Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Panduan Praktis Wanita Haid

Kata Pengantar ن ِ

بِسْمِ ﷲِ الرﱠ ْﲪ الرﱠحِ يِ م
Saudariku, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita. Haid adalah permasalahan yang sudah selayaknya kita para wanita mendalami dan mempelajarinya sungguh-sungguh karena begitu banyak hukum-hukum syariat yang berkaitan dengan haid. Bahkan haid adalah permasalahan fikih terkompleks yang ditulis para ulama v dalam kitab-kitab mereka. An Nawawi v mengatakan, “Ketahuilah haid termasuk di antara permaslahan yang rumit. Banyak orang besar terjatuh dalam kesalahan karena ruwetnya masalah ini. Para ulama peneliti memberikan perhatian terhadap masalah haid. Mereka juga mengkhusukan penulisan yang membahas masalah ini dalam kitab tersendiri.” (Al Majmu’ Syarhul Muhadzdab, 2/380) Buku kecil ini kami hadirkan sebagai wujud cinta kepada saudarisaudari kami agar tidak kebingungan terhadap permasalahan haid. Semoga bermanfaat bagi penyusun khususnya dan kaum muslimin pada umumnya. Kami memohon kepada Allah agar menjadikan amalan kami amalan yang ikhlas semata-mata mengharapkan wajah Allah yang Mulia. Dan kami memohon kepada Allah agar melimpahkan hidayah taufiq kepada kita semua. Wallahu waliyyuttaufiq wassadaad.

11 Jumadal Ula 1437 H, Langsa NAD

Penyusun Umi Farikhah Abdul Mu’ti


Pendahuluan


Saudariku, haid merupakan ketetapan Allah kepada seluruh anak perempuan Nabi Adam p yang telah menginjak masa baligh. Rasulullah ` bersabda,
...إِنﱠ هَذَا أَمْرٌ كَتـَبَهُ ﷲُ عَلَى بـَنَا ِ ت آدَ َ م
“Sesungguhnya perkara ini (haid) adalah ketetapan Allah kepada anak perempuan Nabi Adam.” (HR. Bukhari No. 290)
Untuk itu janganlah engkau bersedih, ridhalah dengan takdir Allah untuk kita para wanita karena hikmah dan keadilanNya meliputi segala sesuatu walaupun terkadang akal manusia tidak dapat menjangkau karena keterbatasanya. Kita wajib mengimaninya sebagai ketetapan yang membawa hikmah, kebaikan dan maslahat.

Hikmah Haid

Ibnu Qudamah v menjelaskan hikmah haid bagi wanita. Beliau berkata, “Haid, darah yang mengucur dari rahim wanita baligh, nantinya akan menjadi darah kebiasaaan yang keluar pada waktu tertentu. Allah tetapkan hal ini demi sebuah hikmah bagi tumbuh kembang janin (dalam perut). Tatkala seorang wanita hamil, darah tesebut dengan ijin Allah berubah menjadi asupan gizi baginya. Oleh karenanya wanita hamil tidak mengalami haid. Dan tatkala masa bayi menyusui, Allah membalikkan darah tadi dengan hikmah-Nya menjadi air susu (ASI), sehingga bayi mendapatkan asupan gizi darinya. Oleh karenanya, hanya sedikit wanita menyusui yang mengalami haid. Tatkala wanita tidak lagi hamil dan menyusui, darah tersebut tetap berada di rahim tidak mengalami perubahan kemudian keluar seperti biasanya setiap bulan.” (Al Mughni, 1/188)


Pengertian Haid

1. Ditinjau dari sisi bahasa. Haid berarti sailaanu ( ُسَيْلاَن) yaitu aliran. (Lisanul Arab, 7/142)
Jauhari berkata dalam Ash Shihaah, “Kata kerja dari haidh adalah hadha – yahidhu. Masdarnya bisa haidh, bisa mahidh. Sedangkan isim failnya bisa ha-idh, bisa juga ha-idhah.” (Majalah Al Buhuts Al Islamiyyah)

2. Ditinjau dari istilah syar’i
Para ulama fikih dari empat madzab berbeda-beda dalam mendefinisikan kata haid. Meskipun demikian, definisi yang mereka sampaikan saling berdekatan. Definisi paling lengkap dinyatakan para ulama madzab Hanbali. Mereka mendefinisikan, “Haid adalah darah kebiasaan yang keluar saat kondisi sehat, bukan karena persalinan, keluar dari dalam rahim. Darah ini menjadi kebiasaan wanita yang telah baligh, keluar di waktu tertentu.” (Kisyaful Qina’, 2/34)

Ciri-Ciri Darah Haid

Syaikh Abu Malik mengatakan, “Darah haid berwarna hitam, kental, memiliki bau yang tidak sedap yang mengalir dari tempat khusus wanita (rahim) di waktu-waktu yang telah diketahui.” (Shahih Fiqh Sunnah, I/206)
Dalilnya, sebuah hadits dari Aisyah x, beliau berkata, bahwasanya Fathimah binti Abi Hubaisy suatu ketika sedang istihadhah. Rasulullah ` bersabda kepadanya,
ك فَأَمْسِكِيْ عَ ِ ن الصﱠلاَةِ، فَإِذَا َ
ِض دَمٌ أَسْوَادٌ يـُعْرَفُ ، فَإِذَا كَانَ ذَال ِ
إِنﱠ دَمَ اﳊَْي
كَا َ ن الآخَرُ فتـَوَضﱠئِي وصَلِّي
“Darah haid adalah darah hitam sebagaimana kalian ketahui. Jika darahnya demikian, tinggalkanlah shalat, namun jika darahnya memiliki ciri-ciri lain (berarti darah istihadhah-pen), berwudhulah kemudian shalatlah.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i dishahihkan Ibnu Hibban. Al Hakim berkata hadits ini shahih berdasarkan syarat Muslim)

Perbedaan Darah Haid dengan Darah Istihadhah

Darah istihadhah secara fisik berbeda dengan darah haid. Darah istihadhah dapat kita ketahui dari tanda-tanda sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Fiqh Sunnah I/216, diantara tanda tersebut:

1. Darah istihadah mengalir diluar waktu haid dan waktu nifas.

2. Tidak bersambung dengan darah haid dan darah nifas.

3. Bukan darah kebiasaan dan bukan darah alamiah, akan tetapi darah istihadhah keluar karena urat yang terputus.

4. Darah istihadhah berwarna merah segar seperti pendarahan.

5. Tidak berhenti sampai sembuh uratnya. Berbeda dengan haid yang putus sendiri ketika masa siklus selesai.

Batasan Masa Haid

Pendapat yang kuat mengatakan bahwa masa haid tidak memiliki batasan minimal dan maksimal karena masa haid berkaitan dengan kebiasaan dan juga dikarenakan tidak terdapat hadits shahih yang datang dari Nabi ` yang menjelaskan batasan minimal dan maksimal. ( Shahih Fiqh Sunnah, I/206)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v menegaskan, “Diantara para ulama ada yang berpendapat bahwa masa haid maksimal 15 hari dan minimal 1 hari semisal pendapat Asy Syafi’i dan Ahmad. Ada pula yang berpendapat tidak ada batasan masa haid sama sekali semisal pendapat Malik. Mereka (ulama madzab Malikiyyah) beralasan tidak ada satupun hadits shahih dari Nabi ` tidak juga dari para sahabat beliau tentang masalah ini. Dan yang menjadi acuan masa haid wanita adalah kebiasaan. Allahu a’lam. (Majmu’ Fatawa, 21/623) Kesimpulan: Kapanpun seorang wanita mendapati darah dengan ciriciri darah haid yang keluar di rentang masa haid yang menjadi kebiasaannya maka darah tersebut adalah darah haid. Contoh kasus: Seorang wanita memiliki kebiasaan haid 7 atau 8 hari kemudian kebiasaan ini bertambah hingga satu atau dua hari, misalnya menjadi 9, 10 atau 11 hari maka pada masa itu dia tetap dalam kondisi haid, tidak diperbolehkan mengerjakan shalat. Demikian pula jika lama haid bulan berikutnya berkurang, ia wajib mandi setelah mendapati tanda suci. Yang terpenting bagi wanita haid adalah wujudnya darah haid. Selama melihat adanya darah haid, ia wajib meninggalkan shalat baik lama siklus haid sama dengan bulan-bulan sebelumnya, kurang ataupun lebih dari biasanya. (diringkas dari Risalah Fiddima’, hal. 37)

Amalan yang Haram Dilakukan Wanita Haid dengan Kesepakatan Ulama

1. Shalat
Para ulama sepakat wanita haid dan nifas diharamkan shalat baik shalat wajib ataupun shalat sunnah. Mereka juga sepakat kewajiban shalat gugur dan tidak ada kewajiban menggantinya ketika suci. (Al Majmu Linnawawi’, 2/383)

Hal ini berdasarkan hadits Abu Sa’id z beliau berkata, Nabi ` bersabda,
ك نـُقْصَانُ دِينِهَا َ
ِأَلَْي َ س إِذَا حَاضَ ْ ت ﱂَْ تُصَ ِ ّل وََ لا تَصُمْ؟ فَذَال
“Bukankah wanita haid tidak shalat dan tidak puasa? Demikianlah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari No. 1951 dan Muslim No. 80)

Dan hadits Mu’adzah bahwasanya ada seorang wanita bertanya kepada ‘Aisyah x, “Apakah perlu bagi kami, para wanita untuk mengganti shalat ketika suci?” Lalu ‘Aisyah x menjawab,
بِِ ه  ََُْمُر أَحَرُوْرِيﱠةٌ أَنْتِ ؟ كُنﱠا ﳔَِيْ ُ ض مَعَ النﱠﱯِ ِّ صَلﱠى ﷲُ عَلَيْهِ وَسَلﱠمَ فََ لا
“Apakah engkau wanita Haruriyyah (berfaham khawarijpen)? Dahulu kami mengalami haid ditengah-tengah Nabi ` namun beliau tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.” (HR. Bukhari No. 321 dan Muslim No. 265)

2. Puasa Para ulama sepakat wanita haid dan nifas tidak diperbolehkan berpuasa akan tetapi wajib mengganti puasa Ramadhan yang ditinggalkan. Berdasarkan hadits Aisyah x beliau berkata, ك َ
تـَعِْ ﲏ: اﳊَيْ ُ ض) فـَنـُؤْمَُ ر بِقَضَاءِ الصﱠوْمِ وََ لا نـُؤْمَُ ر بِقَضَاِ ء)
“Dahulu kami mengalami haid. Kami diperintahkan mengganti puasa dan tidak diperintah mengganti shalat.” (HR. Muslim No. 265)
ِكُنﱠا يُصِيـْبـُنَا ذَال
الصﱠ َلاِ ة

3. Jima’
Para imam sepakat akan haramnya bersetubuh dengan istri yang sedang haid atau nifas. (Majmu’ Fatawa, 21/624)
Allah Ta’ala telah mengharamkannya dalam Al Qur’an. Allah Ta’ala berfirman,
ض ِ
Sabda Nabi `, اِصْنـَعُوْا كُلﱠ شَيْ ٍ ئ إِﱠ لا النِّكَا َ ح
“Berbuatlah sesukamu kecuali jima.” (HR. Muslim No. 302)
Hadits ini menunjukkan bahwa yang terlarang hanyalah menikmati kemaluan istri (jima’). Adapun menikmati bagian tubuh yang lain selain kemaluan maka diperbolehkan. Inilah pendapat yang dipilih Ats Tsauri, Ahmad, Ishhaq, Ibnul Mundzir, An Nawawi dan ulama lainnya v. (Shahih Fiqh Sunnah, I/212)

Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah hadits Masruq tatkala beliau bertanya kepada Ibunda kaum mukminin, ‘Aisyahx,“Saya ingin bertanya sesuatu kepada Anda akan tetapi saya malu.” ‘Aisyah menasehatinya, “Sesungguhnya aku ini ibumu dan engkau adalah anakku.”
Lantas Masruq pun bertanya, “Apa yang boleh dilakukan seorang laki-laki pada istrinya yang sedang haid?” Jawab ‘Aisyah x , فـَرْجَهَا
فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ ِ ﰲ الْمَحِ ي
“Oleh sebab itu hendaknya kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh.” (QS. Al Baqarah: 222)
لَهُ كُلﱡ شَيْ ٍ ئ إِﱠ لا

kemaluan istrinya.” (Hadits diriwayatkan At Thabari dalam At Tafsir dengan sanad shahih)

4. Thawaf Para ulama sepakat wanita haid diharamkan thawaf (mengelilingi ka’bah) berdasarkan hadits ‘Aisyah x,
لْبـَيْتِ حَ ﱠ ﱴ تَطْهُرِي ِ ي مَايـَفْعَلُ اﳊَاجﱡ غَيـَْ ر أَنْ لاَ تَطُوِ ﰲ ْ
“Lakukanlah amalan seperti yang dilakukan orang yang berhaji kecuali thawaf di ka’bah sampai engkau suci.” (HR. Bukhari No. 1650)

5. Talak
Seorang suami diharamkan mentalak istri di saat haid. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ﱠ ن ِِأَيـﱡهَا النﱠﱯِ ﱡ إِذَا طَلﱠقْتُمُ النِّسَآءَ فَطَلِّقُوْهُنﱠ لِعِدﱠ َ
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (secara wajar).” (QS. At Thalaq : 1) Iddah adalah batas waktu menunggu bagi sang istri untuk memastikan bahwa ia tidak hamil setelah dicerai suaminya yaitu selama 3 quru’ (3 kali siklus haid) atau jika dicerai dalam kondisi hamil maka masa iddahnya sampai melahirkan. Sehingga waktu yang diperbolehkan bagi suami untuk mentalak istrinya yaitu pada saat:

1. Istri sedang hamil. Jika istri sedang hamil maka masa iddahnya jelas yaitu sampai melahirkan.

2. Mencerai istri di masa suci (masa di luar haid) dan tidak ada hubungan badan selama masa suci tersebut. Jika cerai dijatuhkan di masa suci namun dilakukan jima’ pada masa suci tersebut maka akan ada ketidakjelasan, apakah si istri hamil ataukah tidak karena hubungan badan yang dilakukannya tersebut. Jika hamil, iddahnya dengan melahirkan dan jika tidak hamil, iddahnya dengan 3 kali haid. Selama belum bisa dipastikan jenis iddahnya maka suami diharamkan menjatuhkan talak pada istrinya sampai perkaranya benar-benar jelas. (diringkas dari Risalah Fiddima’, hal. 1920)

3. Istri sedang haid tapi sama sekali belum pernah disetubuhi. Tatkala kondisi seperti ini, tidak ada iddah bagi istri. Misalnya pengantin baru yang bercerai.

Bagaimana jika talak dijatuhkan pada masa haid?

Seorang suami yang mentalak istrinya di saat haid maka si istri tidak dapat menghadapi iddahnya karena masa haid di saat jatuh talak tidak dianggap sebagai iddah dan nantinya si istri akan menghadapi masa iddah lebih lama lagi. Inilah yang disebut talak bid’ah, talak yang tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya `. Ibnu Qudamah v menyatakan, “Adapun yang terlarang dalam syari’at adalah mentalak istri di saat haid atau mentalaknya di masa suci akan tetapi pernah dilakukan jima’ di rentang masa suci tersebut. Para ulama di berbagai penjuru negeri dan di setiap generasi bersepakat akan haramnya perbuatan ini. Inilah yang disebut talak bid’ah karena berarti si suami telah menyelisihi sunnah dan meninggalkan perintah Allah Ta’ala dan rasul-Nya `.” (Al Mughni, 7/277) Dalil lain yang menunjukkan akan haramnya cerai di saat istri haid adalah sebuah hadits dari Ibnu Umar c tatkala beliau menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Sebagai seorang bapak yang bertanggung jawab terhadap anaknya, Umar zmengadukan hal ini kepada Nabi `. Maka Nabi ` marah seraya bersabda,

ُمُرْه
ﱠُ أَ ْ نأَْم َس َ ك بـَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلﱠقَ قـَبْلَ أَنْ ﳝََسﱠ ، فَتِْل َ ك الْعِدﱠةُ الﱠِ ﱵ أَمَرَ ا
ُيُطَلﱠقَ ﳍََا النِّسَاء
“Suruh ia rujuk pada istrinya kemudian mempertahankannya sampai ia suci lalu haid lalu suci lagi. Setelah itu, jika ia mau, ia dapat mempertahankannya atau jika ia mau, ia boleh menceraikannya sebelum disetubuhi. Karena demikianlah iddah yang diperintahkan Allah dalam menceraikan istri.” (HR. Bukhari No. 4954)
Amalah yang Boleh Dilakukan Wanita Haid

1. Membaca Al Qur’an
Pendapat terkuat dikalangan para ulama adalah diperbolehkan bagi seorang yang berhadas besar (seperti junub haid dan nifas) ataupun orang yang berhadas kecil untuk membaca Al Qur’an tanpa
menyentuh mushaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menegaskan, “Pendapat ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan pendapat masyhur dikalangan madzab Syafi’i dan Ahmad.” (Majmu’, 21/459)
Hal ini berdasarkan beberapa dalil berikut:
Tidak adanya dalil shahih dari Nabi ` yang melarang orang yang berhadas untuk membaca Al Qur’an. Semua hadits yang menyebutkan larangan diatas adalah hadits lemah sehingga tidak bisa dijadikan sandaran.
Nabi ` memerintahkan ‘Aisyah xtatkala beliau sedang haid, ت ِ
لبَي ِ اِفـْعَلِى مَايـَفْعَلُ اﳊَاجﱡ غَيـَْ ر أَ ْ ن تَطُوِْ ﰱ

“Lakukanlah apa saja yang dilakukan orang haji kecuali tawwaf di Ka’bah.” (HR. Bukhari No. 650)
Suatu yang diketahui bersama bahwa orang yang haji itu pasti berdzikir dan juga membaca Al Qur’an. (Shahih Fiqih Sunnah, 1/146)

2. Dzikir dan doa Terdapat hadits shahih dari Aisyah x, أَحْيَانِِ ه
أَ ﱠ ن النﱠﱯِ ﱠ صَلﱠى ﷲُ عَلَيْهِ وَسَلﱠمَ كَا َ ن يَذْكُرُﷲَ عَلَى كُ ِ ّل
“Bahwasanya Nabi ` berdzikir kepada Allah di setiap keadaan.” (HR. Muslim No. 373) Juga adanya perintah Nabi kepada para wanita haid untuk keluar di hari Idul Fitri,
فـَيَكُنﱠ خَلْفَ النﱠا ِ س فـَيُكَﱪِّْ َ ن بِتَكْبِﲑِْهمْ وَيَدْعُوْ َ ن بِدُعَائِهِ ْ م
“Hendaknya mereka para wanita berada dibelakang orang-orang (yang sedang shalat Id) kemudian bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa dengan doa mereka.” (HR. Bukhari No. 971 dan Muslim No. 890) Dalil-dalil diatas menunjukkan wanita haid diperbolehkan untuk berdoa dan berdzikir.

3. Mendatangi majelis ilmu yang diadakan di tempat selain masjid.
Wanita haid diperbolehkan mendatangi majelis ilmu atau majelis tahhfidzul Qur’an yang diadakan di rumah, sekolah dan tempat lainnya selain masjid. Sebagian ulama berpendapat wanita haid tidak diperbolehkan menetap di masjid. Keluar dari khilaf ulama adalah bentuk kehatihatian. Allahu a’lam.

4. Sujud tilawah
Wanita haid diperbolehkan sujud tilawah, yaitu sujud ketika membaca ayat sajadah berdasarkan dalil shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari No. 4862 bahwasanya suatu ketika Nabi ` membaca surat An Najm kemudian beliau sujud tilawah sementara kaum muslimin, orang musyrik dari golongan jin dan manusia ikut bersujud.
Sujud tilawah tidaklah sama dengan sujud ketika shalat. Pada sujud tilawah tidak disyaratkan bersuci terlebih dahulu. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/214).

5. Bercengkrama dengan suami selain jima’. Wanita haid boleh bercengkrama dengan suaminya selama bukan jima’ seperti makan minum bersama suami, melayani suami, tidur bersama suami dalam satu selimut, dll. Dari ‘Aisyah xbeliau berkata,
َوِلُهُ النﱠﱯِ ﱠ صَلﱠى ﷲُ عَلَيْهِ وَسَلﱠمَ فـَيَضَعُ فَاَ هُحَائِضٌ ﰒُﱠ أ َكُنْتُ أَ ْ شرَ ُ ب وَأ
َُوِلُهُ النﱠﱯِ ﱠ صَلﱠى ﷲُحَائِضٌ ﰒُﱠ أ ََالعِرْ َ ق وَأ
ع ِ ﱠ ﰲ ٍ
وَأَتـَعَرﱠ ُ ق
ض ِ
,عَلَى مَوْضِعٍ ﰲِ ﱠ فـَيَشْرَ ُ ب
عَلَيْهِ وَسَلﱠمَ فـَيَضَعُ فَاهَ عَلَى مَ ْو
“Aku pernah minum sementara aku sedang haid kemudian aku serahkan (minman tersebut) kepada Nabi `. Beliau pun meletakkan mulutnya ditempat aku minum kemudian beliau meminumnya. Aku menggigit daging dengan gigiku sementara aku sedang haid kemudian aku menyerahkannya kepada Nabi lalu beliau meletakkan mulutnya di bekas gigitanku.” (HR. Muslim No. 300)
Dari ‘Aisyah x, beliau berkata, حَائَ ٌ ض ََس رَسُوْلِ ﷲِ صَلﱠى ﷲُ عَلَيْهِ وَسَلﱠمَ وَأ َ
ْلُ رَأ ِ
كُنْتُ أُرَ ّج
“Aku menyisir rambut Nabi ` sementara aku sedang haid.” (HR. Bukhari No. 295 dan Muslim No. 297)

Dari Ummu Salamah xbeliau berkata, ي ْ
مَعَ النﱠِِ ّﱯ مُضْطَجِعَةٌ إِذْ حِضْتُ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَْي ِض  ََبـَْ َ ﲔ أ
قَا َ ل أَنـْفَسْتِ ؟ قـُْل ُ ت نـَعَمْ فَدَعَاﱐِ ْ فَاضْطَجَعْتُ َ معَهُ ِ ﰲ اﳋَمِيـْلَِ ة
“Suatu ketika aku berbaring bersama Nabi dalam satu kain selimut. Tiba-tiba aku mengalami haid. Aku pun keluar diam-diam kemudian memakai pakaian haidku. Beliau ` bertanya, ‘Apakah engkau sedang haid?’, ‘Benar.’ Jawabku. Lalu beliau memanggilku. Aku pun kembali berbaring bersama beliau dalam satu selimut.” (HR. Bukhari No. 298 dan Muslim No. 296) 6. Memotong kuku dan rambut Wanita haid diperbolehkan memotong kuku dan rambut. Tidak ada kewajiban untuk mengumpulkan bekas potongannya. Tidak ada dalil yang melarang wanita haid memotong kuku dan memerintahkan untuk mengumpulkan bekas potongannya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah v pernah ditanya tentang permasalahan ini dan beliau menjawab, “Terdapat hadits shahih dari Nabi `, diriwayatkan oleh Hudzaifah dan dari Abu Hurairah c, tatkala Beliau ` menjelaskan tentang seorang yang junub, beliau mengatakan,
إِ ﱠ ن ؤِْم َ ن َ لا يـَنْجُ ُ س
اﳌ
ُ
“Jasad seorang mukmin tidaklah najis.” Dalam Shahih Al Hakim disebutkan,
ا وََ لا مَيـْتًاحَي
“Baik hidup ataupun saat mati.”

Saya tidak mengetahui dalil syar’i yang memakruhkan potong rambut dan kuku saat junub (ataupun saat haid-pen). Bahkan sebaliknya Nabi
` bersabda kepada orang yang baru masuk Islam, عَنْكَ شَعرَ الكُفرِ وَاختَِ ْ ﱳ
أَلِْ ق
“Buanglah rambut yang menyertaimu selama masa kekafiran darimu dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud No. 356 dan di nilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Irwaul Ghalil (1/120))
Kemudian setelah itu beliau memerintahkan orang tadi untuk mandi. Beliau tidak memerintahkan agar khitan dan memotong rambut ditunda setelah mandi.
Dari sabda beliau ini menunjukkan kedua hal tersebut boleh dilakukan. Mandi dulu atau potong rambut dulu.
Demikian juga wanita haid diperintahkann untuk menyisir rambut saat mandi sementara sisiran rambut itu bisa merontokkan rambut.” (Majmu’ Fatawa, 21/120-121) Yang dimaksud Syaikhul Islam dengan menyisir rambut bagi wanita haid adalah hadits ‘Aisyah xsaat menunaikan haji Wada’. Beliau mengalami haid. Maka Nabi ` bersabda kepada Aisyah x,
ِﳊَْ ِ ّج وَدَعِي الْعُمْرََ ة اُنـْقُضِي رَأْ َس ِ ك وَامْتَ ِ شطِي وَأَهِلِّي
“Urailah kepangan rambutmu dan bersisirlah, mulailah untuk ibadah haji dan tinggalkan ibadah umrah.” (HR. Bukhari No. 1556 dan Muslim No. 1211)
Para ulama syafi’iyyah mengatakan dalam Tuhfatul Muhtaj (4/56), dalil dari madzab ini menunjukkan wanita haid boleh melakukannya (yaitu potong kuku, mencukur bulu kemaluan dan mencabut bulu ketiak).

Amalan Wanita Haid yang Diperselisihkan Ulama

1. Menyentuh mushaf Diantara dalil yang dijadikan sandaran dalam masalah menyentuh Al Qur’an adalah: Firman Allah Ta’ala,
. إِنﱠهُ لَقُرْآنٌ كَرِﱘٌ .ﰲِ كِتَا ٍ ب مﱠكْنُوٍ ن.ﱠ لا ﳝََسﱡهُ إِﱠ لا الْمُطَهﱠرُوَ ن
“Sesungguhnya Al Qur’an adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (di Lauhul Mahfudz). Tidak menyentuhnya kecuali orang yang disucikan.” (QS. Al Waqi’ah: 7779)
Mayoritas ulama v bependapat orang yang berhadas (baik hadas kecil ataupun besar) tidak diperbolehkan menyentuh Al Qur’an berdalil dengan ayat diatas. Mereka menanfsirkan ayat tersebut dengan makna, “Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang bersuci (yaitu suci dari hadas).” Saudariku, mari kita simak pendapat lain tentang masalah ini. Para ulama yang membolehkan orang berhadas menyentuh mushaf memberikan penjelasan yang tepat tentang penafsiran ayat di atas, yaitu: “Tidak menyentuhnya (yaitu kitab yang tersimpan di lauhul mahfudz) kecuali al muthahharun (orang yang disucikan yaitu malaikat).” Demikianlah tafsir yang dijelaskan para mufassirin diantaranya Ibnu Abbas, Anas, Mujahid, Ikrimah, Sa’id Ibnu Jubair, Ad Dhahak dll. (Tafsir Ibni Katsir) Penafsiran ini senada dengan firman Allah Ta’ala dalam surat Abasa,
. َِيْدِي سَفَرٍَ ة .كِرَاٍ م بـَرَرٍَ ة . ﰲ صُ ُح ٍ ف مُكَرﱠَمٍ ة . مَرْفُوعَةٍ مُطَهﱠرٍَ ة ِ

“Di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang tinggi lagi disucikan, ditangan para penulis (malaikat), yang mulia lagi berbakti.” (QS. Abasa: 13-16)
Demikianlah tafsir yang sangat jeli yang disampaikan Imam Malik dalam kitab Muwaththa’ sebagaimana dinukil oleh Al Albani dalam Silsilah Huda wan Nuur.
Ibnul Qayyim v menjelaskan sejumlah kekeliruan pendapat yang melarang menyentuh mushaf Al Qur’an bagi orang yang berhadas berdalil dengan surat Al Waqi’ah: 77-79 - Bahwsanya surat Al Waqi’ah adalah surat makiyyah yaitu surat yang turun di kota Mekkah (sebelum hijrah). Dalam surat-surat makiyyah mementingkan permasalahan pokok agama (ushuluddin) diantaranya penetapan tentang tauhid, kehidupan akhirat, kenabian, dll. Adapun permasalahan hukum-hukum syariat (seperti
thaharah-pen) disebutkan dalam Surat
Madaniyyah (surat yang turun di kota Madinah setelah hijrah). - Al Qur’an belum berbentuk mushaf tatkala turun ayat ini, begitu
pula selama hidup Rasulullah ` , Al Qur’an belum berbentuk mushaf. Al Qur’an mulai dibukukan ketika kepemimpinan khalifah Abu Bakar z.
- Al maknun dalam ayat diatas berarti tersimpan, tertutupi dari pandangan, tidak dijamah oleh tangan manusia. Demikianlah makna yang disampaikan para salaf.
Illal muthahharuun artinya ‘kecuali orang-orang yang disucikan’. Dalam ayat tersebut tidak dikatakan al mutathahhiruun (orang yang bersuci). Kalau seandainya yang dimaksudkan adalah orang yang berhadas dilarang menyentuh Al Qur’an maka lafalnya tentu berbunyi al mutathahhirun. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, ﱠَ ﳛُِبﱡ التـﱠوﱠابِﲔَ وَﳛُِبﱡ الْمُتَطَهِّرِي َ نا
إِ ﱠ ن

“Sesungghnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci.” (QS. Al Baqarah: 222)
Mutathahhirun artinya orang yang bersuci dengan berwudhu. Adapun muthahharun artinya orang yang disucikan oleh Dzat yang lain (malaikat yang disucikan oleh Allah Ta’ala). (At Tibyan Fi Aqsamil Qur’an, 1/140)
Dalil selanjutnya yang dijadikan sandaran para ulama yang melarang menyentuh mushaf bagi orang yang sedang hadas adalah sebuah hadits dari Amr Ibn Hazm bahwasanya Nabi ` menulis surat kepada penduduk Yaman. Di dalam surat tersebut tertulis,
الْقُرْآ َ ن إِﱠ لا ٌ ر
طَا ِه
“Tidak menyentuh Al Qur’an kecuali orang yang suci.”
Sebagian ulama menilai hadits ini lemah tidak bisa dijadikan dalil. Akan tetapi ulama hadits lain semisal Syaikh Al Albani menilainya shahih dalam Al Irwa’ (1/158). Taruhlah seandainya hadits ini shahih, maka lafadz “thahir” adalah lafadz yang memiliki banyak makna (polisemi). Kata thahir memiliki sejumlah arti diantaranya: - orang mukmin - orang yang suci dari hadas besar - orang yang suci dari hadas kecil - orang yang tubuhnya suci dari najis
Makna thahir tidak boleh ditentukan dengan menunjuk salah satu makna kecuali dengan adanya indikasi yang kuat (qarinah).
Syaikh Al Albani v menegaskan, “Makna yang dekat dengan kebenaran –wallahu a’lam bahwasanya maksud thahir yang disebutkan dalam hadits adalah orang mukmin baik yang sedang tertimpa hadas besar, kecil, haid atau tubuhnya terkena najis. Berdasarkan sabda Nabi `,

يلاَ َ ـْ ن ُ ج ْ س
لاَ ْ ُ مْ ؤِ م ُ ن
“Orang mukmin itu tidak najis.” (Muttafaq Alaih) Maksud hadits di atas agar orang-orang musyrik tidak menyentuh Al Qur’an sebagaimana disebutkan dalam hadits,
لْقُرْآ ِ ن إَِ ﱃ أَْر ِ ض الْعَدْ ِ و ِ نـَهَى عَ ِ ن السﱠفَ ِ ر
“Beliau ` melarang safar ke negeri kafir dengan membawa Al Qur’an.” (Hadits shahih Muttafaq ’alaih). (Tamamul Minnah, hal. 107)
Kesimpulan: berdasarkan uraian diatas, diperbolehkan bagi orang yang berhadas menyentuh mushaf. Meskipun demikian, menyentuh mushaf dalam keadaan suci tentu lebih utama dan lebih mengagungkan Al Qur’an. Allahu a’lam Bagi saudari-saudari kami yang ingin berhati-hati dalam memilih pendapat dan ingin keluar dari khilaf ulama tentang memegang mushaf ini, bisa menempuh solusi berikut: - Membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf namun dengan memakai sarung tangan agar tidak bersentuhan langsung dengan mushaf.
- Membaca Al Qu’an dengan melihat HP atau tablet yang terdapat aplikasi Al Qur’an. Memegang HP yang terinstal apliaksi Al Qur’an tidak sama dengan memegang mushaf. Adapun pahalanya sama dengan membaca sambil melihat mushaf. Pendapat inilah yang disampaikan Syaikh Ali Farkus hafizahullah yang dirilis disitus resmi beliau. (telah diterjemahkan di: http://wanitasalihah.com/pahalamembacaaplikasialqurandismart phone/)
- Membaca Al Qur’an dengan melihat buku-buku tafsir. Jumhur ulama berpendapat buku tafsir bukanlah mushaf karena di dalam buku tersebut tercampur tulisan selain ayat Al Qur’an. Bahkan tulisan tafsir lebih banyak daripada ayat Al Qur’an itu sendiri. Dalam Mausu’ah Al Fiqhiyyah (13/97) dinyatakan, “Jumhur ulama berpendapat orang yang tertimpa hadas diperbolehkan menyentuh, membawa dan mempelajari buku-buku tafsir meskipun di dalamnya terdapat ayatayat Al Qur’an.”
2. Berada di dalam masjid Jumhur ulama dari imam empat madzab berpendapat bahwa orang junub, haid dan nifas diharamkan berdiam diri di dalam masjid. Diantara dalil yang mereka bawakan, hadits Ummu ‘Athiyahx,
ﳜَْرُجُ الْعَوَاتِقُ وَذَوَا ُ ت اﳋُْدُوِ ر(وَفِ ِ هْي ) وَيـَعْتَزُِ ل اﳊُْيﱠ ُ ض الْمُصَلﱠى
“Agar para gadis, perwan dan wanita haid keluar… sementara wanita haid menjauh dari tempat shalat.” (HR. Bukhari No. 324 dan Muslim No. 890)
Jika hadits ini melarang wanita haid menjauh dari mushalla (tempat shalat) maka tentu larangan menjauh dari masjid lebih besar lagi.
Saudariku, di sana juga terdapat pendapat lain yang tak kalah kuat yang mengatakan tidak ada nash shahih (valid) dan sharih (jelas) yang melarang wanita haid dan nifas untuk tinggal di dalam masjid. Diantara ulama yang menyatakan demikian adalah ulama dzahiriy. Mereka menyanggah pendalilan di atas: Yang dimaksudkan mushalla dalam hadits adalah shalat itu sendiri. Karena dahulu Nabi ` dan para sahabat melaksanakan shalat Id di tanah lapang bukan di masjid. Dan setiap tanah adalah masjid sehingga tidak boleh mengecualikan masjid-masjid tertentu dan membolehkan masjid yang lain. (Shahih Fiqh Sunnah, 1/185) Redaksi lain dengan hadits yang sama, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya,
فَأَمّا اﳊُيﱠضُ فـَيـَعْتَزِلَنﱠ الصﱠلاََ ة
“Adapun para wanita haid menjauh dari shalat.”

Kesimpulan: Barang siapa yang mengatakan wanita haid dilarang tinggal di masjid maka telah ada ulama terdahulu yang mengatakan demikian. Dan barang siapa yang mengatakan wanita haid boleh tingal di masjid, juga telah ada ulama salaf yang berpendapat demikian. Penyusun berharap agar para pembaca tidak berhenti mempelajari masalah ini sampai di sini, akan tetapi berusaha memperdalam dalil-dalil yang disampaikan tiap-tiap pendapat.
Cara Menentukan Haid Telah Berhenti Para ulama menegaskan bahwa tanda berhenti haid ada dua, yaitu:

1. Jufuf (kering), yaitu jika diletakkan kain atau kapas di kemaluan wanita, tidak akan dijumpai darah. Kapas tetap kering dan bersih. (Shahih Fiqh Sunnah 1/207, SyarhMumti’ 1/433, Mukhtashar Khaliil, 2/502)

2. Qashshatul Baidha, yaitu cairan putih seperti kapur yang keluar dari kemaluan wanita. Ada yang berpendapat qashshah itu mirip adonan (tepung). Pendapat lain mengatakan qashshah adalah cairan seperti benang putih. Diriwayatkan dari Ibnul Qasim bahwa qashshah seperti air kencing dan diriwayatkan dari Ali, cairan itu seperti mani. Sebagian ulama Malikiyyah menjelaskan bahwa bisa jadi cirinya berbeda melihat kondisi tiap wanita dan usianya, iklim, cuaca, dan lingkungan tempat tinggal. Hanya saja, disebutkan sebagian wanita bahwa qashshah itu cairan yang mirip mani. (Syarh Mukhtashar Khalil, 2/502)

Tanda suci mana yang harus dipakai?
Pada umumnya tanda seorang wanita telah selesai dari haid adalah dengan keluarnya cairan putih (qashshatul baidha) kecuali jika kebiasaannya tidak keluar cairan putih maka yang menjadi acuan adalah jufuf (kering).
Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Alqamah. Beliau berkata, “Dahulu ada beberapa wanita menemui ibunda kaum mukminin, ‘Aisyahxdengan membawa kapas yang terdapat cairan kekuningan (shufrah) yang berasal dari darah haid. Mereka bertanya tentang hukum shalat tatkala keluar cairan tersebut, Beliau
xmenjawab, .ك الطﱡهْ َ ر مِنَ اﳊَْيْضَ ِ ة َ
ِلا تـَعْجَلْنَ حَ ﱠ ﱴ تـَرَيْنَ الْقَصﱠةَ الْبـَْ يضَاءَ تُرِيدُ بِذَل
‘Janganlah kalian tergesa-gesa (suci) sampai kalian melihat qashshatul baidha’ (cairan putih) sebagai tanda suci dari haid.’” (HR. Abu Dawud 307, An Nasai 1/186, Ibnu Majah 647) Wanita yang tidak mengalami keluarnya cairan putih tatkala haid berhenti maka tanda sucinya dengan jufuf. Keterangan ini dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin v. Beliau mengatakan, “Suatu yang diketahui oleh para wanita adalah keluarnya cairan putih ketika haid telah berhenti. Akan tetapi sebagian wanita tidak keluar cairan ini. Jika demikian maka tatkala itu ia tetap dalam kondisi haid karena tidak melihat cairan putih. Dan tanda suci wanita tersebut adalah dengan cara meletakkan kapas putih di kemaluannya sementara kapas tidak berubah (tetap kering dan bersih).” (Syarhul Mumti’ 1/433)
Tanda suci wanita tergantung kebiasaannya Madzab Malikiyyah merinci kebiasaan suci dengan jufuf dan cairan putih pada diri seorang wanita dengan penjelasan yang gamblang. Walhamdulillah.

Al Khurasyi berkata, “Tanda suci dengan cairan putih lebih menghilangkan keraguan dan lebih meyakinkan bahwa itu telah suci dari pada tanda jufuf karena jika telah keluar cairan putih maka tidak akan keluar darah lagi. Adapun tanda suci jufuf terkadang masih keluar darah setelah tanda tersebut muncul. Ibnul Qasim berpendapat kepastian tanda suci dengan cairan putih tidak perlu diragukan lagi bagi seorang wanita yang memiliki kebiasaan suci dengan cairan putih. Bahkan tanda ini lebih meyakinkan dari pada jufuf bagi wanita yang memiliki kebiasaan tanda suci dengan cairan putih saja, atau wanita yang memiliki kebiasaan suci dengan cairan putih sekaligus jufuf atau wanita dengan kebiasaan suci dengan jufuf saja. Akan tetapi jika wanita yang memiliki kebiasaan suci dengan cairan putih saja atau keduaduanya (suci dengan cairan putih dan jufuf) melihat tanda jufuf, maka hendaknya dia menunggu cairan putih keluar sampai akhir waktu terpilih (yang menjadi kebiasaannya).” (Syarh Mukhtashar Khaliil 2/502)

Kesimpulan:

1. Jika wanita mempunyai kebiasaan suci dengan cairan putih mendapati tanda jufuf maka dia harus menunggu sampai keluar cairan putih sampai waktu terpilih yaitu sampai satu hari misalnya. Batas waktu satu hari ini merupakan pendapat Ibnu Utsaimin dan Ibnu Qudamah v. Beliau v menegaskan, “Dengan demikian, terputusnya darah selama kurang dari sehari
tidaklah dianggap sebagai suci.” (Al Mughni, 1/399)

2. Jika wanita dengan kebiasaan suci dengan jufuf lalu mendapati cairan putih maka tidak perlu menunggu jufuf. Namun jika pertama kali yang di lihat tanda jufuf maka tidak perlu menunggu cairan putih.

3. Jika wanita yang memiliki kebiasaan suci dengan kedua tanda tersebut lalu mendapati tanda jufuf keluar maka dia harus menunggu cairan putih sampai batas waktu terpilih (1 hari). Namun jika yang nampak pertama kali tanda cairan putih maka tidak perlu menunggu jufuf.

Bagaimana tanda berhenti dari nifas?

Saudariku, tanda suci wanita haid juga berlaku bagi wanita nifas. Tidak ada perbedaan. Asy Syaukani berkata dalam Nailul Authar (1/286), “Para ulama telah sepakat bahwasanya hukum nifas sama dengan haid dalam perkara yang dibolehkan, perkara yang dilarang, yang dibenci serta yang dianjurkan.” (Shahih Fiqh Sunnah, 1/216)
Flek Coklat atau Kekuningan di Masa Haid
Bagimana cara menentukan flek coklat atau kekuningan termasuk haid ataukah bukan? Berikut ini penjelasan Syaikh Shalih Al Munajjid hafidzahullah yang kami rangkum dari situs beliau:
Kondisi pertama: Flek coklat dan kekuningan keluar setelah darah haid (di akhir masa haid).
Flek coklat keruh dan kekuningan yang keluar setelah darah haid dan sebelum suci maka termasuk haid. Berdasarkan sebuah riwayat Malik dalam Al Muwaththa’ No. 130 dari Ummu ’Alqamah beliau berkata,
لدﱡرْجَةِ فِيهَا الْكُرْسُ ُ ف فِيِ ه ِ َكَا َ ن النِّسَاءُ يـَبـْعَثْ َ ن إَِ ﱃ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِﲔ
الصﱡفْرَةُ ِم ْ ن دَِ م اﳊَْيْضَةِ يَسْأَلْنـَهَا عَنْ الصﱠلاَ ةِ فـَتـَقُوُ ل ﳍَُﱠ ن َ لا تـَعْجَلْنَ حَ ﱠ ﱴ
ك الطﱡهْ َ ر مِنْ اﳊَْيْض َ
ِتـَرَيْنَ الْقَصﱠةَ الْبـَيْضَاءَ تُرِيدُ بِذَل
“Dahulu para wanita mengirimkan kepada ‘Aisyah, ibunda kaum mukmininxdengan membawa wadah yang berisi kapas yang terdapat flek kekuningan karena darah haid. Mereka bertanya hukum shalat ketika keluar flek tersebut. Maka ’Aisyah
xmenjawab untuk mereka, ‘Janganlah kalian tergesa-gesa sampai kalian melihat cairan putih sebagai tanda berhenti dari haid.’” (Hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani dalam Irwaul Ghalil No. 198) dan diriwayatkan Imam Bukhari secara mu’allaq (Kitabul Haid)
Kondisi kedua: Flek coklat yang keluar sebelum haid (di permulaan haid).
Jika flek ini:
- keluar di masa haid yang menjadi kebiasaannya atau keluar selang sebentar sebelum masa haid
- disertai rasa sakit dan nyeri haid - bersambung dengan darah haid, maksudnya setelah keluar flek coklat lalu keluar darah haid
maka flek ini bagian dari darah haid yang menjadi kebiasaannya. Wanita tersebut dilarang mengerjakan shalat dan puasa.
Demikian juga jika flek coklat keluar selama satu atau dua hari diiringi rasa sakit haid kemudian di hari ketiga baru keluar darah haid sebenarnya, maka seluruhnya dihitung sebagai haid.

Pendapat inilah yang dipilih Syaikh Ibn Baz v. Akan tetapi beliau hanya memberi syarat flek tersebut bersambung dengan darah haid saja. Beliau tidak mensyaratkan adanya rasa nyeri haid.
Flek tersebut termasuk haid karena flek coklat dan kekuningan termasuk salah satu warna-warna darah menurut pendapat mayoritas ulama pakar fikih. Haid adalah pecahnya dinding rahim yang terdapat darah dan kotoran didalamnya sehingga darah keluar dengan warna yang berbeda-beda dan berdegradasi. Dimulai dengan darah hitam pekat atau kehitam-hitaman kemudian memudar menjadi warna keruh kecoklatan atau kekuningan. Dan terkadang yang terjadi sebaliknya. Darah haid dimulai dengan warna kekuningan atau keruh kecoklatan kemudian keluar darah hitam.

Hal ini selaras dengan hadits ’Aisyahxpada poin sebelumnya yang menunjukkan bahwa cairan kekuningan dan keruh sebelum suci (di akhir masa haid) termasuk haid. Tidak ada perbedaan antara flek yang keluar di akhir masa haid setelah keluarnya darah dan flek yang keluar di permulaan haid sebelum keluarnya darah yang disertai tanda haid seperti nyeri haid. Jika ada yang berkata tidak ada syarat kecuali hanya bersambung dengan darah haid (tanpa harus disertai tanda nyeri), sungguh ini juga merupakan pendapat yang kuat. Sebagaimana pendapat yang disampaikan Syaikh Ibnu Baz v dengan catatan flek tersebut keluar dimasa haid. Kondisi Ketiga: Flek coklat keruh dan flek kekuningan yang keluar setelah suci dari haid. Flek yang keluar setelah suci dari haid tidak lagi dianggap sebagai haid. Berdasarkan hadits Ummu ’Athiyah x,
كُنﱠا لاَ نـَعُ ﱡ د الْكُدْرَةَ وَالصُفْرَةَ بـَعْ َ د الطﱡهْرِ شَيـْئًا
“Dahulu kami sama sekali tidak menganggap sebagai haid flek keruh dan kekuningan yang keluar setelah suci.” (HR. Bukhari No. 320, Abu Dawud No. 307, An Nasai No. 368 dan Ibnu Majah No. 647 dan lafal hadits diatas milik Abu Dawud)
Mandi Haid
Hukum mandi haid Mandi haid hukumnya wajib bagi wanita yang telah suci dari haid.
Berdasarkan Haditst ‘Aisyah xbahwasanya Nabi ` bersabda kepada Fathimah binti Abu Hubaisy,

إِذَا أَقـْبـَلَ ِ ت اﳊَْيْضَةُ فَدَعِي الصﱠلاَةَ وَإِذَا أَدْبـََر ْ ت فَاغْتَسِلِى وَصَلِّي
“Jika datang haid, tinggalkanlah shalat dan jika haid berakhir, mandilah dan shalatlah.” (HR. Bukhari No. 324)
Syarat sah mandi Syarat sah mandi hanya ada satu yaitu niat. Mandi haid, mandi janabah, mandi Jum’at (bagi laki-laki) dan mandi jenis lainnya adalah ibadah. Dan ibadah tidak akan diterima Allah kecuali dengan niat yang benar. Niat adalah keinginan hati yang kuat untuk mandi karena melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan Rasulullah `. Allah Ta’ala berfirman,
ﱠَ ﳐُْلِصِﲔَ لَهُ الدِّي َ نوَمَا أُمِرُوا إِﱠ لا لِيـَعْبُدُوا ا
“Padahal mereka tidaklah disuruh kecuali supaya mengikhlaskan ketaatan kepadaNya dalam menjalankan agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5)

Ikhlas adalah niat untuk medekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan maksud untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban seorang hamba. Sabda Nabi `,
لنِّيﱠا ِ ت ِ ُإِﳕﱠَا الأْ َعْمَال
“Sesungguhnya setiap amal tergantung niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adakah lafal untuk niat mandi?
Saudariku yang dirahmati Allah Ta’ala, perlu diperhatikan bahwa niat adalah amalan hati bukan amalan lisan. Sehingga niat tidak perlu dilafalkan, misalnya “Nawaitu ghusla lirof’il hadatsil akbari lillahi ta’ala” (saya berniat untuk mandi dalam rangka membersihkan hadas besar semata-mata karena Allah ta’ala). Ini semua tidak perlu karena tidak ada dalilnya dari Nabi `. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Tidak disunnahkan melafalkan niat, inilah pendapat yang benar. Bahkan melafalkan niat adalah bentuk kelemahan pada agama dan akal. Dalam perkara agama, hal ini karena melafalkan niat termasuk bid’ah. Adapun pada akal, hal ini karena sama halnya kondisi orang yang berniat ketika akan makan dengan mengucapkan, ‘Saya berniat meletakkan tanganku di bejana ini untuk mengambil sesuap darinya kemudian kuletakkan di mulutku lalu aku mengunyahnya kemudian aku telan agar aku kenyang. Jelas ini bentuk kebodohan.” (Fatawa Al Kubra, 1/215)

Adakah dzikir dan doa yang disyaritkan ketika mandi?

Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullahu tatkala ditanya tentang masalah ini beliau mengatakan, “Hendaknya seseorang memulai mandi dengan membaca “bismillah” dan setelah mandi membaca:
. ُأًشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاﱠ ﷲُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنﱠ ﳏَُمﱠدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه
اَللﱠهُمﱠ اجْعَلِْ ﲏ مِنَ التـﱠوﱠابِﲔْ َ وَاجْعَلِْ ﲏ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْ َ ن
“Asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syarika lahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh. Allahummaj’alni minattawwaabiina waj’alnii minal mutathahhiriin”. “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Ya Allah jadikan aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan termasuk orang-orang yang menyucikan diri.” Karena apa yang dibaca ketika mandi itu sama dengan yang dibaca ketika wudhu.” (http://www.alfawzan.af.org.sa/node/7712)
Rukun mandi haid
Rukun mandi yaitu membasahi suluruh tubuh dengan air. Hakekat mandi sejatinya meratakan air ke seluruh tubuh hingga sampai rambut dan kulit berdasarkan hadits ‘Aisyah x,
ﰒُﱠ يَفِيْضُ عَلَى جَسَدِهِ كُلِِّ ه
“Kemudian beliau meratakan air ke seluruh tubuh beliau.” (HR. Bukhari No. 248 dan Muslim No. 316)
Tata cara mandi haid
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin v dalam Fatawa Arkanil Islam hal. 248 menjelaskan bahwa tata cara mandi ada dua jenis:
Cara mandi yang wajib. Yaitu dengan meratakan air ke seluruh tubuh termasuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam lubang hidung dengan nafas lalu menghembuskan keluar-pen). Tatkala seseorang telah meratakan air ke seluruh tubuhnya dengan cara apapun (misalnya dengan menyelam, mandi dengan shower, dllpen) maka hadas besar telah terangkat darinya dan mandinya sah. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَإِن كُنتُمْ جُنـُبًا فَاطﱠهﱠرُْ وا
“Jika kamu junub mandilah”. (QS. Al Maidah: 6) Cara mandi yang sempurna. Yaitu mandi dengan menyempurnakan sunnah yang Rasululah ` ajarkan.

Tata cara mandi yang sempurna di dasarkan pada hadits-hadits berikut:
Hadits ‘Aisyah x, َا أُصُوْلَ شَعْرِهِ ﰒُﱠ يَ ُ ص ﱡ بِ
غْتَسَلَ مِنَ اﳉَْنَابَةِ بَدَأَ فـَغَسَلَ يَدَيْهِ ﰒُﱠ يـَتـَوَضﱠأُ كَمَا
ل ُ
ِأَ ﱠ ن النﱠﱯِ ﱠ ﷺ كَا َ ن إِذَا ا
ِّيـَتـَوَضﱠأُ لِلصﱠلاَةِ ﰒُﱠ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ ِ ﰲ الْمَاءِ فـَيُخَل
عَلَى َ رأْسِ هِ ثَلاَ َ ث غَُر ٍ ف بِيَدَيْهِ ﰒُﱠ يُفِيْضُ الْمَاءَ عَلَى جِ لْدِهِ كُلِِّ ه
“Bahwasnya Nabi ` jika beliau mandi junub beliau mulai dengan mencuci kedua tangannya kemudian berwudhu sebagaimana wudhu ketika shalat lalu beliau masukkan jari tangan ke dalam air dan menyela-nyelai pangkal rambut dengannya. Setelah itu beliau menuangkan air ke kepala tiga kali dengan cidukan kedua tangannya kemudian beliau meratakan air ke seluruh kulit beliau.” (HR. Bukhari No. 248 dan Muslim No. 316)
Hadits Maimunah xbeliau berkata,
ﰒُﱠ ،ًَوَضَعْتُ لِلنﱠﱯِ ِّ ﷺ مَاءً لِلْغُسْلِ ، (فَسَتـَرْتُهُ )، فـَغَسَلَ يَدَيْهِ مَرﱠتـَْ ِ ﲔ أَوْ ثَلا
ُفـَرْجَهُ وَمَا أَصَابَه
ِم َ ن
،َِﳊَْائِ ِ ط ( ﰒُﱠ غَسَلَهَا) فَضَمَضَ وَاسْتـَنْشَق ِْلأْ َْر ِ ض أَو ُالأْ َذَى، ﰒُﱠ دَلَ َ ك يَدَه
وَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَغَسَلَ رَأْسَهُ، ﰒُﱠ صَ ﱠ ب عَلَى جَسَدِهِ، ﰒُﱠ تـَنَحﱠى فـَغَسَ َ ل
قَدَمَيْهِ، فـَنَاوَلْتُهُ خِرْقَةً فـَقَا َ ل بِيَدِهِ هَكَذَا وَﱂَْ يُرِدْ َ ها
“Aku menyiapkan air mandi untuk Nabi ` (kemudian aku menutupinya). Beliau mencuci kedua tangannya dua atau tiga kali lalu beliau menuangkan air dengan tangan kanannya pada tangan kirinya kemudian beliau mencuci kemaluan (dalam riwayat lain mencuci kemaluan dan bagian yang terkena najis). Setelah itu, beliau menggosokkan tangannya ke lantai atau dinding (lalu mencuci tangannya) kemudian beliau kumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung dengan nafas lalu mengeluarkannya), membasuh wajahnya, kedua tangannya, dan kepalanya kemudian beliau ratakan air keseluruh tubuhnya. Kemudian beliau bergeser dari tempatnya semula lalu beliau mencuci kedua kakinya. Aku pun menyerahkan kain lap kepada beliau namun beliau menolak dan tidak menerimanya.” (HR. Bukhari No. 266 dan Muslim No. 317)
Suatu ketika Asma' bertanya kepada Nabi ` tentang mandi haid. Beliau ` menjawab,
َْخُذُ إِحْدَاكُ ﱠ ن مَاءَهَا وَسِدْرَتـَهَا فـَتَطَهﱠرُ فـَتُحْسِنُ الطﱡهُوْرَ ، ﰒُﱠ تَصُ ﱡ ب عَلَى
رَأْسِهَا فـَتَدْ لُكُهُ دَلْكًا شَدِيْ ً دا حَ ﱠ ﱴ تـَبـْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا، ﰒُﱠ تَصُ ﱡ ب عَلَيـْهَا
َْخُ ُ ذ فِرْصَةً ﳑَُ سﱠكَةً فـَتَطَهﱠُ ر . فـَقَالَتْ أَﲰَْاءُ وَكَيْ َ ف تَطَهﱠُ ر َا؟ الْ َ ماءَ، ﰒُﱠ
ِفـَقَالَ ، سُبْحَانَ ﷲِ تَطَهﱠرِيْ َ ن َا فـَقَالَ ْ ت عَائِشَةُ كَأَنـﱠهَا ﲣََْ في عَلَى ذَال
تـَتـَبﱠعِْ َ ﲔ َا أَثـَرَ الدﱠ َ م
ِ
ك َ
َاِ
ِ
ِ
"Hendaknya salah seorang diantara kalian mengambil air dan daun sidr (daun bidara) kemudian bersuci dan membaguskan bersucinya lalu dia tuangkan air di kepalanya kemudian menggosoknya dengan gosokan yang kuat hingga sampai ke akar rambut kemudian menyiramkan air ke seluruh tubuhnya lalu ia ambil kapas yang diberi misk (minyak wangi) kemudian ia gunakan untuk membersihkannya."
Asma' bertanya, "Bagaimana cara membersihkannya? Nabi ` menjawab, "Subhanallah.. ya dibersihkan." Kemudian 'Aisyah menjelaskan dengan suara lirih, "Engkau bersihkan bekas darah dengan kapas itu." (HR. Bukhari No. 314 dan Muslim No. 332)

Berdasarkan hadits-hadits diatas dan hadits lainnya dapat disimpulkan tata cara mandi yang sempurna sesuai sunnah Nabi ` sebagai berikut (Shahih Fiqh Sunnah, 1/172):

1. Mencuci tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana.

2. Mencuci kemaluan dan bagian lain yang terkena najis dengan tangan kiri. Adapun mencuci kemaluan dengan tangan kanan hukumnya makruh berdasarkan sabda Nabi `,
َْخُذْنَ ذَكَرَهُ بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يَسْتـَنْجِي بِيَمِيْنِهِ وَلاَ يـَتـَنـَﱠف ُ س ِ ﰲ أَحَدُكُمْ فََ لا
ل َ َ إِذَا
ء ِ َِْالإ
“Jika salah seorang diantara kalian kencing, janganlah memegang kemaluan dengan tangan kanannya. Janganlah cebok dengan tangan kanannya. Janganlah bernafas di dalam bejana (ketika minum)." (HR. Bukhari No. 154 dan Muslim No. 267)

3. Mencuci tangan kiri yang digunakan untuk membersihkan kemaluan dengan sabun atau yang lain seperti tanah. Dalam hadits Maimunah xdisebutkan dalam lafadz lain berbunyi,
ﰒُﱠ ضَرَ َ ب بِشِمَالِهِ الأْ َرْضَ ، فَدَلَ َ ك دَلْكًا شَدِيْدًا
"Kemudian beliau memukul tanah dengan tangan kirinya lalu menggosoknya dengan kuat." (HR. Muslim No. 317)

4. Berwudhu dengan sempurna sebagaimana wudhu ketika akan shalat. Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah dan Maimunah c di atas. Adapun membasuh kaki boleh diakhirkan setelah selesai mandi berdasarkan hadits Maimunah x. Dalam lafal Bukhari dinyatakan,
فـَلَمﱠا فـَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ غَسَلَ رِجْلَْيِ ه
“Tatkala beliau selesai mandi beliau membasuh kakinya." (HR. Bukhari No. 260)

5. Menuangkan air ke kepala tiga kali hingga membasahi pangkal rambut. Jika rambut dikepang atau diikat harus diurai terlebih dahulu agar rambut bisa digosok dengan kuat dan air sampai ke akar rambut berdasarkan hadits Asma' diatas,
ﰒُﱠ تَصُ ﱡ ب عَلَى رَأْسِهَا فـَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيْدًا حَ ﱠ ﱴ تـَبـْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا
"Lalu dia tuangkan air di kepalanya kemudian menggosoknya dengan gosokan yang kuat hingga sampai ke akar rambut.” Hadits ini menujukkan bahwa menuangkan air ke kepala saja tidaklah cukup sehingga ikatan rambut diurai. Nabi ` memerintahkan untuk menggosok rambut kepala dengan kuat tatkala mandi haid. Hal ini berbeda tatkala mandi junub, beliau tidak memerintahkan untuk menggosok dengan gosokan yang kuat. Dalam hadits yang sama, Nabi ` menjawab pertanyaan 'Asma tentang mandi junub. Beliau bersabda,
ﰒُﱠ تَصُ ﱡ ب عَلَى رَأْسِهَا فـَتَدْلُكُهُ حَ ﱠ ﱴ تـَبـْلُغَ شُؤُوْنَ رَأْسِهَا
"Lalu dia tuangkan air di kepalanya kemudian menggosoknya hingga sampai ke akar rambut”.
Dalil lain yang menunjukkan wajibanya mengurai kepangan rambut tatkala mandi haid adalah sebuah hadits 'Aisyah x tatkala beliau haid. Nabi ` memerintahkan kepada beliau,
اُنـْقُضِي شَعْرَكِ وَاغْتَسِ لِي
"Urailah kepangan rambutmu lalu mandilah." (Hadits dengan sanad shahih diriwayatkan Ibnu Majah No. 641)

6. Memulai bagian kanan kepala kemudian bagian kiri.

7. Menyelanyelai rambut.

8. Meratakan air ke seluruh tubuh dimulai dari bagian kanan kemudian bagian kiri.

9. Setelah mandi haid, disunnahkan mengusapkan kapas yang telah diberi minyak wangi pada bekas darah di kemaluan. Demikian juga disunnahkan memberi minyak wangi pada bagian tubuh lain yang terkena darah untuk menghilangkan bau tidak sedap. Berdasarkan hadits Asma’ diatas. (Hendaknya dipilih minyak wangi yang cocok untuk dipakai pada daerah kemaluan-pen).
Allahu a’lam.