Infiltrasi Ideologi Wahabi-Ikhwanul Muslimin di Indonesia
Kanjeng Nabi Muhammad saw. pernah menyatakan bahwa umatnya akan terpecah menjadi 73 kelompok, semua masuk neraka kecuali satu. Mereka yang akan selamat adalah “yang berpegang kepada Sunnahku dan jamâ‘ah sahabatku” (mâ ana ‘alaih
wa ash-hâbî). Kelompok ini kemudian masyhur disebut Ahlussunnah wal-jamâ‘ah (aswaja), orang-orang yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi dan jamâ‘ah sahabat. Para ulama kemudian berusaha keras mengidentifikasi karakter aswaja ini, yang kemudian di dalam konteks interaksi sosial tersimpul dalam sikap al-tawassuth wal-i‘tdâl, sikap moderat dan konsisten.
Hadits prediktif ini sangat masyhur karena terkait dengan keselamatan di akhirat kelak. Itu pula sebabnya muncul dua versi hadits yang sangat berbeda, apakah dari 73 kelompok tersebut 1 yang selamat atau 1 yang celaka. Terkait dengan keselamatan ini pula, ada kelompok yang mengklaim bahwa hanya kelompoknya yang paling benar dan kelak akan selamat di akhirat. Demi klaim kebenaran dan keselamatan ini, mereka mudah mengkafirkan pihak lain semata untuk menegaskan bahwa diri dan kelompoknya saja yang paling benar, paling mukmin, paling muslim, dan paling selamat. Mereka lupa bahwa keselamatan tidak ditentukan dengan klaim-klaim semacam itu, tetapi dengan ketulusan dan keikhlasan dalam beragama, dengan berserah diri, tunduk, dan patuh hanya kepada Allah swt., dan —dalam term negatif— tidak dikendalikan oleh hawa nafsu. Padahal, dalam kesempatan lain, Nabi saw. memperingatkan bahwa, “Siapa pun yang mengkafirkan saudaranya tanpa penjelasan yang nyata, adalah dia sendiri yang kafir” (man kaffara akhâhu bi-ghairi ta’wîl—fa-huwa kamâ qâla). Atau dalam riwayat lain, “Siapa pun yang mekafirkan saudaranya, maka salah seorang darinya benar-benar kafir” (man kaffara akhâhu—fa-qad bâ’a bihâ ahaduhâ). Maka, yang manapun dan dari sisi manapun kedua riwayat tersebut direnungkan, seorang muslim kâffah lahir-batin tidak akan pernah mengkafirkan muslim yang mana pun.
Dalam sejarah Islam, pengkafiran paling awal gemar dilakukan oleh kelompok Khawârij, sekelompok orang yang keluar (desersi) dari barisan Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib terkait Tahkîm dalam perang Shiffîn melawan Mu‘awiyah. Sebagai kelompok yang tidak setuju dengan tahkîm, mereka mengkafirkan siapa pun yang berbeda sikap dan pandangan, baik dari pihak ‘Ali maupun Mu‘awiyah. Bahkan, mereka membunuh siapa pun yang telah dikafirkan. Jargon mereka bahwa “Hukum hanya milik Allah,” telah mengesampingkan peran akal manusia dalam memahami pesan-pesan wahyu.
Aksi-aksi Khawârij ini telah menjadi preseden buruk bagi generasi Muslim berikutnya. Dengan aksi-aksi kejam dan destruktifnya mereka tidak hanya mengacaukan stabilitas politik, tetapi juga mendistorsi logika berfikir umat Islam dan ini terus diwariskan dari generasi ke generasi. Dewasa ini, para ulama lazim menyebut siapa pun yang mewarisi kebiasaan buruk Khawârij ini sebagai neo-Khawârij.
Beberapa tabi‘at buruk Khawârij, antara lain: memahami al-Qur’an dan hadits hanya secara harfiah dan tertutup; gemar mengkafirkan siapa pun yang mempunyai sikap dan/atau pemahaman yang berbeda dari mereka; dan tidak segan-segan membunuh siapa pun yang dikafirkan. Beberapa tabi‘at buruk ini juga menjadi bagian dari tabi‘at Wahabi yang muncul di jazirah Arab pada abad ke-18. Memang, Wahabi tidak bisa dikatakan sebagai penerus Khawârij. Bahkan, ia dianggap sebagai fenomena yang sama sekali baru dan tidak mempunyai pendahulu sebelumnya dalam sejarah
Islam.Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam sejarah pemikiran Islam, Wahabi tidak menempati posisi penting apa pun, bahkan secara intelektual marjinal (Wahabi menjadi signifikan bu-kan karena pemikirannya, tapi karena kekuasaanpolitik Ibn Saud dan penerusnya). Di samping itu, para peneliti dan sejarawan Islam memandang Wahabi sebagai fenomena khas yang terpisah dari aliran-aliran pemikiran maupun gerakan Islam lainnya. Bahkan, para tokoh Sunni paling awal menilai Wahabi tidak termasuk golongan Ahlussunnah wal-jamâ‘ah.
Wahabi adalah sebuah sekte keras dan kaku pengikut Muham-mad ibn ‘Abdul Wahab. Ayahnya, ‘Abdul Wahab adalah hakim (qâdlî) ‘Uyaynah pengikut madzhab Ahmad ibn Hanbal. Ibn ‘Abdul Wahab lahir pada tahun 1703/1115 di ‘Uyaynah, termasuk daerah Najd, belahan timur Kerajaan Saudi Arabia sekarang. Dibandingkan dengan Yaman dan Syria, Nabi pernah mengungkapkan bahwa tidak akan muncul apa pun dari Najd selain goncangan fitnah dan setan (al-zalâzil wal-fitan wa qarn al-syaitân). Mungkin saja pernyataan Nabi ini tidak terkait dengan Wahabi, tapi jelas bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah yang paling akhir menerima Islam dan kampung Musailamah al-Kadzdzab.
‘Utsman ibn ‘Abdullah ibn Bisyr, sejarawan standar Saudi, memuji Ibn ‘Abdul Wahab sebagai orang yang mendapat berkah Tuhan sehingga mampu memahami masalah-masalah yang berten-tangan dan menunjukkan jalan lurus kepada siapa pun. Namun ayah dan kakak kandung Ibn ‘Abdul Wahab sendiri telah sejak awal mencium gelagat tak beres dalam pemikiran pendiri Wahabi ini. Konon, ‘Abdul Wahab diberhentikan dari posisi sebagai hakim dan diperintahkan meninggalkan ‘Uyaynah pada tahun 1726/1139 karena ulah anaknya yang ganjil dan berbahaya ini. ‘Utsman menghindari menceritakan detail perselisihan anak dengan ayah dan kakak kandungnya secara diplomatis dengan mengungkapkan sebagai “percakapan di antara keduanya” (waqa‘a bainahu wa baina abîhi kalâm),belakangan Sulaiman ibn ‘Abdul Wahab, kakak kandung pendiri Wahabi ini, mengkritik dan menulis penolakan panjang lebar tentang pemikiran adik kandungnya ini (al-Shawâ‘iq al-Ilâhiyyah fî al-radd ‘alâ al-Wahhâbiyyah)
Pemahaman ekstrem, kaku, dan keras Ibn ‘Abdul Wahab, yang terus dipelihara dan diperjuangkan para pengikutnya (Wahabi) hingga saat ini, adalah hasil dari pembacaan harfiah atas sumber-sumber ajaran Islam. Ini pula yang telah menyebabkan dia meno-lak rasionalisme, tradisi, dan beragam khazanah intelektual Islam yang sangat kaya. Dalam hal polemik, Kristen, Syî‘ah, tasawuf, dan Mu‘tazilah merupakan target utamanya. Namun bukan berarti bahwa selain kelompok tersebut aman dari kecaman yang didasarkan pada pembacaan harfiah atas teks-teks suci (baca: al-Qur’ân dan Sunnah).
Literalisme Wahabi telah membuat teks-teks suci menjadi corpus tertutup terhadap cara pembacaan selain pembacaan secara harfiah á la Ibn ‘Abdul Wahab. Pemahaman ini telah memutus teks-teks suci dari konteks masa risalah maupun konteks masa pembacaan. Teks-teks suci, dan akhirnya Islam sendiri, tidak lagi komunikatif dengan konteks para penganutnya. Islam yang semula sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon permasalah umat, di tangan Ibn ‘Abdul Wahab berubah menjadi tidak peduli, keras dan tak berperasaan.
Literalisme Wahabi telah membuat teks-teks suci menjadi corpus tertutup terhadap cara pembacaan selain pembacaan secara harfiah á la Ibn ‘Abdul Wahab. Pemahaman ini telah memutus teks-teks suci dari konteks masa risalah maupun konteks masa pembacaan. Teks-teks suci, dan akhirnya Islam sendiri, tidak lagi komunikatif dengan konteks para penganutnya. Islam yang semula sangat apresiatif dan penuh perasaan dalam merespon permasalah umat, di tangan Ibn ‘Abdul Wahab berubah menjadi tidak peduli, keras dan tak berperasaan.
Dari perspektif Ibn ‘Abdul Wahab, tujuan utama literalismeini mungkin untuk menghindari kompleksitas pemahaman dan praktik hukum, telogi dan tasawuf umat Islam yang telah tumbuh sejak berakhirnya masa risalah. Namun membayangkan bahwa setiap individu atau masyarakat akan mengamalkan Islam sebagaimana makna harfiah kitab suci dan hadits, tanpa pengaruh tradisi maupun budaya setempat, tentu sangat tidak realistis dan meru-pakan mimpi belaka. Literalisme tertutup, dalam kebanyakan kasusnya, lebih disebabkan ketakmampuan memahami kompleksitas realitas sosial dalam kaitannya dengan kompleksitas pesan-pesan luhur ajaran agama. Akibatnya, semua direduksi sesuai dengan daya tampung atau daya paham si pembaca. Dengan kata lain, keluhuran dan keluasan pesan agama kandas di keterbatasan daya pikir pembaca yang kaku.
Literalisme Ibn ‘Abdul Wahab yang tertutup tidak bisa dibandingkan dengan literalisme Ibn ‘Arabi —misalnya--- yang terbuka. Literalisme tertutup membatasi makna sebuah teks atau teks-teks dari makna-makna lain yang sama-sama berkemungkinan benar, dan ini merupakan reduksi dan distorsi terhadap pesan teks itu sen-diri. Sedangkan literalisme terbuka merupakan pencarian makna teks atau teks-teks secara luas dan terbuka dengan tetap berusaha berpegang kuat pada makna harfiah teks yang bersangkutan namun tanpa terikat secara kaku.
Literalisme tertutup á la Wahabi sebenarnya mengidap penyimpangan epistemologis yang akut. Ia tidak akan pernah mampu melihat, apalagi memahami, kebenaran lain yang berbeda dari kebe-naran harfiah yang dicapainya. Bahkan tidak akan pernah mampu memahami kompleksitas teks-teks suci, apalagi dalam kaitannya dengan kompleksitas realitas sosial. Sebagai penyakit epistemologis, ketertutupan semacam ini lazim melahirkan klaim-klaim kebenarsepihak (one-sided truth claims), serta menolak dan menyalahkan apa pun/siapa pun yang berbeda.
Sebenarnya, klaim kebenaran sepihak yang kemudian mengandalkan klaim-klaim teologis dengan mengkafirkan pihak lain, merupakan sikap beragama yang tidak dewasa dan menunjukkan tidak adanya sifat rendah hati (islâm). Keyakinan yang dewasa dan rendah hati tidak akan pernah terganggu oleh keyakinan lain yang berbeda, bahkan akan berbagi secara terbuka untuk mencapai kebenaran hakiki. Dan al-Qur’ân sendiri menegaskan bahwa perbedaan adalah cobaan, dan tidak perlu diseragamkan. Penolakan terhadap perbedaan ini merupakan dampak langsung dari penyakit penyimpangan epistemologis literalisme tertutup manapun.
Setiap konklusi yang dihasilkan dari metode yang tidak sehat, pasti akan menyebabkan aksi-aksi yang tidak sehat pula. Distorsi dan reduksi terhadap pesan-pesan luhur Islam, dalam kasus Wahabi, kemudian menyebabkan aksi-aksi destruktif terhadap tradisi spiritual dan intelektual Islam sendiri, dan kemudian menyebabkan distorsi dan kekejaman sosial dan budaya terhadap masyarakat Islam dan masyarakat global secara keseluruhan, bahkan kekerasan terhadap ajaran Islam sendiri.
Dalam perkembangannya, setelah tak sabar dengan proses dialog dalam melakukan perubahan, Ibn ‘Abdul Wahab akhirnya menyimpulkan bahwa kata-kata saja tidak cukup (lâ yughnî al-qaul).10 Dia berusaha melakukan perubahan melalui perbuatan. Ketika ayahnya wafat pada tahun 1740/1153, Ibn ‘Abdul Wahab kembali ke ‘Uyaynah dan mendapat dukungan dari ‘Utsman ibn Mu‘ammar, penguasa setempat. Hal ini telah memberinya keleluasaan dan kekuatan untuk tidak hanya menggunakan kata-kata terhadap siapa pun yang dipandangnya menyimpang dari ajaran Islam (harus ditekankan bahwa, sebenarnya menyimpang dari pemahaman Ibn ‘Abdul Wahab atas ajaran Islam). Ibn Mu‘ammar menyediakan sekitar 600 orang pasukan untuk mengawal Ibn ‘Abdul Wahab dan para pengikutnya dalam melakukan aksi-aksinya. Ibn ‘Abdul Wahab memperkuat dukungan ini dengan menikahi al-Jauhara, bibi penguasa ‘Uyaynah tersebut.
Aksi kekerasan pertama Wahabi ketika itu adalah menghancurkan makam Zaid ibn al-Khaththab, sahabat Nabi dan saudara kandung ‘Umar ibn al-Khaththab. Sebelum itu, aksi-aksi pemurtadan dan pengkafiran pun dilancarkan, sebagai pembuka aksi-aksi kekerasan yang akan dilakukan. Namun patronase ini tidak berlangsung lama karena kepala suku daerah tersebut mencium bahaya laten dalam gerakan Wahabi. Atas desakan inilah, Ibn ‘Abdul Wahab meninggalkan ‘Uyaynah, pindah ke Dir‘iyah dan menemukan sekutu baru, Muhammad ibn Sa‘ud, yang terbukti menjadi sekutu permanen. Aliansi baru ini kelak melahirkan Kerajaan Saudi-Wahabi modern.
Muhammad ibn Sa‘ud adalah politikus cerdas. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan sangat berharga untuk memberi dukungan kepada Ibn ‘Abdul Wahab demi meraih kepentingan politiknya. Dia minta jaminan Ibn ‘Abdul Wahab untuk tidak mengganggu kebiasaannya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir‘iyah. Ibn ‘Abdul Wahab meyakinkannya bahwa jihâd ke depan akan memberinya keuntungan yang lebih besar daripada upeti yang dia impikan. Maka, panggung pemurtadan, pengkafiran, dan aksi-aksi kekerasan yang akan dilakukan ke seluruh jazirah Arab pun dibangun di atas aliansi permanen ini.
Pada tahun 1746/1159, Wahabi-Sa‘ud secara resmi memproklamasikan jihâd terhadap siapa pun yang mempunyai pemahaman tauhîd berbeda dari mereka. Kampanye ini diawali dengan tuduhan syirk (polytheist), murtad, dan kafir. Setiap Muslim yang tidak mempunyai pemahaman dan praktik ajaran Islam yang persis seperti Wahabi dianggap murtad, karenanya perang dibolehkan, atau bahkan diwajibkan, terhadap mereka. Razia, penggere-bekan dan perampokan terhadap mereka pun dilakukan. Dengan demikian, predikat Muslim —menurut Wahabi— hanya merujuk secara eksklusif kepada para pengikut Wahabi, seperti digunakan dalam buku ‘Unwân al-Majd fî Târîkh al-Najd, salah satu buku sejarah resmi Wahabi.
Sekitar lima belas tahun setelah proklamasi jihad ini, Wahabi sudah menguasai sebagian besar jazirah Arab, termasuk Najd, Ara-bia tengah, ‘Asir, dan Yaman. Muhammad ibn Sa‘ud yang mening-gal pada tahun 1766/1180 digantikan oleh ‘Abdul ‘Aziz, yang pada 1773/1187 merebut Riyadh, dan sekitar tujuh belas tahun kemudian mulai berusaha merebut Hijaz. Muhammad ibn ‘Abdul Wahab wafat tahun 1791/1206, sesaat setelah perang melawan para penguasa Hijaz dimulai. Kurang dari satu dekade, ajaran Wahabi sudah dipaksakan dengan senjata kepada penduduk Haramain (Makkah dan Madinah), walaupun hanya sesaat, pemaksaan ini mempunyai pengaruh yang luar biasa tidak hanya di Hijaz, tetapi juga di dunia Islam lainnya, termasuk Nusantara.
Tahun 1802/1217 Wahabi menyerang Karbala, membunuh mayoritas penduduknya yang mereka temui baik di pasar maupun di rumah, termasuk wanita dan anak-anak. Wahabi juga menghan-curkan kubah makam Husein serta menjarah berlian, permata, dan kekayaan apa pun yang mereka temukan di makam tersebut. Pada 1803/1217 Wahabi kembali menyerang Hijaz, dan Ta’if adalah kota pertama yang mereka serbu. Pada 1805/1220 mereka merebut Madinah dan 1806/1220 merebut Makkah untuk kedua kalinya. Seperti biasa, Wahabi memaksa para ulama menyatakan sumpah setia dengan todongan senjata.
Pendudukan Haramain ini berlangsung sekitar enam setengah tahun. Periode kekejaman ini ditandai dengan pembantaian dan pemaksaan ajaran Wahabi kepada penduduk Haramain, peng-hancuran bangunan-bangunan bersejarah dan pekuburan, pembakaran buku-buku selain al-Qur’an dan hadits, larangan merayakan Maulid Nabi, pembacaan puisi Barzanji, pembacaan beberapa hadits mau‘izhah hasanah sebelum khotbah Jum‘at, larangan memiliki rokok dan mengisapnya, bahkan sempat mengharamkan kopi.
Semua kekejaman Wahabi ini berakhir ketika Muhammad ‘Ali Pasha, Gubernur Mesir, atas perintah Sultan ‘Utsmani berhasil membebaskan Haramain. Pada tahun 1811/1226 Muhammad ‘Ali Pasha mendarat di pelabuhan Yanbu‘, pesisir Laut Merah, dan pada akhiri tahun berikutnya dia berhasil membebaskan Madinah dan membebaskan Makkah tiga bulan kemudian. Wahabi mundur ke Najd dan menyatukan semua kekuatannya di sana, namun Muhammad ‘Ali Pasha terus mengejar mereka dan berhasil mere-but Dir‘iyah, ibu kota Wahabi ketika itu, pada tahun 1819/1234. Sayangnya, kemenangan Sultan ‘Utsmani ini hanya membuat Wahabi terkubur untuk beberapa tahun. Pada tahun 1832/1248, Wahabi bangkit lagi dari kuburnya dan memulai ekspedisi militer terhadap ‘Uman dan memaksa Sultan Muscat membayar upeti kepada Riyadh. Wahabi sadar bahwa Makkah dan Madinah bukan hanya pusat gravitasi religius, tetapi juga sumber keuntungan ekonomi yang tidak akan pernah berakhir. Karena itu, setelah berhasil menguasai daerah sekitarnya, Wahabi terus berusaha merebut kedua kota suci tersebut, dan baru pada tahun 1925 berhasil kembali merebut Makkah dan Madinah, dan kali ini didukung “perjanjian pertemanan dan kerjasama” yang ditandatangani penguasa Wahabi-Saudi ketika itu dengan pihak Inggris.
Sejarah Wahabi tidak pernah lepas dari aksi-aksi kekerasan, baik doktrinal, kultural, maupun sosial. Dalam penaklukan jazirah Arab 1920-an ini, lebih dari 400 ribu umat Islam dibunuh, diek-sekusi secara publik atau diamputasi, termasuk wanita dan anak-anak.12 Selain itu, kekayaan dan para wanita di daerah yang ditaklukan sering dibawa sebagai rampasan perang. Setelah itu, seperti biasa, Wahabi memaksakan ajarannya kepada semua Muslim yang berada di daerah taklukannya. Wahabi kemudian menjadi ‘agama’ baru.
Ringkasnya, sikap dan kesukaan utama Wahabi sejak awal gerakannya, selain membunuh serta merampas kekayaan dan wanita, juga termasuk menghancurkan kuburan dan peninggalan-pening-galan bersejarah; mengharamkan tawassul, isti‘âna dan istighâtsah, syafâ‘at, tabarruk, dan ziyarah kubur; membakar buku-buku yang tidak sejalan dengan paham mereka; memvonis musyrik, murtad, dan kafir siapa pun yang melakukan amalan-amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Wahabi, walaupun sebenarnya tidak haram. Memang, sebelum mempunyai kekuatan fisik atau militer, Wahabi lazim melakukan kekerasan doktrinal, intelektual dan psikologis dengan menyerang siapa pun sebagai musyrik, murtad, dan kafir. Namun, setelah mereka mempunyai kekuatan fisik atau militer, tuduhan tersebut dilanjutkan dengan serangan-serangan fisik seperti pemukulan, amputasi, dan pembunuhan. Wahabi menyebut semua ini sebagai dakwah, amr ma‘rûf nahy munkar dan jihad, terminologi yang sebenarnya tidak mempunyai konotasi kekerasan dalam bentuk apa pun.13 Fenomena serupa belakangan banyak bermunculan di Indonesia, dan sulit menolak adanya relasi antara fenomena tersebut dengan paham Wahabi yang kini menjadi ideologi resmi Kerajaan Arab Saudi dan disebarkan ke Nusantara oleh para agen mereka dengan dukungan dana yang luar biasa dan cara yang sistematis.