Gerakan Transnasional di Indonesia
Relasi antara Wahabi dan kelompok-kelompok garis keras lokal memang tidak bisa sepenuhnya ditunjukkan secara organisatoris-struktural, karena lazimnya mereka malu disebut kaki tangan Wahabi. Di samping ada kontak-kontak langsung dengan tokoh-tokoh gariskeras transnasional, relasi mereka juga berdasarkan kesamaan orientasi, ideologi, dan tujuan gerakan. Berbagai kelompok garis keras ini bekerjasama dalam beragam aktivitas yang mereka lakukan. Lazimnya, kelompok-kelompok ini memiliki relasi dengan organisasi transnasional yang diyakini berbahaya dan mengancam Pancasila, NKRI dan UUD 1945, di samping juga merupakan ancaman serius terhadap Islam Indonesia yang santun dan toleran.
Di antara gerakan-gerakan transnasional yang beroperasi di Indonesia adalah:
1) Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan al-Banna di Mesir hadir di Indonesia pada awalnya melalui lembaga-lembaga dakwah kampus yang kemudian menjadi Gerakan Tarbiyah. Kelompok ini kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
2) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan gagasan Pan-Islamismenya yang ingin menegakkan Khilafah Islamiyah di seluruh dunia, dan menempatkan Nusantara sebagai salah satu bagian di dalamnya; dan
3) Wahabi yang berusaha melakukan wahabisasi global. Di antara ketiga gerakan transnasional tersebut, Wahabi adalah yang paling kuat, terutama dalam hal pendanaan karena punya banyak sumur minyak yang melimpah. Namun demikian, ketiga gerakan transnasional ini bahu-membahu dalam mencapai tujuan mereka, yakni formalisasi Islam dalam bentuk negara dan aplikasi syari‘ah sebagai hukum positif atau Khilafah Islamiyah.
Kehadiran Wahabi di Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari peran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dengan dukungan dana besar dari Jama‘ah Salafi (Wahabi), DDII mengirimkan mahasiswa untuk belajar ke Timur Tengah, sebagian dari mereka inilah yang kemudian menjadi agen-agen penyebaran ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indonesia. Belakangan, dengan dukungan penuh dana Wahabi-Saudi pula, DDII mendirikan LIPIA dan kebanyakan alumninya kemudian menjadi agen Gerakan Tarbiyah dan Jama‘ah Salafi di Indonesia. Dibandingkan dengan HTI, Wahabi memang jauh lebih dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Kedekatan ini berawal pada dekade 1950-an dan 1960-an ketika Gamal Abdel Nasser membubarkan Ikhwanul Muslimin yang ekstrem dan melarang semua kegiatannya di Mesir. Banyak dari tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin saat itu melarikan diri meninggalkan negaranya.