.
Allah SWT menegaskan bahwa mereka yang mati syahid itu tetap hidup, namun kita tidak tahu dimana posisi mereka, hanya Allah SWT saja yang tahu.
Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa mereka yang mati syahid itu bukan hanya hidup di alam tertentu, tetapi mreka juga mendapatkan rizki. Hal itu dijelaskan dua kali di dalam Al-Quran ketika Allah SWT berfirman :
وَلاَ تَقُولُواْ لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبيلِ اللّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاء وَلَكِن لاَّ تَشْعُرُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, mati; bahkan mereka itu hidup , tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al-Baqarah : 154)
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاء عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.(QS. Ali Imran : 169)
Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang teknis seperti apa dan bagaimana kehidupan para syuhada di sisi Allah itu. Namun satu hal yang wajib diyakini adalah bahwa mereka itu tidak mati tetapi masih hidup di suatu tempat tertentu, hanya Allah SWT saja yang tahu detailnya.
6. Tidak Merasakan Sakit
Orang yang gugur di jalan Allah tentu mati dengan cara tidak normal menurut ukuran umumnya. Ada yang tangannya buntung, atau kakinya lepas, bahkan ada juga yang gugur dengan 70 tusukan parah di sekujur tubuhnya. Darah berceceran dimana-mana, tubuh boleh jadi sudah tidak lagi utuh.
Logika kita akan mengatakan betapa sakitnya mati dalam keadaan seperti itu. Kita akan berpikir mereka itu mati kesakitan dengan mengerang-ngerang merasakan sakitnya di sekujur tubuh.
Namun yang terjadi sesungguhnya malah terbalik 180 derajat. Mereka yang mati dalam keadaan syahid itu sebagaimana Rasulullah SAW menegaskan, justru mereka sama sekali tidak merasakan sakitnya pembunuhan yang dialaminya.
Ini tentu aneh dan unik. Bagaimana mungkin darah berceceran dimana-mana dan tubuh tidak utuh lagi, tetapi yang punya tubuh justru tidak merasakan. Tetapi kalau kita tahu dalam dunia kedokteran ada semacam obat bius yang membuat mati rasa, kira-kira seperti itulah yang terjadi. Para syuhada itu justru sama sekali merasakan apa-apa saat mereka dijemput ajal di medan jihad itu. Dan ini merupakan karunia serta karamah tersendiri buat mereka yang telah menjual seluruh dirinya hanya untuk kepentingan Allah SWT.
Hadits nabi menyebutkan bahwa mereka hanya merasakan sakit sedikit seperti orang dicubit.
مَا يَجِدُ الشَّهِيْدُ مِنْ مَسِّ القَتْلِ إِلاَّ كَمَا يَجِدَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَسِّ القُرْصَةِ
Dari Abu Hurairah ia berkata ; “Rasul Saw bersabda ; tidaklah syahid merasakan tertimpa kematian kecuali seperti halnya seorang dari kamu merasakan terkena cubitan (Tirmidzi)
7. Diampuni Dosanya
Seorang yang mati dalam keadaan syahid mendapat fasilitas yang istimewa, yaitu seluruh dosa-dosa yang pernah dia lakukan diampuni oleh Allah SWT, begitu dia meregang ajal.
Allah SWT berfirman :
وَلَئِن قُتِلْتُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ مُتُّمْ لَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَحْمَةٌ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ وَلَئِن مُّتُّمْ أَوْ قُتِلْتُمْ لإِلَى اللَّهِ تُحْشَرُونَ
Dan sungguh kalau kamu gugur di jalan Allah atau meninggal, tentulah ampunan Allah dan rahmat-Nya lebih baik dari harta rampasan yang mereka kumpulkan. (QS. Ali Imrah : 157)
Dan Rasul SAW bersabda :
يُغْفَرُ لِلشَّهِيدِ كُلُّ ذَنْبٍ إِلاَّ الدَّيْنَ
Diampuni bagi syahid semua dosa kecuali hutang (HR. Muslim)
Dari hadits ini para ulama mengambil kesimpulan bahwa dosa yang diampuni hanyalah dosa-dosa yang terkait dengan hak Allah. Sedangkan dosa yang terkait dengan hak-hak manusia atau huququl-’ibad, seperti menyakiti orang, melukai, mencaci, mencela, menghina, merendahkan, mempjtergantung dari kerelaan dan keluasan yang diberikan oleh manusia.
8. Malaikat Menaungi dengan Sayapnya
Orang yang mati syahid mendapatkan kehormatan dari para malaikat yang mulia. Bentuk penghormatan yang diberikan adalah para malaikat itu menaungi jenazah yang mati syahid itu dengan sayap-sayap mereka.
Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah SAW ketika menejaskan bagaimana para malaikat memuliakan syuhada di medan Uhud.
فَمَا زَالَتْ المَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا
Malaikat terus menaunginya dengan sayapnya. (HR. Bukhari Muslim)
Biasanya orang yang meninggal akan merasakan takut karena dia berhadapan dengan sesuatu yang asing dan tidak dikenalnya, apalagi bertemu dengan malaikat yang amat perkasa.
Namun khusus buat orang yang mati syahid, justru malaikat itu akan bersikap sangat ramah dan mengayomi, bahkan memuliakan jenazah yang mati syahid tersebut dengan bahasa tubuh, menaunginya dengan sayap mereka.
9. Memberi Syafaat Kepada 70 Keluarganya
Orang yang mati syahid mendapatkan fasilitas khusus dari Allah SWT, yaitu berwenang untuk memberi syafaat kepada 70 orang dari keluarganya.
عن المقدام بن معدي كرب رضي الله عنه قال: قال رسول الله : للشهيد عند الله ست خصال، يغفر له في أول دفعة، ويرى مقعده من الجنة، ويجار من عذاب القبر، ويأمن من الفزع الأكبر ويوضع على رأسه تاج الوقار: الياقوتة منها خير من الدنيا وما فيها ويزوج اثنتين وسبعين زوجة من الحور العين ويشفع في سبعين من أقاربه
Orang yang mati syahid di sisi Allah mendapatkan 6 perkara, diampuni sejak awal kematiannya, melihat tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar, diletakkan mahkota yang megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yaqut terbaik di dunia, dikawinkan dengan 72 bidadari, serta diberi syafaat sebanyak 70 orang dari kerabatnya. (HR. Tirmizy dan Ibnu Majah)
10. Jasadnya Tidak Dimakan Tanah
Orang yang mati syahid mendapatkan kemuliaan dimana jasadnya setelah dikubur tidak dimakan tanah, tetapi utuh seperti ketika baru dikuburkan, meski sudah lama meninggal dunia.
ثُمَّ لَمْ تَطِبْ نَفْسِي أَنْ أَتْرُكَهُ مَعَ الآخَرَ فَاسْتَخْرَجْتُهُ بَعْدَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ فَإِذَا هُوَ كَيَوْمِ وَضَعَتْهُ هَنِيَّة غَيْرَ أُذُنِهِ
Kemudian aku tidak tega meninggalkannya dengan yang lainnya, maka aku keluarkan jasadnya setelah 6 bulan. Ternyata bentuknya masih sama dengan bantuk ketika dikuburkan, kecuali bagian telinganya. (HR. Bukhari)
Bab 3 : Tiga Jenis Mati Syahid
Para ulama membagi tiga jenis mati syahid, yaitu syahid secara hukum dunia dan akhirat, syahid secara hukum dunia saja dan syahid secara hukum akhirat saja.
1. Syahid Secara Hukum Dunia Dan Akhirat
Jenis yang pertama adalah orang yang mati syahid secara hukum dunia dan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan mati syahid dalam peperangan, seperti yang dialami oleh para syuhada di medan Badar, Uhud, Khandaq, Mu’tash, Hunaik dan Tabuk serta semua perang jihad yang lainnya.
Terkait dengan hukum di dunia, maka jasad mereka ini tidak perlu lagi untuk dimandikan atau dikafani, cukup dishalati dan dikuburkan dengan pakaian yang melekat di badannya. Sebab pakaian yang berlumur darah nanti di akhirat akan menjadi saksi bahwa dirinya telah berjuang dan mati di jalan Allah SWT.
Sedangkan di akhirat, ganjaran yang diterima sangat luar biasa, yaitu masuk surga tanpa harus dihisab lagi amal-amalnya, kecuali hutang-piutang kepada sesama manusia.
2. Syahid Secara Hukum Dunia Saja
Jenis mati syahid yang kedua menurut mazhab Asy-Syafi’iyah adalah orang yang mati syahid secara hukum keduniaan saja tetapi tidak di akhirat.
Contohnya adalah orang Islam yang mati karena berperang demi dirinya sendiri. Atau dia mati karena mengejar harta ghanimah. Atau terbunuh karena melarikan diri. Atau mati terbunuh karena riya’ dan lainnya.
Secara hukum di dunia dia dianggap mati syahid, oleh karena itu jasadnya tidak dimandikan atau dikafani, cukup dishalati dan dikuburkan lengkap dengan pakaiannya. Adapun di akhirat, hisabnya tergantung Allah SWT, apakah akan dimasukkan ke dalam kelompok yang mati syahid betulan atau tidak.
3. Syahid Secara Hukum Akhirat Saja
Jenis mati syahid yang ketiga adalah mereka yang secara hukum di dunia tidak dimasukkan sebagai orang yang mati syahid, namun di akhirat insyallah dimasukkan sebagai orang yang mati syahid.
Oleh karena itu jasadnya tetap diperlakukan sebagaimana orang yang biasanya wafat, yaitu dimandikan, dikafani dengan kain putih, dishalatkan dan dikuburkan selayaknya yang dilakukan kepada jenazah pada umumnya. Lalu di akhirat, dia akan diperhitungkan sebagai orang yang mati syahid juga.
Dasar dari pembagian ini adalah sabda Nabi SAW berikut :
والشهداء خمسة: المطعون والمبطون والغريق وصاحب الهَدْم والشهيد في سبيل الله
Orang yang mati syahid itu ada lima, yaitu orang yang terkena tha’un (wabah), terkena sakit di perut, orang yang tenggelam, tertimpa bangunan, dan syahid fi sabilillah (perang). (HR. At-Tirmizy)
Para ulama dalam mazhab Al-Hanabilah menyebutkan bahwa jenis mati syahid itu lebih dari 20 macam. Sedangkan Asy-Suyuthi menyebutkan bahwa yang termasuk mati syahid itu banyak, tidak hanya sebatas lima saja. Beliau menghitung tidak kurang dari 30 jenis kematian, yaitu :
Math’un atau terkena wabah
Sakit perut
Tenggelam
Syariq
Terbakar
Tertimpa bangunan
Teman perjalanan,
TBC
Penyakit di wajah
Bersabar karena wabah
Jatuh dari puncak gunung
Mati Ketika Berhaji
Dalam rangka mencari ilmu
Mencari syahadah Dengan Niat Yang Benar
Tercekik
Ulama
Gila
Nifas
Disengat
Mempertahankan agamanya
Mempertahankan nyawanya
Mempertahankan hartanya
Mempertahankan keluarganya
Muzhlimahnya
Diterkam binatang buas
Jatuh dari Tunggangannya
Orang Asing
Mati Malam Jumat
Orang yang dipindahkan dari satu perang dalam keadaan hidup
Orang yang makan, minum, tidur atau berobat setelah ditusuk dan masih hidup waktu shalat.
D. Mati Syahid Tidak Dimandikan
Orang yang mati syahid dalam arti yang sesungguhnya, yaitu mati syahid dunia dan akhirat, punya kekhususan tersendiri dalam pengurusan jenazahnya.
1. Jumhur UIama
Pada dasarnya menurut jumhur ulama baik mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, As-syafi’iyah dan Al-Hanabilah, orang yang mati syahid tidak perlu dimandikan jenazahnya. Dan hal itu berlaku pada semua kasusnya.
أن النبي صلّى الله عليه وسلم أمر بدفن شهداء أحد في دمائهم ولم يغسلهم ولم يصل عليهم
Nabi SAW memerintahnya untuk menguburkan para syuhada Uhud dalam keadaan mereka berdarah, tidak dimandikan dan tidak pula dishalatkan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Salah satu alasan kenapa tidak perlu dimandikan dan dikuburkan dengan darah yang menempel pada pakaian dan tubuhnya adalah karena darah para syuhada itu tidak najis dalam kacamata ilmu fiqih. Umumnya para ulama sepakat mengatakan bahwa darah orang yang mati syahid itu hukumnya tidak termasuk najis. Dasar dari kesucian darah para syuhada adalah sabda Rasulullah SAW :
زَمِّلُوهُمْ بِدِمَائِهِمْ فَإِنَّهُ لَيْسَ كَلْمٌ يُكْلَمُ فِي اللَّهِ إِلاَّ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَدْمَى لَوْنُهُ لَوْنُ الدَّمِ وَرِيحُهُ رِيحُ الْمِسْكِ
Bungkuslah jasad mereka (syuhada’) sekalian dengan darah-darahnya juga. Sesungguhnya mereka akan datang di hari kiamat dengan berdarah-darah, warnanya warna darah namun aromanya seharum kesturi. (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Para ulama menegaskan bahwa darah syuhada yang suci itu hanyalah darah yang masih menempel di tubuh mereka. Sedangkan darah yang sudah terlepas atau tercecer dari tubuh, hukumnya tetap hukum darah seperti umumnya, yaitu najis.
Namun meski tidak perlu dimandikan, seandainya pada tubuh jenazah syahid ini ada najis-najis di luar dari darahnya, maka tetap perlu untuk dibersihkan.
2. Imam Abu Hanifah
Al-Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang yang mati syahid masih yang masih dalam keadaan berjanabah, termasuk di dalamnya wanita yang haidh dan nifas, hukumnya tetap wajib untuk dimandikan. Demikian juga bila jenazah itu wanita atau anak kecil. Alasannya karena shahabat Nabi SAW yang bernama Hanzhalah bin Abi Amir Ats-Tsaqafi radhiyallahuanhu yang bergelar ghasilul malaikah. Nabi SAW bersabda :
إن صاحبكم حنظلة تُغسِّله الملائكة، فسألوا زوجته، فقالت: خرج وهو جنب، فقال عليه الصلاة والسلام: لذلك غسلته الملائكة
Shahabat kalian Hanzhalah dimandikan jenazahnya oleh malaikat, tanyakan kepada istrinya . Istrinya berkata,”Sewaktu dia keluar perang, dia masih dalam keadaan janabah”. Rasulullah SAW bersabda,”Oleh karena itulah malaikat memandikan jenazahnya.
Meski demikian, kedua muridnya, yaitu Al-Imam Abu Yusuf dan Al-Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani tidak sepakat dengan pendapat sang guru. Mereka berpendapat bahwa tidak wajib bagi kita untuk memandikan jenazah yang mati syahid, meski dalam keadaan berjanabah.
Hujjah dari keduanya juga sangat kuat, yaitu kalau memang wajib dimandikan, seharusnya yang memandikannya bukan malaikat, tetapi para shahabat yang ada saat itu sebagai mukallaf. Sedangkan pada malaikat itu meski mulia kedudukannya, namun mereka bukan mukallaf.
Memandikan jenazah itu bagian dari syariat yang wajib hukumnya, maka yang wajib mengerjakannya harus manusia dan bukan sebangsa malaikat. Kalau yang mengerjakan malaikat, maka syariat ini menjadi tidak ada artinya. Sebab ini urusan ibadah yang terkait dengan hukum.
E. Kesimpulan
1. Dimensi sosial itu sudah tercakup di dalam ilmu fiqik klasik, namun kurang diekspose keluar, sehingga terkesan Ilmu Fiqih itu tidak memperhatikan masalah sosial.
2. Perilaku umat Islam di masa kini, yang mengalami kendala stagnasi dan terbenam dalam teks-teks kitab fiqih klasik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa ilmu fiqih itu tidak dinamis, kurang waqi', beku, jumud dan tidak reaktif terhadap realitas kehidupan yang dinamis dan terus berkembang.□