Penolakan terhadap Wahabi
Sebelum serangan ke World Trade Center (WTC), pemerintah Saudi memang membiayai al-Qaedah, kelompok yang menggu-nakan kekerasan bersenjata dalam berbagai aksi-aksi agitatif dan destruktifnya. Namun setelah serangan 11 September 2001, terutama setelah al-Qaedah menyerang Kerajaan Arab Saudi, pemerintah Saudi sepertinya berhenti membiayai gerakan teror tersebut. Tetapi, pemerintah Saudi terus membiayai penyebaran ideologi Wahabi ke seluruh dunia (wahabisasai global). Kekerasan terorisme dengan peledakan bom dan semacamnya memang sangat berbahaya, namun ideologi dengan kekerasan teologis, psikologis, kultural, dan intelektual —dengan tujuan untuk menghancurkan budaya (cultural genocide) dan mengendalikan negara lain— jauh lebih berbahaya dari bom.
Berbagai bentuk aksi kekerasan yang dilakukan Wahabi membuat kebanyakan ulama dan umat Islam sadar bahwa apa yang mereka perjuangkan bukanlah Islam. Dugaan paling baik, ini pun dari titik pandang Ibn ‘Abdul Wahab, yang diperjuangkan adalah pemahaman tertentu atas Islam yang sangat keras dan ekstrem. Pemahaman harfiah tertutup yang berusaha memahami Kebenaran namun —karena tertutup— kemudian merasa sebagai “Kebenaran” itu sendiri.
Pandangan atas gerakan Wahabi ini akan jauh berbeda jika dilihat dari titik pandang Ibn Sa‘ud. Pandangan keagamaan Ibn ‘Abdul Wahab yang keras dan kejam —bagi Ibn Sa‘ud— jelas merupakan senjata politik potensial yang sangat ampuh dan strategis (baca: mematikan). Bagi siapa pun yang tidak terbiasa memperlakukan teks-teks maupun ajaran agama secara rasional, dewasa, dan penuh perasaan, klaim-klaim dan tuduhan-tuduhan teologis akan sulit ditolak. Ketakberdayaan di hadapan klaim dan tuduhan teologis inilah yang menjanjikan kekuasaan politik dan kekayaan bagi Ibn Sa‘ud. Hal ini terlihat dari kesepakatan antara pendiri Wahabi dan pendiri Kerajaan Saudi ini, bahwa Ibn ‘Abdul Wahab dan keturunan laki-lakinya akan mengendalikan otoritas keagamaan,sedangkan Ibn Sa‘ud dan keturunan laki-lakinya akan memegang kekuasaan politik, dan masing-masing akan menikahi keturunan wanita yang lain agar aliansi ini bisa terus dilestarikan.
Kesepakatan ini mengantarkan pada perkawinan politik dan agama, walaupun sebenarnya —mungkin tanpa disadari— agama menjadi tumbal di dalamnya, dan para penganut agama —yang pahamnya berbeda— menjadi korban berikutnya. Kelak terbukti bahwa, walaupun tidak sampai menyebabkan perceraian, perkawinan ini sangat duniawi. Hal ini terlihat dalam pemberontakan pengikut fanatik Wahabi di Haram pada tahun 1979 yang telah merusak banyak bagian Masjidil Haram—muncul sebagai protes terhadap kebiasaan buruk keluarga kerajaan yang menyimpang dari ajaran Wahabi namun tetap mendapat dukungan ulama Wahabi sekalipun prilaku mereka tidak benar.
Secara umum, Wahabi sebenarnya bertentangan dengan semangat Islam sendiri. Tabi‘atnya yang keras, suka memvonis musyrik, kafir, dan murtad terhadap sesama Muslim, serta aksi-aksi destruktif yang gemar mereka lakukan adalah bukti yang sulit ditolak. Perbuatan mereka seutuhnya bertentangan dengan pandangan para ulama Aswaja seperti ditegaskan dalam kaedah fiqh bahwa,menolak kerusakan, kekacauan, kekejaman dan semacamnya (mafsâdah) harus lebih didahulukan daripada mewujudkan kesejahteraan (dar’ al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalb al-mashlâlih). Dalam hal ini, Wahabi justru gemar melakukan mafsâdah demi —menurut mereka— mewujudkan mashlâhah (versi Wahabi).
Andai pun aksi-aksi mereka bisa diterima, ini pun sangat bertentangan dengan kerangka dasar kaedah fiqh yang lazim jadi peodman para ulama Aswaja bahwa, jika menghadapi bahaya-bahaya yang luar biasa, maka mengatasinya adalah dengan menanggung bahaya paling kecil (yudfa‘u asyaddu al-dlarûrain bi tahammuli akhaffi himâ. Wahabi malah menyelesaikan masalah dengan masalah, dan melahirkan banyak masalah baru.
Sedangkan kegemaran mereka mengkafikan sesama Muslim jelas merupakan pembangkangan terhadap peringatan Kanjeng Nabi Muhammad saw. bahwa, “Siapa pun yang menuduh saudaranya yang Muslim sebagai kafir, dia sendiri adalah kafir.” Pada kenyataannya, tuduhan musyrik, kafir, dan murtad adalah berdasarkan paham Wahabi. Di sini terlihat dengan jelas bahwa Wahabi telah menjelma menjadi ‘agama’ di dalam agama.
Fakta-fakta kekejaman Wahabi ini membuat umat Islam yang berpaham Ahlussunnah wal-jamâ‘ah, yang berpegang teguh pada ajaran untuk bersikap toleran dan moderat serta mendahulukan kebersamaan dan kedamaian dengan siapa pun, menolak paham Wahabi. Karena itu pula Sultan ‘Utsmani merasa wajib menghentikan gerakan Wahabi dan berusaha menguburnya.
Keputusan Sultan ‘Utsmani ini, selain dilandasi alasan politik, juga pertimbangan agama. Ketika Muhammad ‘Ali Pasya berhasil menangkap para tokoh Wahabi, mereka diajak berdialog untuk mencari dan membuktikan kebenaran di antara mereka. Ajakan ini tidak berhasil karena tokoh-tokoh Wahabi berkepala batu dan tidak bisa menerima pandangan-pandangan yang berbeda dari paham mereka, apalagi yang bertentangan. Hal ini menunjukkan bahwa, bagi orang-orang Wahabi, paham mereka sudah merupakan kebenaran, dan ini tak bisa lain kecuali menganggap pahamnya sebagai ‘agama’ itu sendiri. Dan persis karena alasan itulah para penganut ajaran Wahabi menganggap Muslim non-Wahabi sebagai kafir.
Pada masa formatifnya, Wahabi selalu ditentang secara terbuka oleh umat Islam di daerah Hijaz dan sekitarnya. Hal ini terjadi karena ajaran Wahabi dengan jelas bertentangan dengan ajaran Islam sebagaimana diamalkan oleh umat Islam di daerah-daerah tersebut. Ekstremitas dan teror yang mereka lakukan, belum lagi pemaknaan harfiah secara tertutup atas teks-teks suci Islam, telah membuat umat Islam sadar akan bahaya-bahaya laten yang dikandung Wahabi. Perselisihan antara Ibn ‘Abdul Wahab dan ayahnya, penolakan oleh Sulaiman kakak kandung Ibn ‘Abdul Wahab, serta penentangan oleh Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Mufti Makkah pada masanya, adalah bukti kongkret penolakan terhadap Wahabi.
Namun setelah Wahabi menguasai Makkah dan Madinah dan berhasil membangun kerajaan Saudi Arabia seperti dikenal sekarang, umat Islam daerah-daerah yang dikuasai Wahabi tidak berani lagi menolak Wahabi secara terbuka. Bagi umat Islam di daerah-daerah dimaksud tidak ada pilihan lain kecuali menerima Wahabi, atau nyawa mereka akan melayang, karena Wahabi —seperti biasa— memaksa setiap Muslim menganut Wahabi. Penolakan secara terbuka hanya bisa terjadi di luar daerah kekuasaan Wahabi.
Contoh lain penolakan kontemporer secara terbuka dilakukan oleh Muslim Bosnia beberapa tahun yang lalu. Ingin memancing di air keruh, Wahabi hadir di tengah-tengah konflik bekas Yugoslavia tersebut dengan dalih ingin menyalurkan bantuan kemanusiaan dalam bentuk pembangunan sekolah-sekolah, masjid-masjid, dan pengadaan buku-buku keagamaan. Setelah memperhatikan arsitektur masjid yang khas Wahabi (bersih dari ornamen seni arsitektural masjid pada lazimnya), kurikulum sekolah dan buku-buku pelajaran yang jelas-jelas berisi ajaran Wahabi, Muslim Bosnia sadar bahwa semua bantuan tersebut hanyalah camouflage usaha Wahabisasi Balkan. Sebagian terbesar Muslim Bosnia menolak bantuan-bantuantersebut karena tahu semua itu akan merusak tradisi dan budaya keberagamaan mereka yang selama berabad-abad dikenal beradab dan toleran.
Sebelumnya, penolakan dan kritik keras terhadap istana kerajaan Arab Saudi dilakukan oleh Ayatullah Khomeini pada tahun 1979. Kebiasaan buruk keluarga istana al-Saud, seperti judi, minum, main perempuan, dan sebagainya, menjadi alasan Khomeini mengritik penguasa kerajaan yang mengklaim sebagai Pelayan Dua Kota Suci (Khâdim al-Haramain) Islam. Ketika itu dia melontarkan gagasan penting, yakni pembebasan Makkah dan Madinah dari cengkeraman Wahabi dan menempatkannya di bawah pengelolaan dan pengawasan internasional. Sebagai pemimpin Iran, Khomeini mungkin punya agenda politik sendiri, tapi jelas gagasannya sangat penting dan berharga.
Pendudukan bersenjata atas Masjid al-Haram oleh Juhayman al-Utaybi dan para pengikutnya pada 1 Muharram 1400/20 Nopember 1979 serta kritik keras dan gagasan strategis Ayatullah Khomeini telah membuat penguasa Wahabi-Saudi sadar bahwa borok-borok mereka terungkap secara telanjang ke dunia internasional. Hal ini sangat mengganggu dan menurunkan citra mereka sebagai Khâdim al-Haramain. Maka sejak 30 tahun yang lalu penguasa Wahabi-Saudi telah membelanjakan uang yang mungkin sudah lebih dari USD 90 milyar yang disalurkan melalui Rabîthat al-‘Alam al-Islâmî, International Islamic Relief Orgqanization (IIRO), dan yayasan-yayasan lain ke seluruh dunia untuk membela diri dan memperbaiki citra mereka melalui wahabisasi global. Di Indonesia, Rabîthat al-‘Alam al-Islâmî dan IIRO menyalurkan dananya —di antaranya— melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), LIPIA,15 MMI, Kompak, dan lain-lain.
Seorang sayyid dan ulama non Wahabi yang sejak nenek moyangnya telah tinggal di Hijaz, menuturkan kepada peneliti studiini bahwa, “Bagi dunia Islam, Makkah dan Madinah laksana jantung. Jika jantung sehat, ia akan mengalirkan kesehatannya keseluruh tubuh. Jika jantung sakit, ia akan mengalirkan sakitnya ke seluruh tubuh. Karena itu jantung harus sehat dan bersih. Sudah sejak sangat awal sekali para ulama besar telah berkunjung ke Makkah dan Madinah dan kembali ke kampung halamannya membawa pengaruh yang diterimanya selama di tanah suci tersebut.
Sebelum dikuasai Wahabi, kedua kota suci Makkah dan Madinah pernah menjadi pusat ibadah dan kegiatan belajar semuamadzhab. Pada masa itu, madzhab-madzhab yang berbeda berdialog secara terbuka dan dewasa, menikmati kebebasan untuk bersama-sama mencari kebenaran, bebas beribadah dan berkeyakinan sesuai dengan madzhab yang bersangkutan. Pada masa itu, para teolog (mutakallim), ahli hukum Islam (fuqahâ), para sufi (mutashawwifîn), dan para ahli berbagai disiplin ilmu lainnya bertemu di kota suci tersebut. Mereka berbagi pandangan, berdialog, berdebat, serta memperdalam pemahaman dan memperkuat pengamalan agamanya. Mereka tinggal dalam rentang waktu yang lama untuk kepentingan ibadah dan belajar di kedua kota suci tersebut. Di samping mereka yang tinggal lama di tanah suci, ada para jamaah haji yang lazim memanfaatkan kesempatan selama musim haji untuk belajar dari para ulama berbagai madzhab, dan membawa pulang hikmah yang mereka peroleh selama di tanah suci.
KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasjim Asy‘ari (pendiri Nahdlatul Ulama) yang sempat belajar di jantung dunia Islam tersebut membawa pengaruh yang luar biasa ke Indonesia, walaupun organisasi yang digagas keduanya sangat jelas berbeda, keduanya tetap toleran dan saling menghormati, mengakui perbedaan sebagai keragaman dan kekayaan tradisi intelektual. Hal ini kontras dengan gerakan Padri yang digagas oleh Haji Miskin, Haji Abdurrahman, dan Haji Muhammad Arif yang telah menunaikan ibadah haji ketika Wahabi menguasai kedua kota suci pada awal abad kesembilan belas. Virus Wahabi yang menjangkiti ketiga haji tersebut terbawa ke Sumatera Barat dan telah memicu perang saudara dan sesama Muslim yang sangat tragis dalam sejarah Islam Nusantara.
Wahabi sebenarnya tidak hanya ditolak oleh umat Islam saja. Banyak non-Muslim di Barat yang menolak dan membenci Islam karena adanya aksi-aksi terorisme yang dilakukan atas nama Islam. Padahal, umat Islam non-Wahabi juga menolak dan mengutuk aksi-aksi terorisme tersebut. Andai Barat tahu bahwa pelaku terorisme tersebut adalah para penganut sekte Wahabi dan sekutu ideologisnya, tentu bukan Islam yang akan mereka benci. Sekali lagi, dalam kasus ini terlihat jelas Islam menjadi tumbal dalam usaha Wahabisasi global.
Terjadinya berbagai penolakan tidak membuat Wahabi kehilangan akal. Ditolak dalam Wahabisasi secara terbuka, mereka berusaha menyusup secara samar dan tersembunyi ke berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indonesia yang merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia. Dalam kasus Indonesia, penyusupan yang mereka lakukan tidaklah sendirian, ada kelompok-kelompok lokal yang menjadi kaki tangan Wahabi, atau secara umum memang mempunyai orientasi dan tujuan sama,yakni formalisasi Islam, yang menjadi agen penyebaran paham Wahabi.
Sumber: Ilusi Negara Islam