Motivasi Agen Garis Keras
Afiliasi tokoh-tokoh atau individu-individu aktivis garis keras lokal dengan salah satu gerakan transnasional tersebut terutama disebabkan oleh faktor-faktor seperti keuntungan finansial, kesempatan untuk mendapat kekuasaan, lingkungan dan/atau dislokasi sosial, dan/atau lemahnya pemahaman atas ajaran agama, terutama dalam hal spiritualitas.
Faktor finansial merupakan bisnis terselubung gerakan garis keras. Seorang mantan tokoh Laskar Jihad di Indonesia secara terbuka menyatakan kepada peneliti kami, ketika aktif dalam gerakan dia mendapat tunjangan tak kurang dari Rp 3 juta setiap bulan. Di tengah krisis ekonomi yang berkepanjangan, godaan materi ini sangat berpengaruh bagi mereka yang masih lemah imannya. Hal ini bisa dimengerti, dana yang sangat besar memang bisa menghanyutkan iman dan menjadi lahan bisnis yang sangat menguntungkan para agennya. Keuntungan finansial ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para petualang yang ingin mendapat keuntungan instan tanpa perlu bekerja keras.
Orang-orang yang merasa punya kemampuan namun tidak punya peran sosial yang diimpikan, sering menemukan aktualisasi diri dalam kelompok-kelompok garis keras. Di dalamnya mereka mendapatkan peran dan posisi penting karena mampu merekrut dan mengatur pengikutnya serta menarik perhatian publik. Semakin banyak memperoleh pengikut dan sering muncul dalam liputan pers, semakin terpuaskan keinginannya untuk dianggap penting dan mendapat perhatian publik. Sepertinya publikasi pers menjadi pemuas impian yang telah lama tak tercapai untuk menjadi orang penting dan terkenal. Hal ini terlihat jelas antara lain dalam sebuah interview kolumnis asing dengan salah seorang Pimpinan kelompok garis keras pada bulan April 2007.
Namun faktor terpenting dan barangkali menjadi alasan kebanyakan orang terpesona dengan gerakan garis keras adalah dangkalnya pemahaman mereka tentang agama (baca: ajaran Islam). Jargon-jargon garis keras seperti membela Islam, penerapan syarî‘ah, maupun penegakan Khilafah Islamiyah, bagi umat Islam yang tidak mempunyai pemahaman mendalam tentang ajaran agamanya bisa menjadi ungkapan yang sangat ampuh dan mempesona. Pada saat yang sama, para penolak jargon-jargon tersebut bisa dengan mudah dituduh menolak syarî‘ah, bahkan menolak Islam. Tuduhan semacam ini lazim dilontarkan oleh orang-orang yang merasa sok tahu tentang Islam, mereka yang merasa sebagai yang paling benar
dalam memahami Islam. Sikap arogan ini membuat mereka lebih suka menyalahkan siapa pun yang tidak sama dengan dirinya, dan tidak mampu melakukan introspeksi. Sikap demikian lahir karena tidak adanya sikap berislam secara sejati, sikap berserah diri seutuhnya kepada Allah swt. dan rendah hati sepenuhnya sebagaimana pesan utama Islam sendiri. Dangkalnya pemahaman ini menjelma menjadi kesalahkaprahan akut, mereka tidak mampu membedakan antara sumber ajaran Islam dari pemahaman atas sumber ajaran tersebut. Mereka juga tidak mampu mengurai kompleksitas relasi antara ajaran agama dengan realitas sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Dalam hal ini, agama yang mengandung pesan-pesan luhur dan sangat menekankan akhlak mulia, kemudian direduksi menjadi seperangkat diktum yang tak berperasaan berdasarkan batasan-batasan ideologis dan/atau platform partai.
Sungguh sayang, sementara beberapa umat Islam —baik yang awam maupun yang berpendidikan tinggi— telah dengan tulus mendukung agenda garis keras semata karena terpesona dengan jargon-jargon yang mereka gunakan, para tokohnya terus membangun simbiosa mutualistik —dengan para oportunis, individu yang sangat dangkal pemahamannya tentang Islam, atau yang idealis— yang darinya keuntungan personal diperoleh. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa ada kelompok-kelompok garis keras yang merekrut anggota baru dengan sistem sel seperti dilakukan Ikhwanul Muslimin dan HTI, karena dengan cara demmikian mereka bisa lebih mudah dan efektif mengendalikan pengikutnya. Perekrutan dengan sistem sel merupakan media paling mudah untuk reorientasi, atau cuci otak, berdasarkan ideologi gerakan mereka. Di samping itu, keanggotaan berjenjang dan tertutup ini juga ampuh membungkam pertanyaan para anggota baru atas hal-hal yang bersifat sensitif, termasuk masalah finansial.
Gayung bersambut, baik Wahabi maupun para petualang lokal sama-sama mendapat keuntungan. Wahabi yang tidak bisa hadir secara terbuka —karena tentu akan ditolak oleh umat Islam yang mengerti sejarah dan ajaran mereka— untuk menanamkan pahamnya di Indonesia, beruntung karena ada para petualang yang bersedia menjadi kaki tangannya untuk menyebarkan ideologi mereka. Sedangkan para petualang lokal mendapat keuntungan finansial dari aliran petrodolar yang luar biasa deras.
Terlepas dari alasan finansial tersebut, bersama-sama dengan Ikhwanul Muslimin dan HTI, Wahabi telah mempengaruhi umat Islamsetempat dengan pahamnya yang ekstrem. Walaupun memiliki perspektif yang berbeda, termasuk dalam beberapa detail pemahaman keagamaan, tujuan akhir mereka mirip, yakni formalisasi Islam. Untuk mencapai tujuan ini, kelompok-kelompok garis keras menggunakan segala cara, bahkan yang bertentangan dengan ajaran Islam sekalipun. Fakta ini hanya menegaskan sebaliknya. Jika mereka memang memperjuangkan Islam, tentu mereka akan menghindari cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islamitu sendiri. Prinsip yang lazim menjadi pegangan para ulama Ahlussunnah wal-jamâ‘ah menegaskan bahwa tujuan tidak bisa membenarkan cara (al-ghâyah lâ tubarrir al-washîlah atau Man kâna amruhu ma‘rûfan fal-yakun bi ma‘rûfin). Artinya, cara tidak akan menjadi baik karena tujuannya baik; atau, siapa pun yang mempunyai tujuan baik hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Tujuan baik, jika diusahakan dengan cara-cara buruk, tentu akan menodai kebaikan itu sendiri dan bertentangan