Infiltrasi Gerakan Transnasional pada Masa Orde Baru hingga Dewasa ini
Sejak dekade 1970-an, ketika umat Islam Indonesia kesulitan keuangan untuk membiayai studi para mahasiswa belajar ke luar negeri, Wahabi menyediakan dana yang lumayan besar melalui DDII untuk membiayai mahasiswa belajar ke beberapa negara Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Belakangan, kebanyakan alumni program ini menjadi agen penyebaran paham transnasional dari Timur Tengah ke Indonesia. Tidak berhenti di situ, dengan dukungan dana Wahabi pula, DDII mendirikan LIPIA, dan kebanyakan alumninya kemudian memainkan peran yang berpengaruh sebagai agen Salafi (Wahabi) dan Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin). DDII pula yang telah meletakkan dasar gerakan dakwah di kampus-kampus, dan sebagaimana alumni Timur Tengah, mereka juga menjadi para agen penyusupan paham gerakan transnasional ke Indonesia.
Masih dengan dukungan dana Wahabi, DDII juga memainkan peran penting dalam penerjemahan buku-buku dan penyebaran gagasan tokoh-tokoh gerakan transnasional seperti Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Abul A‘la Maududi, Yusuf Qardawi, dan lain-lain. Penerbitan Sabili yang mencapai tiras 100.000 eksemplar diduga tidak lepas dari dukungan dana Wahabi. Tidak bisa dipungkiri bahwa pembentukan DDII tidak terlepas dari pembubaran Masyumi yang saat itu dikuasai oleh kelompok puritan, modernis. Namun pasti tidak benar melakukan generalisasi bahwa para tokoh modernis adalah agen gerakan transnasional, tetapi Wahabi-Ikhwanul Muslimin dengan cerdas melihat peluang-peluang sekecil apa pun untuk menyusup ke dalam organisasi modernis untuk kemudian memanfaatkannya demi penyebaran ideologinya.
Selain DDII, menjelang dan setelah Orde Baru tumbang, Indonesia menyaksikan begitu banyak kelompok-kelompok garis keras lokal yang tumbuh seperti cendawan di musim hujan. Beberapa di antara kelompok ini antara lain Fron Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), PKS, Komite Persiapan Penerapan Syarî‘ah Islam (KPPSI) di beberapa daerah, dan lain-lain. Dalam momen inilah, Ikhwanul Muslimin (yaitu PKS)36 dan Hizbut Tahrir menampakkan diri secara terbuka di Indonesia. Hingga saat ini, gerakan kelompok-kelompok garis keras sudah menyebar seperti kanker ke seluruh tubuh bangsa, mereka menyusup dari istana negara hingga ke pegunungan. Hasil penelitian lapangan dan konsultasi seperti dipaparkan buku ini menunjukkan dengan jelas bahwa gerakan mereka sangat sistematis, terencana, dan dengan dukungan dana yang luar biasa.
Pola-pola penyusupan yang mereka lakukan sangat beragam, seperti pendekatan finansial hingga hal-hal yang tak terpikirkan seperti melalui layanan kebersihan (cleaning service) gratis di masjid-masjid, bahkan dengan pola akademis atau berbagi pengetahuan. Dalam kaitan ini, pada akhir tahun 2005, proposal dari sebuah LSM telah ditujukan kepada Kepala Negara berisi tawaran kerjasama dalam penyaluran dana sebesar 500 juta dollar AS yang diparkir di beberapa bank asing di Luar Negeri. Jika pemerintah RI mengizinkan dana tersebut masuk dan mau bekerjasama, LSM tersebut memberi tawaran: 40% dari dana itu, yaitu USD 200 juta, untuk dimanfaatkan Kabinet RI, dan LSM dimaksud akan menggunakan 60% untuk melakukan berbagai program pembangunan non-APBN/APBD, khususnya untuk “infrastruktur pendidikan kemuliaan akhlak,” terutama di Sulawesi Tengah yang baru saja keluar dari konflik bersenjata yang di dalamnya kelompok-kelompok garis keras terlibat dengan jelas. Tidak cukup sampai di situ, proposal itu menyebutkan bahwa jika pemerintah RI tertarik dengan dana itu, maka “Dari pihak LSM mengharapkan diberikan kesempatan (lisensi) untuk menempatkan personilnya di dalam Lembaga Perencanaan Negara dan Pengawasan Negara (Tim Ekonomi RI).”
Sumber confidential di lingkungan istana yang mengetahui proposal tersebut menyatakan kepada peneliti kami bahwa dana itu berasal dari Arab Saudi dan, melalui beberapa bank di Malaysia, dicoba dimasukkan ke Indonesia melalui jalur resmi (izin pemerintah) mengingat jumlahnya yang teramat fantastis. Sumber kami menambahkan, proposal tersebut tiba-tiba lenyap dari istana karena ada pribadi-pribadi yang sangat prihatin pada dampak buruk proposal tersebut jika betul-betul disetujui. Namun yang jelas kasus ini menunjukkan adanya upaya intervensi kekuasaan Timur Tengah terhadap Indonesia dengan dukungan dana yang sangat besar.
Usaha-usaha penyusupan secara finansial banyak dilakukan kepada orang-orang terkemuka yang diduga bisa dibeli. Ada beberapa yang memang dengan senang hati menikmati dana Wahabi dan rela menjadi saluran penyebaran ideologinya. Namun ada juga tokoh-tokoh yang lebih mencintai bangsa dan negaranya, lebih
meyakini kebenaran ajaran Islam yang toleran dan moderat daripada ideologi yang keras dan ekstrem, dan dengan tegas menolak godaan dana Wahabi. Kasus yang terjadi di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, adalah contoh menarik. Rektor UIN Sunan Kalijaga, pernah didatangi 2 orang Arab Saudi yang membawa beberapa keping cd berisi buku-buku Wahabi dan Ikhwanul Muslimin yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kepada Rektor, kedua orang itu menawarkan uang untuk menggunakan nama UIN Sunan Kalijaga sebagai penerbit. Tawaran itu ditolak oleh Rektor karena ia tahu bahwa buku itu mengandung ajaran dan paham ekstrem yang akan disebarkan untuk mewahabikan Islam Indonesia melalui UIN Sunan Kalijaga. Sayang, tidak semua orang Indonesia berakhlak mulia seperti Rektor tersebut, sehingga mereka rela menjual agama, rela menjadi agen Wahabi, dan rela
mengorbankan masa depan bangsa dan negara kita. Dari sini jelas lagi bahwa Wahabi tidak hanya membiayai terorisme, tetapi juga penyebaran ideologi.
Penyerobotan masjid ini merupakan salah satu saja dari sekian cara penyusupan kelompok garis keras. Penyusupan dengan pola-pola akademis lazim dilakukan kepada dewan penyantun, pimpinan kampus, pengurus senat mahasiswa, dan lain-lain. Bahkan juga mendirikan jaringan sekolah-sekolah sendiri, seperti sekolah-sekolah “Islam Terpadu.” Dari situ jelas bahwa kelompok-kelompok dakwah kampus bergerak secara sistematis untuk menguasai dunia pendidikan dan masa depan Indonesia dengan pandangan Wahabi-Ikhwanul Muslimin maupun Hizbut Tahrir.
Usaha merebut lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah lebih mudah dibanding usaha merebut lembaga-lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan NU, bahkan lebih mudha lagi merebut lembaga-lembaga pendidikan umum yang tidak berafiliasi baik dengan NU maupun Muhammadiyah. Institusi di lingkungan Muhammadiyah lebih diikat dengan relasi formal-struktural, sedangkan di lingkungan NU lebih bersifat emosional-kultural. Di samping itu, banyak anggota Muhammadiyah tampak lebih reseptif pada gagasan-gagasan kelompok garis keras karenaorientasi purifikasi Muhammadiyah yang tidak politis mirip dengan gerakan garis keras yang menjadikan gerakan purifikasi sebagai salah satu proyeknya. Banyak mahasiswa di lembaga-lembaga pendidikan umum yang tidak berafilisasi dengan keduanya, hampir sama sekali tidakpunya alasan atau kemampuan teologis untuk menolak ideologi garis keras karenatidak mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Islam.
Referensi: Ilusi Negara Islam
Referensi: Ilusi Negara Islam